Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Refleksi Diri Sebagai Seorang Khalifah dan Hamba Allah

Sumber: sripoku.com

Manusia sebagai salah satu makhluk yang Allah ciptakan merupakan makhluk yang dalam al-Qur’an dikatakan sebagai sebaik-baiknya ciptaan. Hal tersebut disematkan kepada manusia karena memang dalam penciptaan-Nya ada anugerah spesial yang diberikan Allah SWT kepada manusia yang tidak ada pada makhluk-makhluk ciptaan lainnya. Anugerah tersebut tidak lain dan tidak bukan merupakan akal yang kemudian membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Sehingga pada gilirannya manusia lah yang diberikan tugas mengemban amanah untuk menjadi seorang khalifah di muka bumi ini.

Definisi Khalifah

Peran manusia sebagai khalifah tersebut telah jelas Allah sebut dalam firman-Nya di surat Al-Baqarah ayat 30,

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Sebagaimana bunyi ayat 30 dari surat Al-Baqarah di atas, definisi khalifah jika dilihat dari akar katanya berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang atau menggantikan tempat seseorang sepeninggalnya, karena itu kata khalifah sebagaimana dalam buku-buku keagamaan yang kita pelajari semasa sekolah diartikan sebagai seorang pengganti.

Dalam tafsir al-Razi diterangkan bahwa khalifah adalah orang yang menggantikan orang lain dan ia menempati tempat serta kedudukannya. Seorang khalifah adalah orang yang menggantikan orang lain, menggantikan kedudukannya, kepemimpinannya atau kekuasaannya. Dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai khalifah, kata ini dapat diartikan juga sebagai wakil, pengganti atau duta Tuhan di muka bumi; pengganti Nabi Muhammad Saw dalam fungsinya sebagai kepala pemerintahan.

***

Sedangkan menurut Quraish Shihab dalam buku Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat menjelaskan bahwa para mufassir tidak menyangkal bahwa; perbedaan bentuk kata khalifah masing-masing memiliki konteks makna tersendiri, yang sedikit atau banyak berbeda dengan yang lain. Dari hasil penelitiannya terhadap penggunaan kata ini, Quraish Shihab berkesimpulan bahwa: 1) kata khalifah digunakan al-Qur’an untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. 2) bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual dapat melakukan kekeliruan atau kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik Nabi Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu (QS. Thaha [20]: 16; QS. Shad [38]: 26).

Baca Juga  Membaca Kembali Pandangan Islam Progresif

Sebenarnya masih banyak dan luas lagi definisi akan kata khalifah yang dikemukakan oleh para ulama-ulama lainnya. Namun dari dua definisi diatas dapat dikatakan bahwa khalifah dalam pengertian wakil, pengganti atau duta Tuhan di muka bumi ini; secara tak langsung merepresentasikan adanya pertanggungjawaban manusia di hadapan Allah tentang bagaimana ia melaksanakan tugas kekhalifahannya di muka bumi. Selama hidupnya, manusia harus mengimplementasikan dirinya sebagai makhluk bermoral. Ia harus mempertimbangkan perilakunya, karena dirinya merupakan wakil Tuhan di muka bumi.

Manusia: Berperan Sebagai Khalifah Sekaligus Abdillah

Selain diberi amanah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini – karena makhluk lainnya menolak – manusia diciptakan oleh Allah di bumi ini juga mempunyai tugas atau peran lain. Sebagaimana dalam surat Az-Zariyat [51] ayat 56, disebutkan dalam ayat tersebut bahwa tujuan dari penciptaan manusia sendiri tidaklah lain untuk beribadah kepada Allah SWT.

Kembali ke hakikat manusia sebagai khalifah, menurut salah seorang guru besar filsafat islam UIN Sunan Kalijaga; Musa Asy’ari , esensi dari khalifah ialah kebebasan dan kreatifitas dalam upaya pembentukan kebudayaan. Yang dalam konteks antropologi merupakan suatu proses perwujudan eksistensi manusia, sehingga dengan demikian proses perwujudan eksistensi manusia dalam hal ini dipandang sebagai tugas manusia sebagai khalifah.

Maka esensi dari khalifah itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Musa Asy’ari tidak lantas tak sejalan dengan konsep kedudukan manusia sebagai hamba Allah. Karena keduanya berada dalam arus utama pemikiran yang sama. Dalam konteks yang lebih luas, atau minimal dalam paradigma tauhid, keduanya sebenarnya tidak dipandang sebagai kesatuan terpisah. Tetapi memerlukan hubungan dialektik yang akan mengantarkan manusia kepada puncak eksistensi kemanusiaannya.

Baca Juga  Keistimewaan Besi dalam Al-Qur'an Surah Al-Hadid Ayat 25

Manusia sebagai khalifah dalam arti pengganti atau wakil yang memegang kekuasaan, pada dasarnya mengandung hubungan moral. Sehingga dalam menjalani kehidupan ini harus dibatasi oleh nilai-nilai etika keilahian. Manusia tidak diperkenankan untuk menentang hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah. Justru sebaliknya ia harus melandaskan seluruh kehidupannya dengan nilai-nilai dan norma-norma yang universal yaitu wahyu Ilahi.

***

Sedangkan ditinjau dari kedudukan dan perannya dalam al- Qur’an, manusia memiliki kedudukan sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi ini. Maka peran dan tugas yang akan dilaksanakan harus sesuai dengan kedudukan manusia tersebut; yang diwujudkan dalam bentuk amal ibadah dan pelaksanaan misi kekhalifahan berupa; kewajiban mengelola dan menciptakan suatu masyarakat yang darinya hubungannya dengan Allah berlangsung baik, kehidupan masyarakatnya berjalan secara harmonis, serta memelihara, membimbing, mengarahkan segala sesuatu agar mencapai tujuan penciptaannya.

Sejalan dengan hal tersebut, Syahminan Zaini dalam bukunya Mengenal Manusia Lewat al-Qur’an, menyatakan bahwa sebagai khalifah dan hamba Allah; manusia berkewajiban mensyukuri segala nikmat itu dengan kehendak Sang Pemberi Nikmat, yakni dengan berupaya kreatif, memakmurkan bumi, dan membudidayakan alam.

Jika dikorelasikan maka, manusia sebagai seorang pemimpin dan penguasa ia mempunyai wewenang untuk menentukan pilihan dan bebas untuk menggunakan akalnya. Sedangkan sebagai ‘abd manusia menjadi seorang yang taat, patuh dan tunduk dengan aturan yang ada. Dengan demikian peran manusia di muka bumi ini sebagai seorang khalifah memiliki kekuasaan untuk mengelola dan mengolah alam; dengan segenap daya dan potensi yang dimilikinya, sekaligus menjalankan kedudukannya sebagai ‘abd Allah yang mana seluruh usaha dan aktifitasnya sebagai khalifah tadi harus dilaksanakan dalam rangka ibadah kepada Allah.

Editor: An-Najmi

Baca Juga  Esensi Lebaran; Di Balik Tabir Larangan Mudik
Alfin Nur Ridwan
Mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Muhammadiyah Surakarta