Islam memerintahkan manusia untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Kepemimpinan yang dimaksud meliputi berbagai macam lini kehidupan; domestik (private), publik (lembaga pendidikan, sosial, ekonomi, hukum, politik, lembaga negara, dari mulai tingkat desa hingga nasional, dan masih banyak lagi yang lainnya).
Ratu Balqis dalam Al-Quran
Al-Qur’an mengisahkan sesosok pemimpin perempuan yang sukses memimpin kerajaan dengan rakyatnya yang hidup makmur dan sejahtera, yaitu Ratu Balqis/Bilqis. Balqis adalah seorang Ratu yang memimpin kerajaan Saba’ (Yaman) pada masa Nabi Sulaiman. Balqis, sekalipun secara eksplisit namanya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi strategi kepemimpinan dan kepiawaiannya diceritakan secara jelas di dalamnya, tepatnya dalam surat An-Naml ayat 23:.
اِنِّيْ وَجَدْتُّ امْرَاَةً تَمْلِكُهُمْ وَاُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَّلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
Sungguh, kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar.
Imra’ah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Ratu Balqis.
Ada tiga prinsip kepemimpinan yang dapat diambil dari kisahnya, yaitu:
Pertama, arif dan bijaksana, tidak gegabah dalam memutuskan perkara. Hal ini ditunjukkan ketika Balqis menerima surat dari Nabi Sulaiman yang berisi seruan kepada agama Islam. Sikapnya yang tenang saat menerima dan membacakan surat dari Nabi Sulaiman menggambarkan betapa kekuasaan yang dimilikinya tidak menjadikannya sombong dan angkuh.
قَالَتْ يٰٓاَيُّهَا الْمَلَؤُا اِنِّيْٓ اُلْقِيَ اِلَيَّ كِتٰبٌ كَرِيْمٌ – ٢٩ اِنَّهٗ مِنْ سُلَيْمٰنَ وَاِنَّهٗ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ۙ ٣٠ اَلَّا تَعْلُوْا عَلَيَّ وَأْتُوْنِيْ مُسْلِمِيْنَ – ٣١
Dia (Balqis) berkata, “Wahai para pembesar! Sesungguhnya telah disampaikan kepadaku sebuah surat yang mulia.” Sesungguhnya (surat) itu dari Sulaiman yang isinya, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang” (An-Naml: 29-31)
Hal ini bertolak belakang dengan sikap pemimpin kerajaan Kisra yang justru merobek surat dari Nabi Muhammad yang berisi seruan kepada agama Islam.
Karakteristik Kepimpinan Ratu Balqis
Kedua, demokratis. Membaca isi surat tersebut, Balqis tak lantas mengambil keputusan secara pihak. Yang dilakukannya adalah memanggil para pemangku kebijakan istana untuk bermusyawarah dan menentukan sikap. Para menteri istana lantas menyatakan sikapnya bahwa mereka enggan mengikuti ajaran Nabi Sulaiman, mengingat kebesaran dan kedigdayaan Kerajaan Saba’.
Akan tetapi mereka pun tidak memaksakan kehendak tersebut. Mereka meminta pada Balqis untuk mempertimbangkan matang-matang langkah yang akan diambilnya. Semua keputusan sepenuhnya diserahkan kepada Ratu Balqis sebagai pimpinan yang berwenang dalam mengambil kebijakan.
Hal ini tergambar dalam firman Allah surat an-Naml 32-33:
قَالَتْ يٰٓاَيُّهَا الْمَلَؤُا اَفْتُوْنِيْ فِيْٓ اَمْرِيْۚ مَا كُنْتُ قَاطِعَةً اَمْرًا حَتّٰى تَشْهَدُوْنِ – ٣٢ قَالُوْا نَحْنُ اُولُوْا قُوَّةٍ وَّاُولُوْا بَأْسٍ شَدِيْدٍ وَّالْاَمْرُ اِلَيْكِ فَانْظُرِيْ مَاذَا تَأْمُرِيْنَ – ٣٣
Dia (Balqis) berkata, “Wahai para pembesar! Berilah aku pertimbangan dalam perkaraku (ini). Aku tidak pernah memutuskan suatu perkara sebelum kamu hadir dalam majelis(ku). Mereka menjawab, “Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa (untuk berperang), tetapi keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan.”
Ketiga, tidak otoriter. Hal ini dapat dibuktikan dari sikapnya yang meminta pertimbangan dari para pembesar istana dalam menentukan keputusan yang menyangkut kemaslahatan negara dan rakyatnya, apalagi persoalan agama atau kepercayaan. Dalam ayat yang telah disebutkan di atas tertulis jelas bahwa Balqis menyatakan keengganannya mengambil keputusan besar tanpa berdialog dengan para pejabat kerajaan.
Beberapa masukan yang diberikan oleh pejabat istana pun dipertimbangkan secara matang agar tidak terjadi kekeliruan yang fatal dalam pengambilan keputusan. Hingga pada akhirnya Balqis tunduk terhadap ajaran Nabi Sulaiman (An-Naml:44):
قَالَتْ رَبِّ اِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ وَاَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمٰنَ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
Dia (Balqis) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh, aku telah berbuat zalim terhadap diriku. Aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan seluruh alam.”
Mematahkan Stigma Negatif Pada Perempuan
Kisah Balqis dalam strategi kepemimpinannya ini dapat mematahkan stigma negatif yang mengatakan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin. Dengan dalih hanya memiliki separuh akal dan dominasi sifat emosionalnya. Begitu juga ketika menggaungkan hadits yang kurang lebihnya berbunyi:
عن أبى بكرة، رضى الله عنه، قال: لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً».
Ketika datang berita kepada Rasulullah Saw. bahwa bangsa Persia telah mengangkat Putri Kisra sebagai ratu mereka, lalu Rasulullah bersabda, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya (kepemimpinannya) kepada seorang perempuan.” (Shahih Bukhari, no. 4469).
Hadits ini, seyogyanya tidak hanya dipahami dari teks yang tersurat saja. Namun perlu juga memahami konteks budaya yang terjadi pada saat Nabi bersabda. Menurut Hihab Rauf Izzat, seorang aktivis Muslimah Mesir, teks hadits ini tidak sedang mendeligitimasi peran politik perempuan. Akan tetapi ia lebih cenderung membicarakan ramalan masa depan Kekaisaran Persia yang akan runtuh di tangan pemimpin yang nantinya akan menguasai kerajaan, yakni seorang perempuan.
Ramalan ini juga terkait dengan sikap Kerajaan Persia yang tidak menaruh hormat pada utusan Nabi Muhammad Saw. kepada mereka. Sikap tidak hormatnya itu tampak manakala surat yang dibawa oleh delegasi Nabi dirobek-robek dan mengusirnya untuk segera pulang ke Madinah. Atas dasar inilah, Nabi meramalkan kehancuran Kerajaan Persia. Kelak kekuasaannya akan beralih pada seorang perempuan yang masih sangat muda, lemah, dan tidak memiliki dukungan politik yang cukup kuat.
Bukti Islam Mengakui Kepemimpinan Perempuan
Konteks hadits tersebut tidak berlaku untuk norma universal, namun lebih kepada kondisi sosio-politik yang terjadi pada saat itu, bahwa perempuan belum memiliki dukungan politik dan moral yang cukup kuat sebagai pemimpin. Berbeda pada saat ini, dimana perempuan sudah memiliki akses pendidikan dan politik yang cukup memadai, sehingga kita tidak bisa menggunakan hadits tersebut untuk mendeligitimasi kepemipinan perempuan. Karena kepemimpinan tidak mengenal jenis kelamin, namun lebih pada kemampuan dan kepiawaian dalam memimpin, sehingga memiliki cukup kekuatan untuk mengelola ruang lingkup yang dipimpin.
Ratu Balqis menjadi bukti bahwa Al-Qur’an menceritakan role model pemimpin perempuan yang memiliki jiwa kepemimpinan yang demokratis, arif, bijaksana, dan memiliki kemampuan intelektual dalam mempertimbangkan kebijakan Negara yang didasarkan atas kemaslahatan rakyatnya. Sesuai dengan prinsip yang selalu digaungkan dalam Islam, yaitu tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah (kebijakan pemimpin harus didasarkan atas kemaslahatan rakyat).
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply