Berbicara mengenai perempuan sepertinya tidak akan ada keringnya, baik perempuan dijadikan sebagai objek dan atau subjek kajian. Realitasnya, perempuan selama ini hanya dijadikan objek eksploitasi dari aspek kesehatan, ekonomi, politik, biologis, psikologis, keagamaan, dan sebagainya. Aspek yang paling empuk adalah mengagungkan perempuan melalui legitimasi pemahaman atas teks-teks suci agama yang bias gender. Misalnya, prasangka buruk yang dilayangkan kepada perempuan sebagai makhluk kotor (saat datang bulan/haidh), makhluk yang disetarakan dengan binatang tak layak dalam masalah batalnya shalat, dan sebagainya. Ketika memandang hal demikian melalui teks agama, tentunya lontaran-lontaran itu sangat aprioristik.
Di dalam konteks Islam Indonesia juga tidak berbeda dalam mendeskriminatifkan perempuan, terutama dalam ranah publik (public relationship). Kesetaran dan keadilan gender di Indonesia terbilang masih bias gender. Padahal organisasi masyarakat (Islam) di Indonesia tiap tahun bertambah, berbanding lurus dengan bertambahnya bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Peran dan Hak Perempuan yang Termarginalkan
Kita sering mendengar ucapan, “anak perempuan gak usah sekolah terlalu tinggi, paling nanti ujungnya juga ngurus dapur.” Dikotomi domestik publik yang melahirkan stigmasasi bahwa perempuan terpasung dalam ruang domestik, menurut Irwan Abdullah, merupakan tanda dari ketimpangan struktur sistem sosial. Mengaktualisasikan tentang kesetaraan dan keadilan perempuan untuk berkiprah dalam ranah publik mungkin sulit, karena banyak rintangan dan dihadang dari kompleksitas permasalahan. Diskriminasi atas perempuan bertambah kuat dengan adanya legitimasi dari mereka yang menggunakan aliran struktral-fungsional dalam mengkaji gender. Aliran ini beranggapan bahwa keluarga sebagai sistem terkecil dalam sosiologi.
Apabila secara biologis perempuan dengan organ reproduksinya menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui, hal itu tidak perlu digugat dan dipermasalahkan. Namun, ketika sudah menyangkut persepsi suboordinat, bentuk diskriminasi, persepsi the second sex, relasi yang timpang, dan dikotomi peran gender yang ditujukan kepada perempuan itu yang perlu direkonstruksi, bahkan didekonstruksi agar tidak bias gender.
Mansour Fakih pun pernah mengungkapkan, dengan analisis gender nya, bahwa banyak ditemukan berbagai manifestasi ketidakadilan, yaitu :
Pertama, terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan. Misalnya, banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin akibat dari program pertanian revolusi hijau yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki.
Kedua, subordinasi pada salah satu jenis kelamin (seks), umumnya terjadi pada perempuan. Banyak kebijakan dalam keluarga maupun masyarakat tertentu yang dibuat tanpa menganggap penting perempuan. Lagi-lagi, persepsi yang diskriminatif dan tidak adil yang ditujukan kepada perempuan. Misalnya, perempuan hanya mengurusi dapur, sumur dan kasur, sehingga tidak perlu sekolah tinggi-tinggi.
Ketiga, pelabelan negatif (stereotype) terhadap jenis kelamin tertentu, dan akibat dari stereotype itu terjadi diskriminasi serta berbagai tumbuh ketidakadilan lainnya. Banyak sekali stereotype dalam masyarakat yang ditujukkan kepada perempuan, yang akibatnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan perempuan. Misalnya, setiap pekerjaan yang dilakukan perempuan dinilai hanya sebagai tambahan, dan boleh dibayar lebih rendah.
Keempat, kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang disebabkan perbedaan gender. Bentuk kekerasan banyak sekali modelnya, dan setiap waktu pasti berkembang, mulai dari yang paling kasar sampai kekerasan yang lebih halus. Pemerkosaan suami terhadap istri, pemukulan, penciptaan ketergantungan, pemerasan, dan sebagainya.
Kelima, peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama, bahkan terjadi beban ganda (double burden).
Organisasi Masyarakat Islam (Perempuan): Antara Idealitas dan Realitas
Perempuan dalam kehidupan sosial selalu diasumsikan sebagai the second sex yang sangat menentukan mode representasi sosial tentang status dan peran perempuan. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan tidak sebatas the second sex, tetapi sudah dianggap sebagai the others. Dikotomi nature dan culture, atau istilah lain nurture, misalnya, telah digunakan untuk menunjukkan pemisahan dan stratifikasi di antara dua jenis kelamin.
Geneaologi organisasi perempuan sendiri bermula pada awal tahun 1912 yang kemudian berdiri organisasi perempuan Poeteri Mardika atas bantuan dari Boedi Oetomo. Tujuannya tak lain adalah untuk menggerakkan kaum perempuan dalam menyebarkan cita-cita kemajuan rakyat dan kemerdekaan bangsa. Selain itu, organisasi ini juga mengadakan perlawanan terhadap adat istiadat yang mendiskiminasikan perempuan dan segala bentuk ketidakadilan terutama dalam lembaga perkawinan.
Sebelum kartini telah ada tokoh perempuan seperti Njai Ageng Serang (1850-1908), Tjoet Nyak Dien (1850-1908), Tjoet Meutia (1870-1910) yang merupakan perintis pergerakan perempuan. Selanjutnya muncul organisasi-organisasi perempuan seperti, Jong Java Meisjeskring atau kelompok Pemudi Jawa Muda (1915), Aisyiyah (1917), Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) (1928), Konggres Perempoean Indonesia (1935), dan akhirnya menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) (1946), Persistri (1936), Muslimat NU (1946), dan Fatayat (1950).
Bahkan Hampir setiap ORMAS, seperti NU, Muhammadiyah, dan PERSIS memiliki badan otonom khusus perempuan. Bahkan, LSM perempuan pun tidak sedikit yang berdiri. Kendati demikian, ORMAS jangan sampai mengutamakan ‘egoisitas’ kelompoknya masing-masing. Jika demikian, adanya ORMAS Perempuan akan berbanding lurus memperpanjang catatan sejarah kesengsaraan perempuan. Karena keberadaannya bukan mensejahterakan dan mengangkat perempuan, terutama di pedesaan, tetapi hanya mengangkat citra untuk personalistik semata.
Pada tatanan realitas, hal itu berbanding terbalik dengan maraknya kasus kekerasan, kasus pelecehan sekual, kasus KDRT, dan bentuk deskriminasi terhadap perempuan yang masih terlihat disekeliling masyarakat, bahkan meningkat. Di samping itu, walaupun masing-masing ORMAS memiliki badan otonom, tetap saja pemimpin utamanya atau yang mendominasi adalah laki-laki. Sekalipun ORMAS itu senter dalam menggaungkan kesetaraan gender, jika perempuan hanya dijadikan bawahan itu merupakan bentuk deskriminasi dua arah. Satu sisi mewacanakan kesetaraan gender, tetapi sisi yang lain melahirkan bentuk diskriminasi baru.
Pada dasarnya perempuan Indonesia tercatat memiliki kehidupan organisasi yang aktif, baik lembaga-lembaga berbasis sekuler maupun berbasis agama. Lembaga khusus perempuan telah didirikan Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyyah. Dua lembaga ini memiliki otonomi secara relatif dalam operasi mereka, meskipun kegiatan mereka tetap dalam kerangka yang lebih luas ditetapkan oleh organisasi induk mereka yang kemudian didominasi laki-laki.
Peran dan hak perempuan pada tataran realitas masih cukup belum terpenuhi secara maksimal. Di beberapa daerah di Indonesia, budaya patriarki masih membayangi hidup perempuan. Entah itu berbentuk deskriminasi, pelabelan negatif (stereotype), marginalisasi, subordinasi, maupun kekerasan. Secara idealitas, perempuan mempunyai hak untuk setara dengan laki-laki, baik secara kultural, politik, kesehatan, ekonomi, pendidikan, maupun religiousitas.
Organisasi Masyarakat Islam sampai saat ini belum dapat memberikan dampak pada ketimpangan gender yang sudah terjadi bertahun-tahun di Indonesia. Dengan demikian, hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi para penggiat gender, feminis, dan organisasi masyarakat islam untuk menitikberatkan pada ranah praktis, ketimbang ranah teoritis.
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply