Sedari dahulu manusia adalah makhluk yang tidak pernah merasa puas terhadap segala sesuatu. Ketidakpuasan dalam diri manusia ini bisa menyangkut banyak hal yaitu harta, tahta, pasangan maupun informasi. Dalam hal informasi, sebagian manusia telah mencurahkan segala hal untuk mengetahui hakikat dari realitas semesta. Bagi mereka pendamba pengetahuan, dunia ini terkesan sangat aneh sehingga membuat mereka penasaran. Rasa penasaran ini membuat mereka terpancing untuk melakukan research terhadap suatu hal.
Seorang Filsuf Yunani Kuno bernama Phythagoras tatkala ditanya oleh muridnya siapa yang dapat dikatakan sebagai seorang yang Bijaksana, maka ia menjawab bahwa dirinya adalah adalah Philosophos “Pendamba Kebijaksanaan”. Baginya kebijaksanaan itu bukanlah final, namun proses yang terus berjalan dalam kehidupan manusia. Manusia tidak dapat menjadi bijaksana, karena keterbatasan yang ia miliki. Sebagai seorang pendamba kebijaksanaan, Phythagoras mengajarkan bahwa tugas manusia adalah terus belajar sepanjang hayat (long life education); tanpa pernah mengenal arti selesai. Sungguh arogan baginya tatkala sebagai manusia merasa telah terpenuhi dengan ilmu pengetahuan. Dan bahkan sebagai dari mereka menyatakan dirinya telah ma’rifat dalam masalah ilmu pengetahuan. Sebagaimana kaum sofis yang menisbahkan diri mereka sebagai kaum “yang bijaksana”.
Filsafat bukanlah sebuah jawaban, namun proses mencari jawaban dengan gerbang rasa ingin tahu; sebagai upaya untuk mencari tahu terhadap suatu informasi. Seorang filsuf tidak pernah berpuas diri terhadap informasi yang ada. Ia akan selalu haus akan informasi, bahkan bagi mereka para pendamba kebijaksaan tidak ada yang lebih berharga kecuali informasi itu sendiri. Pribadi manusia yang selalu ingin mencari tau sesuatu adalah bagian dari ikhtiar dalam menghadapi kehidupan. Karena pengetahuan adalah modal bagi mereka untuk bisa menjalani kehidupan.
Kebijaksanaan Tertinggi
Nilai kebijaksanaan tertinggi adalah kesadaran yang penuh atas ketidaktahuan, sebagai manusia kita diciptakan sangat terbatas untuk dunia yang begitu luas. Socrates seorang filosof Yunani pada beberapa milenium kebelakang telah menegaskan tentang kebijaksanaan yang paling tinggi, beliau berkata; “Orang yang paling bijaksana adalah yang mengetahui bahwa dia tidak tahu”. Kalimat Fenomenal ini disebut sebagai Paradoks Sokratik, yaitu Pengetahuan tentang ketidaktahuan.
Semakin kita mengetahui sesuatu kita akan semakin sadar tentang ketidaktahuan kita di dunia ini. Sekilas jika kita lihat, secara logika kata-kata ini memang agak janggal, karena prinsip matematis pun kita ketahui bahwa informasi yang kita dapatkan adalah sebuah pertambahan dalam perbendaharaan intelektual kita. Namun argumen ini sebenarnya menunjukan bahwa kita sebagai manusia tidak boleh merasa puas terhadap sesuatu yang kita dapatkan, karena sejatinya kita adalah makhluk yang tidak sempurna, karena kita terbatas oleh ruang dan waktu, bahkan fisik kita pun ada batasannya dan kelak kita akan mati.
Lantas dengan ketidaksempurnaan kita dan minimnya akses informasi, apakah kita pantas mengatakan bahwa kita telah mengetahui sesuatu. Sebagaimana manusia yang terlalu bangga dengan mendapatkan setetes air laut, padahal dia tidak menyadari bahwa samudra itu begitu luas, namun kepuasan yang sifatnya kecil itu telah menutup dirinya dengan hakikat yang begitu luas. Socrates mengajarkan kita tentang ketawadhu’an dalam menjalankan hidup, sebagai penutut ilmu kita dianjurkan untuk terus mencari sesuatu dan jangan pernah merasa puas terhadap sesuatu yang kita dapatkan sekarang, teruslah merasa haus terhadap ilmu pengetahuan.
Hakikat Ilmu Allah
Selaras dengan pandangan Islam, ilmu adalah sesuatu yang tidak terbatas bahkan diantara sifat Allah yang mulia adalah Al-Alim yang bermakna Maha mengetahui, hakikat Ilmu disini adalah Allah, karena Allah adalah Ilmu.
Allah Swt. berfirman:
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi dijadikan pena dan lautan (dijadikan tinta) ditambah kepadanya tujuh lautan (lagi) setelahnya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (QS. Luqman 31: 27)
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan Lafadz “Kalimat Allah” bermakna Ilmu Allah serta adapula yang mengartikan nya sebagai Kekuasaan Allah. Namun apapun hubungan nya yang jelas Allah swt, Maha Kuasa. Nikmatnya tidak terbatas, pujian atas-Nya melimpah tiada akhir. Ilmu dan pengaturan nya mencangkup segala sesuatu. Tamsil Ilmu Allah dalam Al-Qur’an digambarkan dengan pepohonan yang dijadikan sebagai pena maupun lautan yang dijadikan tinta, bahkan ditambah tujuh lautan lagi setelahnya. Walaupun tertulis nominal dalam ayat tersebut, itu bukan berarti menandakan bahwa ilmu Allah hanya sebatas itu, penambahan kalimat “tujuh lautan setelahnya” menunjukan bahwa dalam nominal itu saja manusia belum tentu mampu untuk menuliskan hakikat tentang Ilmu Allah.
Hamka dalam tafsir Al-Azhar juga menegaskan, sejak manusia didudukkan Allah di muka bumi ini dan terbuka akal dan pikiran nya, manusia telah berusaha dengan segenap tenaga yang ada padanya hendak mengetahui Rahasia Allah. Maka timbul lah apa yang kita namai Ilmu Pengetahuan. Kian lama berkembanglah Ilmu pengetahuan itu. Sampai berdiri Universitas di mana-mana, namun yang diketahui oleh manusia baru sangat sedikit. Otak manusia dan tenaga manusia terlalu kecil untuk mengetahui semuanya.
Renungan Kehidupan
Dunia ini terlalu luas untuk kita ketahui, sedangkan diri kita terbatas antara ruang dan waktu. Cukuplah kematian menjadi patokan keterbatasan kita, sebagai makhluk yang tidak sempurna kita harus senantiasa berusaha semaksimal mungkin dalam segala urusan, tentunya segala hal dalam rangka meningkatan keimanan serta ketakwaan kita kepada Allah swt. Sepatutnya kita sebagai seorang muslim untuk tidak merasa tinggi dengan sedikit ilmu yang kita peroleh, jangan sampai ilmu yang kita dapatkan justru malah menyebabkan kesombongan dan merasa mulia. Paradoks sokratik menjadi refleksi kita dalam kehidupan bahwa sejatinya pengetahuan yang hakiki adalah ketidaktahuan dalam diri.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply