Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Relasi Takbir dan Hari Raya di dalam Al-Qur’an

Sumber: http://artofkeicar.com

Hari raya identik dengan hari kemenangan dan kebahagiaan. Setiap umat akan merayakannya dengan berkumpul, beribadah dan bersyukur. Satu dari sekian bentuk syukur itu adalah dengan mengumandangkan takbir. Yaitu dengan mengagungkan Allah sebagai Sang Pemberi segala nikmat.

Takbir secara bahasa artinya membesarkan atau mengagungkan. Maka, ucapan “Allahu Akbar” bermakna Allah Maha Besar. Namun, pertanyaannya Allah lebih besar dari apa? Imam Ja’far As-Shadiq pernah berkata, “Allahu Akbar bukan bermakna Allah lebih besar dari segala sesuatu, tapi bermakna Allah lebih besar dari segala sifat yang kalian predikatkan.” Artinya, Allah merupakan zat yang tak pernah kita bisa bayangkan.

Takbir dan Hari Raya Dalam Al-Qur’an

Untuk mengetahui bagaimana relasi antara takbir dan hari raya, kita akan merujuk pada dua ayat berikut:

Surat Al-Baqarah ayat 185:

Artinya: “……. Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran bagimu, dan (dengan mengganti puasa tersebut) supaya kamu dapat menyempurnakan jumlah (hari yang telah ditentukan itu), supaya kamu mengagungkan Allah atas hidayah yang diberikan kepadamu, dan supaya kamu bersyukur.

Ayat ini membicarakan bulan Ramadan serta ibadah puasa. Kemudian, di ujung dari ayat ini, terdapat frasa “Liyukabbirullāha alā mā hadākum”. Dengan demikian, rangkaian amal dan ibadah selama bulan Ramadan adalah untuk mengagungkan Allah. Karena itu, pada saat hari raya Idul Fitri, kumandang takbir bergema seantero dunia. Hal ini merupakan bentuk syukur atas hari kemenangan.

Surat Al-Hajj ayat 37:

Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah atas hidayah yang diberikan kepadamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat ini berkaitan dengan hari raya Idul Adha. Yaitu, tatkala umat Islam melakukan qurban sebagai bentuk ketundukan dan pengorbanan. Allah mengingatkan, bukan soal daging qurban, akan tetapi soal ketakwaan kepada Allah. Lagi-lagi, di akhir ayat tedapat frasa “Liyukabbirullāha alā mā hadākum”.

Relasi Takbir dan Hari Raya

Apabila dua ayat di atas diperhatikan secara cermat, maka akan tampak persamaan di dalamnya. Yaitu rangkaian dari segala ibadah di bulan Ramadan dan Zulhijjah berujung pada takbir. Yakni mengagungkan Allah. Mengagungkan Allah bermakna hanya Allah yang Maha Besar dan satu-satunya yang mesti dibesarkan. Hal ini berimplikasi pada diri kita. Yaitu kita tidak boleh membesarkan diri dan ego kita.

Baca Juga  Tafsir Tematik (3): Mencintai Allah dengan Mengikuti Nabi

Selain itu, mengagungkan Allah juga bermakna menaati segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana pesan takwa yang termuat dari ayat di atas. Pun dengan rasa syukur, adalah etos yang perlu dirawat dalam memaknai dan merayakan setiap hari raya yang ada.

Dengan demikian, takbir dan hari raya adalah dua hal yang tidak mungkin terpisahkan. Hal ini sebagaimana terlihat pada kedua ayat di atas. Sehingga, takbir adalah wujud ekspresi hamba yang dapat merasakan hari raya yang penuh suka dan cita. Serta, ungkapan syukur dari hamba yang sudah merdeka dari hawa nafsunya.

Di bulan Ramadan seorang hamba harus berpuasa untuk mengontrol nafsu dan amarahnya. Adapun di bulan Zulhijjah, hamba diharuskan memotong segala bentuk sifat-sifat hewani yang masih menjerat dirinya. Oleh karena itu, sesuailah apa yang dituturkan oleh Sayyidina Ali K.W:

Hari raya bukan bagi mereka yang berpakaian baru, akan tetapi hari raya adalah bagi mereka yang tidak bermaksiat kepada Allah dan bertambah imannya.”

Semoga, kita dapat menghayati hari raya kita dengan penuh khusyuk. Dihiasi takbir dan syukur yang mendalam. Sehingga, hari raya bukan sekedar seremonial belaka, namun sebagai momen meningkatkan iman dan takwa. Selanjutnya, kita bisa menjadi seorang hamba yang paling hamba.

Wallahu ‘alam bishawab