Kritik naskah-naskah akademik secara umum menyasar pada dua hal, yaitu metodologi dan konten. Kritik bisa bermakna perbaikan terhadap sesuatu yang dianggap kurang sempurna. Bisa juga bermakna penolakan total karena ketidaksesuaian pemahaman dengannya.
Namun kritik itu sendiri mesti berangkat dari proses memahami, apakah pemahaman atas pikiran yang akan dikritik sudah sesuai dengan maksud produsen pikiran itu? Jika tidak, maka akan terjebak pada apa yang disebut Hamid Basyaib sebagai “memukul memedi sawah”, bermaksud menghantam suatu pikiran seolah-olah mengetahui maksudnya, padahal yang dimaksud bukan itu.
Jawaban mengenai hal ini tersedia dalam ilmu hermeneutika, atau seni tafsir teks yang dikembangkan di dunia Barat. Di antaranya, F. Budi Hardiman menulis sebuah buku berjudul “Seni Memahami” untuk membantu menjelaskan kepada kita apa dan bagaimana hermeneutika itu. Melalui 8 jalan, masing-masing diwakili oleh tokoh-tokoh hermeneutika barat modern. Betapapun begitu, hermeneutika dinilai tidak cocok digunakan sebagai metode tafsir teks Al-Qur’an.
Memahami suatu kritik, serta kritik atas cara memahami (hermeneutika) sekaligus, bisa kita lihat dalam buku “Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal” karya Fahmi Salim. Buku yang awalnya merupakan tesisnya S2 jurusan tafsir di Universitas Al-Azhar. Buku itu mengupas dan mempreteli pemikiran tokoh-tokoh muslim neo-tradisionalis, yang mencoba menerapkan hermeneutika dalam studi teks Al-Qur’an.
Berangkat dari penjelasan mengenai kekhasan ilmu Al-Qur’an serta metodologinya yang final, secara baku sudah ditetapkan oleh ulama ushul fikih dan ulama Al-Qur’an. Lalu datanglah metode hermeneutika merasuk ke dunia Islam merusak tatanan ilmu penafsiran Al-Qur’an yang ada. Sebab jika kaidah penafsiran Al-Qur’an ala ulama Islam dibangun atas dasar keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu ilahi, oleh hermeneutika justru diturunkan derajatnya menjadi sebatas teks yang tidak sakral, tak ubahnya teks-teks biasa.
Beberapa Alasan Fahmi Salim Menolak Hermeneutika
Singkatnya, menurut Fahmi Salim, hermeneutika tidak cocok diterapkan dalam studi teks Al-Qur’an, disebabkan beberapa hal:
Pertama, secara historis, latar kemunculan metode hermeneutika berasal dari studi teks-teks Bible, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Juga teks-teks Yahudi yang lebih dulu, serta teks-teks kuno (studi teks ini juga disebut studi filologi);
Kedua, struktur kitab suci serta sistem pewahyuan antara Bible dan Al-Qur’an sama sekali berbeda. Al-Qur’an merupakan wahyu dalam bentuk kalam yang diturunkan Allah melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Muhammad. Sedangkan pada Bible khususnya Perjanjian Baru, wahyu dituliskan berdasarkan kesaksian mengenai diri Al-Masih, sekurang-kurangnya dalam empat riwayat utama (Matius, Markus, Lukas, Yohanes).
Mun’im Sirry dalam sebuah diskusi daring pernah menyebutkan, bahwa wahyu dalam Perjanjian Baru adalah pribadi Isa (Yesus) itu sendiri. Dengan kata lain, Yesus adalah firman Tuhan yang berwujud manusia, yang segala tingkah laku hidupnya dicatat dan diriwayatkan.
Jadi, dalam pandangan Salim–dengan mengutip sumber-sumber yang relevan, dalam menuliskan perbuatan-perbuatan Yesus, para periwayat mengandalkan ilham pribadi untuk menilai perbuatan-perbuatan dan perkataannya. Layaknya para penulis sejarah yang tentu saja melibatkan interpretasinya dalam menceritakan fakta-fakta yang ditemui.
Al-Quran Tidak Sama dengan Bibel
Berbeda dengan Al-Qur’an, firman-Nya bukanlah tingkah laku, perbuatan dan kata-kata Muhammad secara pribadi. Melainkan bisikan (kalam) yang diturunkan langsung oleh Allah melalui perantaraan malaikat Jibril. Jadi Muhammad tidak melakukan interpretasi, lalu ayat-ayat Al-Qur’an adalah bahasa Muhammad untuk menjelaskan hasil interpretasi pengalaman spiritualnya.
Lagipula wahyu yang disampaikan oleh Muhammad disaksikan oleh para sahabat secara mutawatir (lebih dari satu atau banyak orang). Adapun kesaksian para sahabat terhadap ucapan, perilaku, serta pembenaran Muhammad pribadi, dalam Islam disebut hadis, bukan bagian dari wahyu;
Ketiga, dalam perjalanannya, hermeneutika merusak sakralitas teks-teks agama dengan metodologinya yang terus berubah disesuaikan dengan perkembangan pemahaman manusia. Misalnya ketika kitab suci berbicara tentang surga dan neraka, dianggap sebagai fantasi belaka, sebab sesuai dengan pemahaman orang terdahulu. Kini, pemahaman manusia sudah lebih realistis, surga dan neraka sebaiknya dimaknai sebagai perasaan-perasaan batin manusia.
Dalam satu fase, penggunaan hermeneutika menghasilkan kesimpulan bahwa Bible bukanlah firman Tuhan. Sedang Perjanjian Lama, yang disebut bagian dari kitab Taurat, diduga ditulis jauh setelah masa Nabi Musa wafat.
Namun yang lebih parah, kerusakan akibat penggunaan hermeneutika adalah munculnya gerakan-gerakan penentang otortitas keagamaan (Gereja). Gerakan-gerakan itu menuntut perubahan tafsir lalu mewujudkannya sendiri agar lebih bisa menyesuaikan dengan kebutuhan manusia. Jadilah tafsir Bible itu manusiawi setelah meninggalkan aturan-aturan dari otoritas keagamaan.
Keempat, simpati terhadap gerakan tafsir manusiawi–yang melawan otoritas–itu melumrahkan teks-teks keagamaan tunduk kepada realitas. Bukannya realitas diarahkan sesuai dengan petunjuk teks-teks keagamaan (kitab suci).
Bahaya Hermeneutika Bagi Al-Quran
Bagi Salim, berbahaya jika prinsip seperti ini diterapkan di dalam studi Al-Qur’an. Sejatinya, Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia (hudan li an-naas) yang maksud dan tujuannya berdasarkan kehendak Allah, malah digunakan berdasarkan kehendak dan keinginan manusia.
Kelima, ciri hermeneutika mutakhir seringkali ingin menjebak teks masuk ke ranah kajian linguistik secara tidak fair. Idealnya, teks sebagai pesan memiliki pengujar yang tentu saja makna dan maksud pesan itu disesuaikan dengan maksud pengujarnya.
Akan tetapi paradigma hermeneutika mutakhir–demi realitas–selalu ingin mengandaikan bahwa pengarang telah mati–sesuai dengan perkembangan filsafat bahasa yang dipopulerkan oleh Derrida. Sebaliknya, pembaca teks atau penerima pesan diberikan keleluasaan untuk menafsir pesan itu berdasarkan konteksnya sendiri-sendiri. Konteks itu baik perkembangan zaman, budaya, pemikiran, maupun suasana hati pembaca.
Fahmi Salim membayangkan bagaimana bahayanya jika prinsip ini diterapkan pada studi Al-Qur’an. Allah yang menurunkan firman-Nya berupa teks (pesan) dianggap telah mati, lalu tinggallah teks itu leluasa ditafsirkan maknanya, yang senantiasa bisa berubah-ubah tergantung konteks pembacanya.
Keenam, Salim mengajukan tiga orang sebagai model bagaimana dampaknya jika hermeneutika dalam studi Al-Qur’an itu diterapkan. Mereka adalah Mohamed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Hassan Hanafi. Terutama Nasr Hamid, Salim paling banyak membahas tokoh ini, lalu mengkritiknya habis-habisan.
Akibat gandrung terhadap hermeneutika, akhirnya tokoh-tokoh itu ikut-ikutan berpendapat bahwa teks kitab suci (khususnya Al-Qur’an) bukanlah teks sakral. Al-Qur’an bagi mereka mesti disadari sebagai teks sastra yang merupakan ungkapan realitas di zamannya. Jadi, realitaslah membentuk teks, bukan sebaliknya. Sebagai konsekuensinya, menurut Salim, jika realitas berubah, maka teks juga akan berubah (maknanya). Teks Al-Qur’an tidak memiliki makna tetap, boleh jadi ada hal yang hari ini haram, besok tidak lagi, dan sebagainya.
Jawaban Fahmi Salim atas Ahmad Khalafullah
Salim mengajukan satu nama lagi, yakni Muhammad Ahmad Khalafullah. Inti pemikirannya adalah kisah-kisah di dalam Al-Qur’an tidak mementingkan kebenaran fakta-fakta di masa lalu. Sehingga jika kisah-kisah di dalam Al-Qur’an bertentangan dengan temuan belakangan, kisah dalam Al-Qur’an mesti dimaklumi sebagai teks sastra yang bebas mengungkapkan fakta sesuai gayanya sendiri. Lagipula, menurut Khalafullah, kisah-kisah itu hanyalah perumpamaan, penunjang, bukan merupakan inti dari ajaran Al-Qur’an.
Salim menepis argumen ini dengan mengajukan ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa kisah-kisah di dalam Al-Qur’an diceritakan secara benar dan wajib diimani kebenarannya. Diantaranya adalah al-Israa’: 105, al-Kahfi: 13, Yusuf: 3, Yusuf: 111, al-Maa’idah: 27, dan Huud: 120. Bahwa Allah menjamin kisah-kisah yang diceritakan di dalam Al-Qur’an adalah kisah-kisah terbaik dan yang paling benar.
Demikianlah sekurang-kurangnya enam poin yang menyebabkan Fahmi Salim menolak hermeneutika untuk studi Al-Qur’an, metodologi yang menyebabkan pemakainya disebut kaum liberal. Namun, betapapun demikian, penolakan itu dilakukan dalam suasana hermeneutis juga.
Fahmi Salim dalam hal ini juga telah melakukan dua langkah penafsiran Friedrich D. E. Schleiermacher (tokoh utama hermeneutika modern), yaitu memeriksa susunan semantik teks-teks tokoh-tokoh yang disebutnya liberal, serta melakukan empati psikologis dengan menetapkan maksud pengarang dalam teks-teks itu. Lalu kesimpulan dihasilkan antara dua macam, apakah dalam hal ini Salim mencoba memahami teks-teks tokoh-tokoh itu berdasarkan maksud mereka, ataukah ia menarik kesimpulan sesuai dengan pemahamannya sendiri?
Ketika tokoh-tokoh itu menyatakan bahwa teks mengikuti zaman, atau teks hadir untuk melayani realitas, apakah itu berarti teks tunduk kepada realitas? Bukankah jika teks tidak bisa ditafsirkan untuk mengantisipasi zaman berarti ia justru menjadi museum yang hanya cocok digunakan di masa lalu dan bukan sekarang? Apakah maksudnya jika teks harus mengkritik realitas kini berarti juga trend-trend pada zaman kini harus dikembalikan ke zaman dulu?
Al-Quran Harus Berdialog dengan Zaman
Apakah Al-Qur’an benar-benar tidak dapat berdialog dengan zaman hanya karena metodologinya sudah ditetapkan secara baku? Apakah karena teks-teks Al-Qur’an hanya memiliki satu makna tunggal yang sesuai dengan zaman dulu, lalu realitas harus diubah menjadi realitas di zaman dulu? Lalu, apakah karena hermeneutika datangnya dari barat lantas mesti ditolak secara total, tidak mengambil sebagian prinsipnya yang bermanfaat?
Segala pertanyaan ini dan masih banyak pertanyaan lagi mesti didialogkan. Lagipula tidak mudah untuk mengkritik karya akademik Fahmi Salim ini, terkecuali jika dengan referensi yang memadai pula. Namun kritik sah-sah saja jika dibangun tanpa tendensi yang berbau subjektif.
Hassan Hanafi ada benarnya ketika menganjurkan kita mesti berangkat dari realitas menuju ke teks. Bukan berarti realitas mengendalikan teks, tetapi menuntut kita untuk lebih menggali makna yang kaya dari Al-Qur’an, untuk menjawab problem manusia di masa kini.
Misalnya monopoli kekuasaan, korupsi, nasib kaum buruh yang didiskriminasi oleh pihak perusahaan, UU lingkungan yang menindas, korporasi yang berselingkuh dengan kekuasaan, apakah itu semua tidak boleh dicarikan justifikasi teks atau tafsirnya yang baru? Soalnya tafsir yang mengetengahkan masalah HAM belum tersedia dalam khazanah tafsir-tafsir klasik.
Bukankah justru salah satu keajaiban dan kebenaran Al-Qur’an jika ia juga bisa hadir untuk menjawab problem-problem material manusia, bukan hanya aspek spiritualnya? Bukankah jika Al-Qur’an dibatasi hanya pada hal-hal spiritual berarti hanya akan membiarkan manusia-manusia bejat melakukan penindasan secara ekonomi?
Al-Qur’an semestinya tidak boleh dibatasi hanya berkutat pada hal-hal yang teologis-transendental, lalu melarang hal-hal yang antropologis-material hanya karena dianggap akan menurunkan derajat teks Al-Qur’an dari wahyu Tuhan ke teks-teks manusiawi. Justru pembatasan itulah yang akan menyebabkan Al-Qur’an akan disimpulkan latah dalam menghadapi realitas.
*
Judul: Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal
Penulis: Fahmi Salim
Penerbit: Perspektif
Tahun: 2010
Tebal: xx + 520
ISBN: 978-979-99281-4-6
Leave a Reply