Al-Qur’an merupakan salah satu kitab suci yang selalu memiliki pembahasan menarik untuk dikaji. Satu di antara pembahasan yang menarik adalah al-Qur’an yang memiliki variasi dalam gaya bacaannya. Pembahasan ini telah melahirkan berbagai pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama bersepakat bahwa variasi gaya bacaan al-Qur’an dilandaskan pada Nabi sendiri.
Menurut buku Sejarah Rekonstruksi Al-Qur’an yang ditulis oleh Taufik Adnan Amal, terdapat pijakan yang termasuk kategori mutawatir dan masyhur mengenai variasi gaya bacaan al-Qur’an, yaitu pada hadis Nabi Muhammad Saw. yang menyebut bahwa kitab suci ini diturunkan kepada umatnya dalam tujuh huruf (عَلَى سَبْعَةٍ أَحْرُفٍ). Di antara hadis yang masyhur adalah yang berasal dari riwayat Umar bin Khattab ra. berikut ini:
“Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca Surat al-Furqan semasa hidup Rasulullah SAW. Lalu kudengarkan bacaannya dengan seksama, ternyata dia membaca dengan model bacaan yang beragam yang tidak pernah dibacakan oleh Rasulullah kepadaku, nyaris saja aku tegur dalam sholat. Aku bersabar hingga salam. Kemudian lehernya aku ikat dengan selendangnya. Lalu aku bertanya: “Siapa yang mengajarkan kepadamu bacaan yang tadi kudengar?.” Dia menjawab: “Aku dibacakan (diajarkan) oleh Rasulullah.” Aku kembali berkata: “Kamu bohong, aku diajarkan bacaan surat tersebut tidak seperti model bacaan yang engkau baca.”
Maka, aku bawa dia ke Rasulullah SAW. Lalu aku berkata: “Sungguh aku mendengar Hisyam membaca surat al-Furqan dengan model bacaan yang tidak pernah engkau ajarkan kepadaku!”. Maka berkata Rasulullah: “Wahai Hisyam, bacalah surat yang engkau baca tadi”. Lalu dia membaca bacaan yang kudengar darinya (sewaktu sholat), maka Rasulullah berkata: “Demikian juga al-Qur’an diturunkan”, lalu Rasulullah berkata: “Bacalah wahai Umar!”, lalu aku membaca yang diajarkan oleh Rasulullah. Maka Rasulullah berkata: “Demikian juga al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah yang mudah darinya.” (Shahih al-Bukhari No. 8111)
Hadis tentang Al-Ahruf Al-Sab’ah
Demikian juga hadis yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab ketika Rasulullah Saw. sedang bersama Bani Ghaffar:
Dari Sayyidina Ubay bin Ka’ab RA, bahwa Nabi Muhammad SAW sedang berada di kolam Bani Ghaffar, lalu Jibril datang dan berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu agar umatmu membaca Al-Qur’an dengan satu huruf atau satu model bacaan.”. Beliau (Nabi) bersabda: “Aku memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sungguh umatku tidak akan sanggup dengan hal itu.” Lalu Jibril mendatanginya untuk kedua kali, lalu berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu agar umatmu membaca Al-Qur’an dengan dua huruf atau dengan dua model bacaan.” Beliau bersabda: “Aku memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sungguh umatku tidak akan sanggup dengan hal itu.”
Lalu Jibril mendatanginya ketiga kali, lalu berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu agar umatmu membaca Al-Qur’an dengan tiga huruf atau tiga model bacaan.” Beliau bersabda: “Aku memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sungguh umatku tidak akan sanggup dengan hal itu.” Lalu Jibril mendatanginya yang keempat kali, lalu berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkan agar umatmu membaca Al-Qur’an dengan tujuh huruf sebab, model apapun yang kamu baca itu benar.” (Shahih Muslim No. 820)
Dari hadis di atas menunjukkan bahwa perbedaan dalam pembacaan al-Qur’an telah terjadi di kalangan para sahabat nabi.
Ragam Pendapat Ulama Tentang Al-Ahruf Al-Sab’ah
Secara etimologi, al-ahruf al-sab’ah terdiri dari dua kata yaitu ahruf (أحرف) yang merupakan bentuk jamak dari harf (حرف) yang berarti huruf dan kata sab’u (سبع) yang berarti tujuh. Dengan demikian, secara terbatas al-ahruf al-sab’ah ((الأحرف السبعة dapat diartikan sebagai huruf yang tujuh. Namun, para ulama banyak berpendapat lebih jauh daripada hanya sekadar yang dimaksud tujuh adalah bilangan.
Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an menulis setidaknya terdapat 40 perbedaan pendapat ulama mengenai hal ini. Lalu, Manna’ al-Qaththan menjelaskan sebagian dari pendapat tersebut dalam bukunya Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Pendapat pertama memaknai al-ahruf al-sab’ah sebagai tujuh bahasa atau dialek (lahjah). Terdapat beberapa bahasa atau dialek yang masyhur dalam masyarakat Arab pada masa diturunkannya al-Qur’an. Bahasa tersebut adalah Quraisy, Hudail Tsaqif, Tamim, dan Yaman. Namun, Abu Hatim as-Sijistani berpendapat lain, tujuh suku tersebut menurutnya adalah Quraisy, Hudail, Tamim, Azid, Rabi’ah, Hawazin, dan Sa’ad bin Bakar.
Pada sebagian ulama yang lain, tujuh yang dimaksud adalah tujuh bentuk, yakni perintah, larangan, janji, ancaman, jadal, kisah, dan perumpamaan. Dalam pendapat lain menyebutkan hal yang sama, hanya saja mengganti jadal dan kisah dengan muhkam dan mutasyabih. Pendapat yang selanjutnya menyatakan bahwa tujuh yang dimaksud adalah tujuh perbedaan cara baca; seperti perbedaan mufrad, mutsanna, jama’, serta mudzakar dan mu’annats.
Perbedaan dari segi i’rab, tashrif, taqdim, ta’khir, dan badal. Serta perbedaan dari segi ziyadah, naqish, tafkhim dan tarqiq. Lalu, beberapa ulama juga berpendapat bahwa angka tujuh dalam hadis Nabi di atas adalah isyarat atas kesempurnaan. Dan yang terakhir, ada pula yang berpendapat bahwa al-ahruf al-sab’ah ((الأحرف السبعة sama halnya dengan al-qira’ah al-sab’ah ((الأقراءة السبعة. Namun, pendapat yang terakhir ini dianggap sebagai pandangan yang begitu lemah. Sebab ulama menghindari untuk berpegang pada pendapat ini. Bahkan Abu Syamah menyebutnya sebagai sebuah kebodohan. (Sejarah Rekonstruksi Al-Qur’an, Taufik Adnan Amal, 2019)
Al-Quran Terus Menarik Dikaji
Di dalam literatur yang lain, makna al-ahruf al-sab’ah tidak dinisbahkan pada angka tujuh sebagai bilangan. Namun, terdapat sebagian ulama dan sahabat yang berpendapat seperti Ibn Abbas dan Ali bin Abi Thalib memaknai angka tujuh dalam definisi yang lebih luas bahkan tidak terbatas. Dalam buku Ma’zaq al-Fikr al-Diniyya yang ditulis oleh Nadhal ‘Abd al-Qadir, disebutkan bahwa salah satu argumentasi ulama mengenai al-ahruf al-sab’ah yang dijabarkan al-Suyuthi adalah menjadikan angka tujuh sebagai simbol atau isyarat akan kemudahan dan kelonggaran pada bacaan al-Qur’an.
Sebagaimana juga ditulis oleh Prof. Dr. Muhammad Mustafa al-‘Azami dalam karyanya Sejarah Teks Al-Qur’an; dari Wahyu hingga Kompilasi, bahwa tujuan utama adanya istilah al-ahruf al-Sab’ah digunakan untuk memberikan kemudahan membaca al-Qur’an. Tentu ini merupakan sebuah anugerah dari Allah yang diturunkan kepada umat Nabi Muhammad Saw. sebagaimana yang berkorelasi dengan hadis yang diriwayatkan Umar bin Khattab di atas yang menyebut “bacalah yang paling mudah darinya”.
Keragaman pendapat ulama mengenai al-ahruf al-sab’ah menjadikan al-Qur’an menarik untuk dikaji. Muatan gaya puitis, sastra, serta ejaannya telah unggul melebihi bahasa-bahasa yang lain. Allah telah memilihkan yang terbaik untuk kitab suci yang diturunkan sebagai wahyu terakhir. Sebagai muslim, tentu tidak perlu meragukan kitab yang telah dijanjikan oleh Allah untuk selalu dijaga-Nya. Oleh karena itu, dengan kemudahan yang telah Allah berikan, tidak menjadikan umat muslim untuk tidak membaca al-Qur’an.
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply