Dalam Al-Qur’an, Allah sering menyebut asma’-nya sendirian, dan sering juga asmā’-nya disebut bergandengan. Nama Al-Ḥakīm sering disebut didahului dengan nama Al-`Alīm (Maha Mengetahui) (misalnya. QS. Al-Anfal [8]: 71) dan Al-`Azīz (Maha Perkasa) (misalnya. QS. Al-Baqarah [2]: 209, 220, 228). Refleksi ekonomisnya, puncak keberhasilan sebuah negara adalah terwujudnya keadilan dalam pelbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu membutuhkan kebijaksanaan (al-hikmah) di satu sisi, dan kebijakan (al-hukm) di sisi lain.
Kebijakan produktif mesti didukung oleh kebijaksanaan. Pun, makna dari kebijaksanaan itu sendiri dipengaruhi oleh manifestasinya dalam kebijakan. Di sisi lain, kebijakan yang berlatar kebijaksanaan ternyata membutuhkan dua prasyarat, yakni: pengetahuan (al-ilm) dan keperkasaan (al-izzah). Pengetahuan akan mengayakan ruang kebijaksanaan, dan keperkasaan akan menguatkan ruang kebijakan produktif. Tanpa keperkasaan, suatu bangsa akan tergadai di tengah hegemoni kepentingan global, atau tak kuasa menerjemahkan program-program pembangunan bangsa dalam aksi-aksi nyata. Karena itu, keperkasaan itu niscaya dalam mewujudkan bangsa yang kuat, berdaya-saing dan berkemajuan.
Dimensi ekonomi merupakan sokoguru (qiyam) kehidupan bernegara. Bidang ekonomi saling terpengaruh dengan bidang politik. Dua bidang inilah yang sering mempengaruhi bidang kehidupan lain, mulai dari sosial, budaya, pertahanan hingga keamanan. Faktanya, pihak asing menguasai ekonomi domestik, dengan 80% pasar tekstil, 80% pasar farmasi dan 92% teknologi industri.
Kasus terbaru, Bangsa ini harus mengimpor cangkul mengimpor dari luar negeri—yang semestinya mampu dipenuhi swa-produksi. Lebih ngerinya, perusahaan asing menguasai sektor vital perekonomian Indonesia. Perusahaan Danone dengan produk Aqua-nya menguasai 93% AMDK di Indonesia, meraup keuntungan 10 triliun pertahun, padahal pajaknya hanya mencapai 35 miliar pertahun, atau hanya 5 rupiah per liter. Lumrahnya, pribumi tidak mampu mempengaruhi bidang politik, dan ujungnya semua aspek kehidupan lain. Pribumi tidak menjadi tuan di tanah airnya sendiri.
Dua Alur Perbaikan Ekonomi
Ketimpangan di atas perlu diselesaikan. Usaha perbaikan dan pembangunan mesti dilakukan. Ada dua alur perbaikan yang dapat dilakukan, yaitu:
Pertama, alur top-down, negara mestimerancang kebijakan ideal, strategis dan teknis pembangunan bangsa berlandaskan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Kebijakan seperti ini mestinya menampilkan kearifan bangsa, yang merupakan keunikan bangsa indonesia di satu sisi, dan merupakan daya jual bangsa di sisi yang lain. Tanpa kearifan bangsa, pembangunan bangsa akan terombang-ambing dalam perseteruan ideologi global. Di alur ini, presiden Jokowi dengan nawa-citanya, terutama poin: membangun indonesia dari pinggiran, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, dan mewujudkan kemandirian ekonomi, telah menunjukkan semangat (will) menuju pembangunan bangsa yang berlatar kebijaksanaan dan kearifan bangsa. Persoalannya, nawa-cita sendiri ternyata masih perlu diejawantahkan dalam program-program nyata yang berkelanjutan.
Kedua, alur bottom-up, dengan membangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kemandirian ekonomi bangsa. Program Beli Indonesia IIBF adalah salah satu kerja nyata di bidang ini. Beli indonesia dengan tiga jargonnya: membeli produk indonesia: bukan karena lebih baik, bukan karena lebih murah, tapi karena milik bangsa sendiri; membela bangsa indonesia: sikap jelas dalam pembelaan, membela martabat bangsa, membela kejayaan bangsa; menghidupkan semangat persaudaraan: aku ada untuk kamu, kamu ada untuk aku, kita ada untuk tolong-menolong, dapat membangun kesadaraan yang diperlukan dalam membangun kebanggaan komunal berbangsa bangsa Indonesia. Pada saatnya,kesadaran ini penting dalam menyukseskan keperkasaan program-program pembangunan pemerintah.
Idealnya, kedua alur itu mesti dipertemukan, atau mestinya pada saatnya akan bertemu, dalam deret langkah sistematis pembangunan bangsa—sepanjang bangga berbingkai dengan bingkai Indonesia masih hidup di tengah masyarakat kita. Buntut-nya, sejarah panjang perpisahan negara dan rakyat akan berakhir, dan kemesraan pun akan dimulai dalam kerangka mewujudkan keperkasaan ekonomi. Agar tidak menjadi ide utopis, usaha keras dan nyata yang bersifat kultural me-rakyat dan struktural me-negara mutlak perlu dilakukan. Itulah esensi jihad bidang ekonomi.
Jihad Ekonomi
Usaha jihad ekonomi diperlukan dalam dua hal, yakni: (1) menciptakan pemikiran alternatif pembangunan bangsa, mulai dari tingkat pedesaan hingga tingkat internasional. Pemikiran alternatif ini mesti menyeimbangkan perkembangan global dan kepentingan domestik. Pemikiran ini bukan dengan menyerahkan desainnya pada kepentingan global, seperti kasus peta jalan tol, tapi menumpukannya pada kepentingan domestik dengan tetap mengapresiasi perkembangan kecenderungan ekonomi global.
Akhirnya, skema pemikirannya adalah dengan menciptakan swa-ekonomi terlebih dahulu, yang menuntut penataan supra-struktur maupun infrastruktur bangsa Indonesia, dan dengan menampilkan keperkasaan ekonomi pada perdagangan internasional di kemudian hari, dengan memperbesar kapasitas penjualan ekspor yang besar dan mengecilkan pembelian impor, di semua sub bidang ekonomi; (2) membangun sistem ekonomi yang bermartabat dan berkeadilan, secara jangka pendek maupun jangka panjang, dan dalam skala mikro maupun skala makro. Sistem ekonomi bermartabat adalah sistem yang menciptakan dan memperbesar ruang kemandirian ekonomi domestik, dan bukan yang menciptakan ketergantungan pada pihak asing. Proses yang melatar pada negosiasi berbasis share profit, dan bukan bertumpu pada hutang-piutang. Sistem ini tidak boleh mencukupkan pada pembiayaan finansial saja, namun harus masuk di ranah penguatan produksi dan pelebaran distribusi.
***
Penguatan produksi mestinya tidak hanya berdimensi penguatan ekonomi individual, tapi penguatan ekonomi komunal domestik—dengan perencanaan tata ruang untuk suaka ekonomi masyarakat, misalnya dengan pembangunan kawasan peternakan umum. Pelebaran distribusi dengan memantapkan kesadaran beli produk indonesia dan memperbesar peluang ekspor produk domestik di ajang pasar internasional—tentunya diperlukan standarisasi kualitas produk domestik dengan biaya murah sehingga tidak melambungkan harga produk domestik, dan daya saingnya pun semakin besar. Semua itu tentu membutuhkan dukungan finansial jangka panjang, yang mestinya dimulai dengan keperkasaan ekonomi domestik, sehingga kebijakan-kebijakan politik ekonomi terhindar dari bongkar-pasang sesuai pesan kepentingan Asing. Tanpa keperkasaan ekonomi, yang lahir dari keperkasaan kepribadian, jihad ekonomi akan seperti memukul di atas air belaka.
Agar usaha dan cita-cita keperkasaan ekonomi tercapai, pribadi-pribadi kuat dan dapat dipercaya merupakan prasyarat utama. Pengusaha-pengusaha yang berkepribadian kuat dan berwacana finansial kuat adalah pelaku utama pembangunan ekonomi. Tidak hanya kekuatan pengusaha ini yang diperlukan, namun kepercayaan masyarakat terhadap perilaku dan produk dari para pengusaha juga perlu diperjuangkan. Pasalnya, logika pasar berkata, “Beli dengan harga murah, dan jual dengan harga mahal.” Konsekuensinya, perbaikan dan standarisasi kualitas produk pengusaha domestik mesti dilakukan, di samping pencitraan dan branding di pasar internasional pun harus direkayasa. Usaha ini memang berat, tapi dapat meringan dengan dimulai dari sekarang. Keperkasaan ekonomi adalah syarat bangsa bermartabat. Selamat berswa-ekonomi! Go export, stop import!
Penyunting: Ahmed Zaranggi
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.