Diskursus mengenai transaksi berbasis bunga (interest) dan riba (usury/prohibition) sampai saat ini sering kali dianggap sama secara subtansi. Asumsi tersebut seakan-akan taken for granted di kalangan umat Islam.Namun realitanya justru sebaliknya, karena terdapat kontestasi kompleks di antara para ulama mengenai diskursus tersebut. Apakah kedua hal itu merupakan satu jenis atau satu kriteria? Ataukah justru keduanya memang berbeda antara satu sama lain? Lebih jauh lagi, secara filosofis, perlu dipertanyakan kembali riba manakah yang dimaksud oleh Al-Qur’an?
Memang semua ulama Muslim, baik di era klasik maupun kontemporer itu sepakat bahwa riba (usury) itu hukumnya mutlak (qath’i) diharamkan. Hal ini secara ekplisit disebutkan dalam firman Allah swt: “…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Q.S Al-Baqarah: 275). Begitupula dengan sabda Nabi Muhammad saw: “riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah sama dengan dosa orang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
Akan tetapi ada beda, jika diimplikasikan ke dalam konteks tataran praktis ekonomi seperti transaksi berbasis bunga (interest) yang dilakukan oleh bank. Maka di sini, para ulama berselisih dan tidak ditemukan kata “ijmā” (kesepakatan) terkait implikasi antara riba dan bunga. Oleh karena itu, dalam melihat kontestasi kompleks ini maka kita memerlukan shift paradigm dengan melakukan pembacaan ulang (rethingking) terhadap persoalan riba itu sendiri dalam Al-Qur’an.
Riba Yang Dimaksudkan
Secara bahasa, para ulama sepakat bahwa kata “riba” itu memiliki makna kelebihan atau bertambah (al-Dziyādah). Di dalam Al-Qur’an sendiri, derivasi kata riba terulang sebanyak 8 kali. Di antaranya terletak pada; Q.S Ar-Rūm: 39, Q.S Al-Baqarah: 275-278, Q.S Ali-Imrān: 130, dan Q.S An-Nisā: 161. Pada Q.S Ar-Rūm: 39 para mufassir umumnya cenderung memaknai riba atau “kelebihan” di ayat ini sebagai hadiah yang dibolehkan. Lebih dari itu, Ibn Abbas r.a sampai menamainya dengan riba yang tidak dilarang. Bahkan ‘Ikrimah r.a sendiri menamainya riba halal (Zuhaili, 1997: 52-53). Dengan demikian tidaklah semua kata “riba” dalam Al-Qur’an itu diharamkan melainkan harus memperhatikan konteksnya.
Nah, sekarang bagaimanakah kelebihan (riba) yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an? Untuk menjawab hal itu, maka akan membawa kita untuk menulusuri terlebih dahulu terkait penurunan ayat Al-Qur’an secara gradual terkait hukum riba. Para mufasir sepakat bahwa Q.S Ali-Imrān: 130 merupakan ayat pertama mengenai “hukum riba”. Sedangkan Q.S Al-Baqarah: 275-278 merupakan ayat terkahir mengenai status final riba. Proses gradual terhadap ayat-ayat hukum mengenai riba ini biasa dikenal dengan gradualitas hukum Islam atau tadarruj fi al-Tasyrī.
Berdasarkan prinsip gradualitas hukum Islam, maka hukum final terletak pada Q.S Al-Baqarah: 275-278. Ayat tersebut secara ekplisit dengan redaksi “maka bagi kalian adalah modal utama kalian sendiri” cukup menjelaskan bahwa segala bentuk kelebihan adalah riba. Namun unikya, ternyata para mufassir sendiri berbeda memaknai riba di ayat terakhir ini. Singkatnya terdapat 2 pendapat di antaranya;
Gradualitas Hukum Riba
Pertama: Riba yang dimaksud tidak melebihi maksud riba dalam Q.S Ali-Imrān: 130 atau riba jahiliyyah (ad’āfan mudhā’afatan) dengan memaknai riba sebagai syarat. Pendapat ini cukup diwakili oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kedua: Pendapat umumnya para ulama bahwa riba itu setiap kelebihan baik itu berlipat ganda maupun sedikit. Dengan memaknainya dalam Q.S Ali-Imrān: 130 sebagai hāl atau kondisi yang saat itu berlangsung yaitu riba jahiliyyah atau riba nasīah.
Oleh karena itu, perbedaan ini mengharuskan saya untuk melakukan pembacaan ulang terkait ayat-ayat riba. Di mana setelah memperhatikan berbagai riwayat dan pendapat para mufassir, maka hemat saya makna riba dalam Al-Qur’an mesti dipahami dengan 4 kunci utama secara berurutan. Pertama: ad’āfan mudhā’afatan (lipat ganda). Kedua: wa dzarū ma baqiya min al-Ribā (meninggalkan sisa riba). Ketiga: yamhaqullah al-Ribā wa yurbi al-Shadaqāt (sedekah lebih baik). Keempat: falakum ru’ūsu amwālikum lā tadzlimūn wa lā tudzlamūn (modal utama tampa ada yang terdzalim ataupun didzalimi).
Jika kita perhatikan urutan tersebut sangat jelas menunjukan adanya konsistensi “eksploitasi”. Hal ini semakin nyata dengan kata kunci ketiga sebagai penengahan dengan menjadikan “sedekah” sebagai alternatif dari perpanjang tempo utang (ta’jil al-Dain) yang diambil keuntunganya secara berlipat-lipat. Lebih nyata lagi dengan diperkuat dengan kata kunci terakhir dengan yaitu tidak ada yang didzalimi (lā tadzlimūn wa lā tudzlamūn). Di sinilah saya kira persoalan riba yang dimaksud Al-Qur’an lebih menunjukan terhadap rasa eksploitasi yang dzalim terhadap si kreditor sehingga harus memberikan rasa simpatik dengan sedekah.
Memahami Bunga (Interest)
Secara umum para ekonom cenderung memahami bunga sebagai harga yang mesti dibayar untuk penggunaan modal di semua pasar. Eksistensinya cenderung terhadap arah keseimbangan, sehingga modal seluruhnya di pasar akan meningkat sesuai tingkat bunga yang sama dengan ketersediaanya yang ditampilkan pada tingkatan tersebut. Pakar ekonomi, Soewito (1984: 483) dalam artikelnya Sejarah Pemikiran Ekonomi Teori Bunga menyebutkan bahwa perekonomian negara maju itu berbasis bunga. Hal ini dikarenakan “tingkat bunga” memiliki peranan penting baik dalam tataran level ekonomi mikro dan ekonomi makro.
Lebih dari itu, para peneliti pasar perkembangan keuangan Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter seperti Bambang kusmiaro dkk (2000: 4-5) menegaskan juga bahwa “suku bunga” merupakan keseimbangan pasar. Hal tersebut didukung dari perspektif ekonomi makro dengan teori loanable funds theory (teori dana). Singkatnya teori ini memandang bahwa suku bunga merupakan harga seperti harga-harga lainya yang pembentukannya sangat tergantung kepada interaksi antara daya kekuatan permintaan dan penawaran di pasar.
Dengan demikian, menurut saya sudah sangat jelas bahwa eksistensi transasksi berbasis bunga sangatlah menentukan keseimbangan ekonomi di pasar global, bahkan menentukan serta mengatur dampak inflasi. Tentu hal tersebut diukur dengan berbagai macam ilmu pengetahuan (baca Ekonomi, Manajemen dll) berdasarkan pendekatan yang ilmiah, empiris, dan dapat dipertanggung jawabkan.
Quo Vadis?
4 kunci utama dalam memahami makna riba dalam Al-Qur’an itu harus dibawa dan diarahkan kepada pengertian terkait sistem bunga itu sendiri. Maka menurut saya dapat disimpulkan bahwa transaksi berbasis bunga yang dilakukan oleh bank konvesional tidaklah termasuk riba yang diharamkan oleh Al-Qur’an. Hal tersebut disebabkan 4 alasan fundamental.
Pertama: Sistem bunga bank tidak mengeksploitasi nasabahnya karena rate bunga bank diatur oleh kebijakan moneter Bank Sentral. Kedua: Transaksi ribawi jahiliyyah terjadi setelah jatuh tempo dan tidak ada perhitungan ekonomi melainkan atas dasar eksploitasi keuntungan saja. Ketiga: al-Maslahat al-Mursalah untuk menjaga keseimbangan ekonomi global dari inflasi. Keempat: Prinsip Maqāsid Syarīah yaitu hifdz māl dalam konteks inflasi di pasar global yang berdampak pada debitor dan kreditor. Wallahu a’lām bil al-Shawwab.
Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.