Setidaknya sampai saat ini bisa dikatakan belum ada kesepakatan yang bulat di antara para pemikir-pemikir dan tokoh-tokoh Islam mengenai konsepsi negara Islam. Pemahaman dan corak pemikiran dalam pembahasan negara dan agama masih terus berkembang mengisi ruang-ruang diskusi dan perbincangan.
Soal pembahasan terkait tema negara dan agama tetap menjadi salah satu bahan diskusi menarik yang banyak dibahas. Karena merasa hal itu bersentuhan dengan dirinya sebagai warga negara yang beragama. Sontak ketika dihadapkan dengan persoalan itu, hati dan akal seolah diuji dan identitasnya sebagai seorang warga negara dan seorang yang beragama seolah dipertanyakan.
Perdebatan mengenai hal ini wajar terjadi dan memang sudah terjadi sejak lama. Akar persoalan lahirnya perdebatan disebabkan tidak ditemukannya dasar normatif dan preseden historis yang secara jelas menyatakan tentang pola hubungan agama dan negara. Pada akhirnya perkembangan pembahasan ini menuju pada perbedaan pendapat, corak pemikiran, dan pemahaman yang secara garis besar menuju pada tiga paradigma, yaitu paradigma integralistik/formalistik, interseksion/substansialistik, dan sekularistik.
Perbedaan pandangan itu dipengaruhi bagaimana pemahaman, tafsir, pemikiran, dan kecenderungan setiap orang yang mengantarkan pada pemahaman yang diyakini berdasarkan petunjuk-petunjuk nash, ilmu pengetahuan, akal, kondisi sosial politik, dan hal lain yang memperkuat pandangannya.
Lebih jauh mari kita bahas satu demi satu paradigma tentang negara dan agama dalam perspektif Islam.
Paradigma Integralistik/Formalistik
Jika pertanyaan “bagaimana hubungan negara dan Islam?” dilontarkan pada yang memiliki pandangan integralistik, sudah bisa dipastikan jawabannya adalah sangat tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated) dengan kata lain negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi, dan negara memiliki tugas untuk menegakkan agama.
Lebih lanjut mereka akan menambahkan pernyataan bahwa syariat Islam harus terlaksana sampai tataran negara dengan berbagai konsepsinya tentang negara Islam dengan melaksanakan hukum Islam dan menggunakan landasan konstitusi Islam (syariat) yang menjadi utama bahkan menjadi prasyarat secara formal.
Di antara yang memiliki paradigma ini, beberapa pemikir masyhur yang mempunyai pandangan ini antara lain: Muhammad Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, Abu A’la al-Maududi, Sayyid Quthb dan Imam Khomeini.
Paradigma Interseksion/Substansialistik
Paradigma ini memandang bahwa negara dan agama memiliki hubungan timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam satu sisi agama membutuhkan negara sebagai sarana dakwah ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama yang peruntukannya untuk seluas-luasnya masyarakat bahkan alam sekali pun.
Begitu pula negara membutuhkan agama sebagai legitimasi dan sumber moral dan etika. Sehingga dapat ditemukan, konstitusi yang berlaku tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (syariat). Paradigma ini berada pada garis pemikiran yang moderat.
Gambaran jelas disampaikan al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyah yang menyebut negara merupakan alat bagi usaha meneruskan misi kenabian dalam rangka memelihara agama dan di saat yang bersamaan mengatur tatanan sosial kemasyarakatan. Memelihara negara dan mengatur dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda. Namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya termasuk misi kenabian yang perlu dijaga. Al-Mawardi juga menyebut, agama mempunyai posisi sentral bagi sumber legitimasi realitas politik.
Tampak jelas, al-Mawardi mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealistik politik dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi kebijakan politik sesuai dengan kompetensi keagamaan (nilai dan ajaran).
Beberapa pemikir yang mempunyai corak paradigma ini antara lain adalah: Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Muhammad Husain Haikal dan Fazlur Rahman.
Sekularistik
Paradigma ini mengajukan konsep pemisahan hubungan agama dan negara. Agama merupakan urusan privat. Sementara urusan negara memiliki dimensi publik. Paradigma ini menolak determinasi agama pada wilayah politik. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing. Sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini.
Paradigma ini menganggap agama harus terpisah dari negara dengan argumentasi bahwa Nabi Muhamnmad saw. tidak pernah memerintahkan untuk mendirikan negara. Islam hanyalah mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan. Jadi, masyarakat lebih dibebaskan untuk menciptakan dan mengatur kehidupan antar-manusia berdasarkan kondisi dan zamannya masing-masing. Tokoh aliran ini antara lain: Ali Abd Raziq dan Thaha Husain.
Relasi Agama dan Negara Menurut Ali Abd Raziq
Ali Abd Raziq menjelaskan pandangannya dengan beberapa prinsip. Di antaranya, tidak ada sistem khilafah dalam al-Quran dan sunnah. Menurut Raziq, khilafah merupakan kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia menggantikan Nabi saw. Ibn Khaldun menguraikan pengertian khilafah secara komprehensif: “Khilafah adalah memerintah rakyat sesuai dengan aturan syara, demi kebaikan akhirat mereka dan juga kebaikan dunia yang kembali pada kepentingan akhirat. Sebab menurut syara persoalan-persoalan dunia semuanya kembali kepada kepentingan akhirat”.
Khilafah dengan demikian hakikatnya adalah menggantikan pembuat syara (sohib al-syara) dalam menjaga eksistensi agama dan sistem politik dunia. Pun bagi Raziq, sumber legitimasi kekuasaan tidak bisa dicampur aduk antara legitimasi rakyat dengan yang datang dari Tuhan.
Selain itu, tesis utama Raziq dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, bahwa Nabi tidak membangun negara dan otoritasnya murni bersifat spiritual.
Kedua, bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena itu umat Islam bebas memilih bentuk pemerintahan apapun yang mereka rasa cocok dan disesuaikan dengan kondisi.
Ketiga bahwa tipe-tipe pemerintah yang dibentuk setelah wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam. Sistem itu semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi legitimasi religius.
Keempat, bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi sebagian besar persoalan dunia Islam, karena ia digunakan untuk melegitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat Islam.
Dalam ajaran Islam tidak ada rumusan yang baku tentang bentuk negara ataupun sistem politik yang digunakan. Oleh karena itu, diskursus politik dalam Islam masuk pada ranah pemikiran yang bersifat ijtihadiyah yang bersifat dinamis. Dengan demikian masalah relasi agama dan negara bukan soal aqidah tetapi masalah fiqhiyah.
Paradigma hubungan agama dan negara merupakan persoalan ijtihadiyah yang selalu terbuka untuk diperdebatkan. Tetapi secara prinsip Islam sudah memberi petunjuk yang berkaitan dengan nilai ketatanegaraan yang ideal seperti adil, kepemimpinan, perdamaian, musyawarah, dan lainnya
Oleh: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply