Saya menulis risalah ini sebagai panggilan intelektual untuk menafsirkan kembali makna wahyu dengan rujukan pada khazanah intelektual Islam awal. Mengapa? Selama ini, pemahaman umum tentang wahyu sudah mengalami proses stabilisasi dan pembakuan makna (fixation of meaning). Sehingga wahyu ditafsirkan dengan makna yang tunggal, tetap, dan stabil (fixed and stable meaning).
Pada fase praortodoksi Islam, penafsiran makna wahyu dalam Al-Qur’an tidaklah berwajah monolitik dan stabil. Tetapi justru plural, cair, dan bahkan kontradiktif. Kerja pemaknaan wahyu yang berwajah plural (dhu wujūh) itu terefleksikan pada khazanah pemikiran intelektual seorang penafsir wahyu di masa awal Islam, Muqātil b. Sulaymān (w. 150/767).
Sayangnya, Muqātil direpresentasikan secara negatif dalam tradisi ortodoksi Islam. Khazanah pemikiran Islamnya dilupakan dan diabaikan begitu saja. Mungkin karena pandangan anthropormisme yang ekstrem dan mungkin juga karena corak penafsiran Al-Qur’an yang bersandarkan pada cerita-cerita naratif isrā’īliyyāt (narrative exegesis). Sehingga ia pun juga dikenal sebagai tukang cerita/dongeng.
Sebenarnya, Muqātil tidak sendirian. Al-Kalbī (w. 146/763), ‘Abd Ar-Razzāq (w. 211/827), dan bahkan Al-Tabarī (w. 310/923) adalah sejumlah penafsir yang juga merujuk riwayah-riwayah yang diceritakan oleh al-qussās. Terlepas dari reputasi buruknya, Muqātil layak diapresiasi sebagai penafsir wahyu pertama yang menafsirkan al-Qur’ān—Tafsīr Muqātil b. Sulaymān (Cairo: 1979-1986, 5 vol)—secara utuh dan lengkap.
Ragam Makna Wahyu Menurut Muqātil
Dalam karya lainnya, al-Ashbāh wal-Nazā’ir fī al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo, 1975:168-9), Muqātil memproduksi makna wahyu dalam Al-Qur’ān yang plural dan kontradiktif. Pertama, Muqātil menafsirkan wahyu dengan makna yang inklusif (inclusive revelation). Karena ia merujuk pada apa yang Jibril turunkan dari Tuhan ke Muhammad, Nuh, dan nabi-nabi sesudahnya. Ia kutip ayat al-Qur’ān yang tepat atas pemaknaan wahyu yang inklusif ini:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu (awhaynā) kepadamu [Muhammad], sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi sesudahnya. Dan Kami juga telah memberikan wahyu kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub, dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulayman. Dan Kami berikan wahyu Zabur kepada Daud” (An-Nisā’ [4]:163).
Kedua, Muqātil memaknai wahyu sebagai inspirasi (al-ilhām, divine inspiration), dengan merujuk pada, (1), Dan (ingatlah) ketika Aku ilhamkan (awhaytu, bermakna alhamtu) pengikut ‘Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku”. Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh” (Al-Maidah [5]: 111); dan, (2), Dan Tuhanmu ilhamkan (awhā, bermakna alhama) kepada lebah (An-Nahl [16]: 68).
Ketiga, Muqātil menafsirklan makna wahyu sebagai tulisan atau buku (kitāb), dengan merujuk pada ayat Al-Qur’ān: Maka ia keluar dari mihrab ke arah kaumnya, lalu ia memberikan isyarat (awhā) kepada mereka, yang dimaknai sebagai rujukan pada aktifitas Tuhan (divine activity) dalam menulis (kataba) sebuah tulisan, pesan, atau kitāb kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang (Maryam [19]: 11).
Keempat, Muqātil memberikan makna wahyu sebagai perintah. Ia kutip firman Tuhan sebagai berikut: Sesungguhnya syaitan itu membisyikkan (la-yūhūna) kepada kawan-kawannya (Al-An’ām [6]: 121) ditafsirkan sebagai perintah bahwa “syaitan memerintahkan kepada kawan-kawannya (ya’murūna-hum) dengan bisikan dan tipuan.” Dan terakhir, kelima, Muqātil menafsirkan makna wahyu sebagai ujaran/perkataan (al-qawl). Makna wahyu dalam firman ini—karena sesungguhnya Tuhanmu telah berbicara (awhā) kepadanya (Al-Zalzalah [99]: 5)—adalah Tuhan telah berkata (qāla) kepadanya.
Karakteristik Intelektual Islam Awal
Wahyu dalam konteks ini merujuk pada kalam Tuhan (divine speech), yakni Tuhan yang hadir dalam aktifitas pewahyuan dengan berbicara dan berkata kepada audiens wahyu secara langsung, tanpa mediasi. Studi atas penafsiran makna wahyu dalam khazanah intelektual Islam awal memberikan suatu pelajaran penting bahwa wahyu tidaklah bermakna tunggal dan sama, stabil dan tetap, tetapi justru variatif dan kontradiktif.
Makna wahyu dalam Islam awal disebut variatif karena ia dapat ditafsirkan dengan spektrum makna yang luas, beragam, dan plural. Keragaman dan pluralisme makna ini justru menjadi bagian inheren dari lautan makna dalam khazanah intelektual Islam yang berhasil dieksplorasi oleh penafsir wahyu seperti Muqātil b. Sulaymān. Namun, keragaman dan pluralisme makna wahyu juga menunjukkan aspek lain, yakni makna wahyu yang kontradiktif—satu makna wahyu dapat berbeda secara diametral dengan makna yang lain.
Penafsiran atas makna wahyu yang plural dan kontradiktif ini justru menjadi karakteristik utama dalam khazanah intelektual Islam awal. Artinya, makna yang plural dan kontradiktif itu juga dapat ditemukan dengan mudah pada tradisi penafsiran di kalangan penafsir al-Qur’ān atas tema-tema pokok dalam kesarjanaan Islam, mulai dari al-Qur’ān, al-Kitāb, al-Furqān, an-Najm, sampai mekanisme pewahyuan Al-Qur’ān itu sendiri. Karena itu, Muqātil b. Sulaymān memberikan pesan yang sangat menarik untuk direnungkan bersama: “Seseorang tidaklah pantas dikualifikasikan sebagai seorang faqīh (ahli agama) dalam semua pemahaman keislaman (fiqh) kecuali dia mampu melihat al-Qur’ān dengan banyak wajah atau makna.”
Pertanyaan yang menjadi perdebatan dalam kesarjanaan Islam adalah: di manakah sumber terjadinya makna yang plural dan kontradiktif itu? Apakah hal itu bersumber dari watak teks wahyu yang bersifat polisemi ataukah lebih karena faktor subjektifitas penafsir dalam menafsirkan Al-Qur’ān, atau malah karena keduanya?
Sumber: Suara Muhammadiyah 01 / 106 | 1 – 15 Januari 2021
Editor: Bukhari
Leave a Reply