Perkembangan Teknologi, Paylater, dan Konsep Riba dalam Islam
Perkembangan teknologi digital telah mendorong transformasi signifikan dalam sistem keuangan global, termasuk dalam transaksi jual beli di platform e-commerce. Salah satu inovasi finansial yang mencuat adalah layanan penundaan pembayaran (paylater). Layanan ini memungkinkan konsumen untuk membeli barang atau jasa dan membayarnya di kemudian hari, baik secara penuh maupun melalui cicilan.
Layanan paylater ditawarkan oleh berbagai penyedia, seperti Shopee PayLater, Kredivo, Akulaku, dan platform sejenis. Di balik kemudahannya, sistem ini mengandung sejumlah problematika hukum dalam perspektif Islam, khususnya terkait dengan riba yang merupakan salah satu larangan utama dalam ajaran syariah.
Dalam literatur Islam, definisi riba secara umum adalah tambahan yang bersifat eksploitatif dalam transaksi hutang atau pertukaran barang tertentu yang terdapat larangan tegas dalam Al-Qur’an maupun hadis. Kedua sumber hukum Islam ini saling terkait secara substansial dan fungsional dalam mengatur larangan riba.
Paylater dan Pembahasan Riba di Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum utama yang menetapkan larangan secara global dan hadis berfungsi sebagai penjelas detail (bayan tafsili) ayat-ayatnya. Keduanya membentuk dasar teoretis dan praktis dalam memahami dan mengatur transaksi ekonomi umat Islam, termasuk fenomena finansial modern seperti paylater.
Fatwa MUI berlandaskan pada nilai-nilai pokok yang berpijak pada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah terkait praktik muamalah. Salah satunya adalah firman Allah Swt. dalam QS. Al-Baqarah: 275:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.[1]
***
Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat di atas menggambarkan kehinaan dan kekacauan mental orang yang memakan riba, yakni seperti orang kerasukan setan. Ini menunjukkan dampak spiritual dan moral dari praktik riba. Orang-orang yang memakan harta dari praktik ini dianggap menghalalkan yang haram karena mereka menyamakannya dengan jual beli. Padahal, Allah secara tegas membedakan dan menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba.[2]
Dalam Tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat di atas tidak hanya menyampaikan haramnya riba, tetapi juga menggambarkan mentalitas rusak para pelakunya, yaitu mereka yang menyamakannya dengan jual beli. Padahal, perbedaan keduanya sangat jelas. Jual beli bersifat produktif dan saling menguntungkan, sedangkan riba bersifat eksploitatif.[3]
Kesimpulan dari tafsir di atas adalah larangan praktik riba yang merugikan di antara orang yang bertransaksi. Tambahan-tambahan yang diajukan orang yang meminjamkan atau orang yang memberi hutang akan merugikan peminjam atau yang berhutang, karena jumlah tambahan yang memberatkan. Padahal, Islam mengajarkan untuk saling membantu dan meringankan beban orang lain, bukan memberatkan.
DSN-MUI dalam fatwa No. 117/DSN-MUI/II/2018 memperbolehkan kredit barang dengan akad murabahah, tetapi menegaskan bahwa akad utang berbunga (qardh ribawi) adalah haram.
Membincang Riba dalam Hadis Nabi Saw.
Selain nas Al-Qur’an tentang larangan riba, ada pula hadis Nabi Saw. yang memberikan penjelasan rinci tentang berbagai bentuk riba. Khusunya, riba fadhl dan nasi’ah, serta implikasi hukumnya bagi pelaku ekonomi Muslim.
Dalam hadis, terdapat ragam redaksi yang menjelaskan riba, salah satunya adalah:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dan tunai. Siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba.”[4]
Selain itu, hadis tentang haramnya riba terdapat pada hadis Sunan Abu Dawud No. 3333:
حدثنا أحمد بن يونس حدثنا زهير حدثنا سماك حدثني عبد الرحمن بن عبد الله بن مسعود عن أبيه قال لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا و مؤكله و شاهده و كاتبه.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Zuhair, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Simak, ia berkata: telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Abdillah bin Mas’ud, dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan harta riba, orang yang memberi makan harta riba, saksinya, dan juga penulisnya.[5]
Hadis-hadis di atas merupakan bentuk praktik riba dan larangannya karena akan merugikan salah satu dari beberapa orang yang bertransaksi baik dalam jual beli maupun utang piutang.
Titik Temu Riba dan Paylater serta Konklusi Hukum Kontemporer
Penggunaan paylater adalah pembayaran sistem pembayaran berbasis utang. Caranya, pengguna membeli suatu barang atau jasa tanpa membayar secara langsung, lalu melunasi pembayaran tersebut pada waktu yang telah ditentukan. Ciri umum skema ini antara lain: Pertama, penundaan pembayaran 30 hari hingga 12 bulan. Kedua, adanya biaya layanan atau bunga cicilan yang bervariasi. Ketiga, denda atas keterlambatan pembayaran. Keempat, akad atau perjanjian yang sering tidak dijelaskan secara jelas kepada konsumen.
Sistem paylater menawarkan kemudahan, tetapi secara substansi mengandung skema “utang dengan tambahan”, di mana mayoritas ulama mengategorikannya sebagai riba nasi’ah. Berdasarkan analisis terhadap hadis di atas, tambahan biaya karena penundaan (misalnya bunga 2-3% per bulan) dapat tergolong sebagai kelebihan atas pokok utang. Tambahan tersebut tidak didasarkan atas akad yang sah menurut syariah, seperti murabahah atau ijarah. Tambahan ini justru muncul karena adanya penangguhan waktu yang merupakan inti dari riba nasi’ah.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 24 Tahun 2017 memuat penjabaran secara komprehensif mengenai prinsip-prinsip dasar serta ketentuan hukum Islam. Ketentuan ini harus menjadi pedoman bagi umat Islam dalam melakukan aktivitas (muamalah duniawiyah) melalui platform media sosial. Karenanya, jika paylater tidak disertai akad syariah yang jelas dan hanya mengenakan tambahan atas waktu, maka praktiknya bertentangan dengan larangan riba dalam hadis. Islam tidak menolak transaksi tunda bayar atau cicilan, tetapi mensyaratkannya melalui akad yang jelas dan sah.[6]
Editor: Dzaki Kusumaning SM
Referensi:
[1] Qur’an Kemenag digital.
[2] Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad al-Ansari al-Qurthubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1964), h. 364.
[3] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 592.
[4] Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, terj. Mahyuddin Syaf, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005).
[5] Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy‘ats, Sunan Abu Dawud, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007).
[6] Roychan Abdul Aziz Altsaury dkk., “Analisis Fatwa MUI No. 24 Tahun 2017 Dalam Menjawab Tantangan Etika Dan Transparansi Transaksi Virtual: Studi Kasus Pada Platform E-Commerce Shopee Dan Tokopedia,” AICONOMIA: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 3, no. 2, 2024, h. 79–91.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.