Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Rekayasa Sosial yang Dibangun Rasulullah Ketika di Madinah

Madinah
Sumber: https://pixabay.com/

Tidak jarang umat Islam ketika akan melakukan sesuatu, terkhusus dalam hal pembaharuan. Ia selalu mempertimbangkan apakah inisiasinya tersebut sudah bersanda pada nash al-Qur’an dan sunnah. Tentu hal ini merupakan sebuah hal yang patut diapresiasi karena kita memiliki sifat wara dalam bertindak.

Namun ketika seseorang melakukan suatu kegiatan yang baru juga bukan berarti ia membangkang terhadap dua wasiat Rasulullah tadi; al-Qur’an dan sunnah. Contohnya saja dengan hadirnya kitab sirah nabawiyah yang dapat kita rasakan manfaatnya; baik dari aspek pembentukan moral hingga perbaikan sosial dalam skala besar. Perlu diketahui, Rasulullah saw. sendiri tidak pernah menginstruksikan seorang pun untuk menulis biografinya.

3 Domain Rekayasa Sosial Rasulullah

Dalam mengkaji riwayat figur orang penting, seperti biografi, sebagaimana yang dikatakan oleh sejarawan kontemporer Gosschalk; itu tidak bisa digambarkan secara paripurna sosok dan kiprah yang ditulis. Maka tulisan ini pun memiliki batasan terhadap sumber dan data yang ada.

Tulisan ini mengedepankan batasan kajian pada era baru Rasulullah yaitu pasca hijrah; yakni mendirikan masjid bersama para sahabat, mempersaudarakan kaum muslimin (membangun kebersamaan sosial, ekonomi, dan budaya), dan membentuk UU (Konstitusi Madinah. Lebih sederhananya yaitu terdapat tiga esensi yakni; mental spiritual (mendirikan masjid), sosial-ekonomi (persaudaraan yang solid) serta politik kenegaraan dan diplomasi, yang meletakkan dasar-dasar demokrasi dan kebebasan politik dengan nonmuslim.

Mendirikan Masjid Bersama Para Sahabat

Dewasa ini, masjid tidak kita kenal hanya sebagai tempat ibadah ritual semata. Ia memiliki fungsi beragam mulai dari aspek pendidikan, sosial dan ekonomi. Masjid yang kecenderungan sebagai sentral dari kegiatan masyarakat dipandang efektif apabila segala gerakan sosial dimulai dari masjid. Kajian yang digalakkan oleh masjid sekarang tidak hanya menyangkut nilai-nilai normatif, namun sudah sampai pemberdayaan terhadap bencana alam serta masyarakat yang membutuhkan. Masjid sudah bisa mengambil sikap dengan cepat.

Baca Juga  Berpikir antara Sudut Pandangan Barat dengan Islam

Rasulullah mendahulukan pembangunan masjid, sebelum mengerjakan bangunan-bangunan lainnya, di samping rumah tempat kediaman beliau sendiri. Sebab, masjid mempunyai potensi yang sangat vital dalam menyatukan umat dan menyusun kekuatan mereka lahir batin; untuk membina masyarakat Islam menuju Daulah Islamiyah berlandaskan semangat tauhid.

Menurut Ibnu Katsir, Rasulullah tinggal di rumah salah seorang pemuda Yastrib selama tujuh bulan. Lantas beliau juga ketika hijrah di Madinah; tidak hanya membangun rumah untuk tempat tinggalnya, namun tempat yang awal dibangun adalah Masjid.

Di dalam masjid, Rasulullah dapat menyusun benteng pertahanan yang menyangkut aspek moral dan spiritual, yaitu semangat jihad di jalan Allah Swt. Sehingga kaum muslimin yang kala itu jumlahnya belum begitu banyak, rela mengorbankan harta benda dan segala kesenangan materi. Di dalam masjid, beliau senantiasa mendidik umat dengan doktrin tauhid, dan mengajarkan esensi ajaran Islam kepada komunitas Muhajirin dan Anshar.

Kaum muslimin di zaman Rasulullah tidak hanya melakukan ibadah secara berjamaah di masjid. Mereka seringkali bermusyawarah untuk merundingkan masalah-masalah yang harus dihadapi secara jamaah pula atau yang sekarang dikenal dengan wacana gerakan. Begitulah masjid yang didesain oleh Nabi Saw. bersama para sahabatnya.

Mengikat Persaudaraan Antara Kaum Muhajirin (Mekkah) dan Anshar (Madinah)

Setelah masjid dibangun, Rasulullah sebagaimana rencana awal adalah menjadikannya sebagai tempat musyawarah. Bersama para kedua wazirnya yaitu Abu Bakar dan Umar, Rasulullah memutuskan untuk mempersaudarakan kedua golongan tersebut sebagai basis kekuatan sosial dalam gerakan dakwah Islam kedepannya.

Kaum Muhajirin yang jauh dari sanak keluarga dan kampung halaman, dipererat oleh beliau dengan mempersaudarakannya dengan kaum Anshar, karena Anshar telah menolong mereka dengan ikhlas tanpa memperhitungkan keuntungan yang bersifat materi, melainkan hanya mencari keridhaan Allah semata.

Baca Juga  Batasan Poligami: Analisis Semiotika Barthes dalam Q.S An-Nisa' Ayat 3

Dengan demikian, kaum Muhajirin yang bertahun-tahun terpisah dengan sanak saudara dan kampung halamannya, merasa tenteram dan aman menjalankan syariat agamanya. Di tempat yang baru itu, sebagian dari mereka ada yang berniaga, dan ada pula yang bertani (seperti Abu Bakar, Utsman dan Ali), mengerjakan tanah kaum Anshar.

Dengan ikatan yang teguh ini, Rasulullah Saw. mengikat setiap pengikuti Islam yang terdiri dari bermacam-macam suku dan kabilah itu, ke dalam satu ikatan masyarakat Islam yang solid dengan semangat gotong-royong, senasib sepenanggungan, dan seperasaan dengan semangat persaudaraan Islam.

Segolongan orang Arab yang menyatakan masuk Islam dalam keadaan miskin disediakan tempat tinggal di bagian Masjid yang kemudian dikenal dengan Ashabul Shuffah. Kebutuhan hidup mereka dipikul bersama di antara Muhajirin dan Anshar yang telah berkecukupan.

Persaudaraan ini menimbulkan hubungan ekonomi secara spontan. Mereka yang dari Mekkah (al-Muhajirin) cukup piawai dalam berdagang dengan penduduk dari Madinah (al-Anshar) yang begitu canggih dalam bertani.

Melatakkan Dasar Aturan Damai Dengan Non-Muslim

Guna menciptakan suasana aman dan tenteram di kota baru bagi Islam (Madinah), Rasulullah Saw. membuat perjanjian persahabatan dan perdamaian dengan kaum Yahudi yang berdiam di dalam kawasan kota Madinah. Dalam perjanjian ini ditetapkan dan diakui kebebasan hak tiap-tiap golongan untuk memeluk dan menjalankan agamanya. Inilah salah satu kontrak politik yang memunculkan kebijaksanaan Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang politikus piawai kala itu.

Tindakan realistis ini, belum pernah dilakukan oleh Nabi dan Rasul yang terdahulu. Baik oleh Nabi Isa as maupun Nabi Musa as atau nabi-nabi sebelum mereka. Kebijakan ini selaras dengan term kekinian yang disebut win-win solution, sebuah perjanjian yang menguntungkan kedua belah pihak dalam menyelesaikan problem pluralisme.

Baca Juga  Bulan Pengabulan Doa

Namun, hal ini ternyata lebih menguntungkan peluang dakwah Islam. Perjanjian tertulis tersebut berisi pengakuan agama mereka dan harta bendanya dengan syarat timbal balik.

Perjanjian politik yang dibuat oleh Nabi Muhammad Saw. sejak lebih dari 14 abad yang silam, menjamin kebebasan beragama dan meyakini hak-hak kehormatan jiwa; dan harta golongan bukan Islam. Perjanjian yang dibuat ini merupakan peristiwa yang baru dalam dunia politik dan peradaban. Sebab dahulu di berbagai pelosok bumi, masih berlaku budaya perampasan atas hak-hak asasi manusia.

Secara politis, hijrah Nabi ke Madinah adalah upaya repositioning untuk mengingkatkan intensitas dakwah. Di Mekkah beliau mendapatkan tekanan-tekanan politik dengan adanya blokade atas aktivitas dakwah dan embargo ekonomi bisnis. Beliau bersama segelintir pengikutnya yang dianggap mengancam pengaruh suku Quraisy.

Di Madinah beliau membangun masyarakat baru, suatu komunitas muslim yang solid. Di sinilah Rasulullah beserta para sahabat dalam permulaan dakwah ini mengembangkan aktivitas sosial-ekonomi yang kondusif. Sekaligus mendeklarasikan Konstitusi Madinah yang merupakan dasar-dasar negara yang sesuai dengan demokrasi dan hak-hak manusia.

Lebih dari itu, inti Kontitusi Madinah ini memberikan kepastian hukum tidak saja bagi muslimin; tapi bagi non-muslim yang menjadi warga Madinah agar sama-sama menjunjung tinggi perdamaian dan kedamaian di tengah masyarakat pluralistik.

Editor: An-Najmi Fikri R