Disparitas gender menjadi problematika kebangsaan dan keumatan yang hari ini melanda bangsa Indonesia. Kekerasan berbasis gender seringkali berhulu pada ketidakseimbangan yang tidak ketemu ujung pangkal penyelesaiannya. Ditambah lagi, budaya patriarki yang sudah mengakar kuat pada sebagian masyarakat kita. Hal inilah yang menjadikan problem disparitas gender semakin rumit. Terlebih konsep kesetaraan dan takamul.
Hampir sebagian besar kekerasan berbasis gender dialami oleh perempuan. Menurut catatan Komnas Perempuan, pada tahun 2019 saja terjadi 431.471 kekerasan terhadap perempuan. Wow, angka yang signifikan bukan? Lantas, apa penyelesaian dari masalah kekerasan ini?
Konsep Kesetaraan dalam Islam
Quraish Shihab, dalam bukunya Perempuan: Dari Cinta sampai Seks, Dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru, memandang perlu adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pada acara Shihab & Shihab, beliau juga pernah berkata “Kesetaraan (al musawwah) itu membuat kalian (baca: laki-laki dan perempuan) saling melengkapi (takamul).”
Seperti yang sudah penulis sampaikan di atas, Quraish Shihab telah memberikan solusi konkret bagi bangsa ini. Yang selaras pula dengan prinsip Islam dalam memandang kekerasan terhadap perempuan. Pun dalam buku Qiraah Mubadalah, Dr. Faqihuddin Abdul Qodir juga menjelaskan bahwa perlu adanya mubādalah (ketersalingan) dalam kehidupan antara laki-laki dan perempuan.
Islam sendiri sudah memberikan lebel haram pada kekerasan terhadap perempuan. Allah Swt. Berfirman dalam surat an-Nisa ayat 19:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Dalam tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menerangkan, bahwa ayat ini melarang keras kekerasan terhadap perempuan. Bahkan ayat ini memerintahkan laki-laki untuk mempergauli perempuan dengan baik (wa asyiruhunna bil ma’ruf).
Trilogi Keadilan Gender
Dalam hemat penulis, teradapat trilogi tentang kesetaraan dan adil gender yang memiliki keterkaitan dan sangat berkesinambungan satu dengan yang lain. Trilogi sebagaimana penulis maksud adalah mubādalah (ketersalingan); al-musaawah (kesetaraan); takamul (kesempurnaan).
Quraish Shihab pada acara Shihab & Shihab menambahkan, bahwasanya memang terdapat perbedaan fisiologis (fisik) antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini menimbulkan perbedaan tugas fisik yang tidak bisa digantikan. Seperti: mengandung, menyusui, dan melahirkan. Namun, bukan tidak mungkin bagi laki-laki (suami) untuk mensupport perempuan (istrinya) saat menjalankan tugasnya.
Begitupun pada tugas-tugas domestik dan publik, tidak ada pembagian tugas secara normatif yang membatasi laki-laki dan perempuan. Perempuan sama dengan laki-laki yang memiliki hak untuk mengisi ruang-ruang publik. Stigma bahwasanya tugas perempuan hanya dapur, sumur dan kasurmenurut Yeny Wahid adalah stigma lama yang kurang pas dengan kehidupan dewasa ini.
Kembali pada konsep trilogi kesetaraan gender. Pertama, ketersalingan (mubadalah) merupakan dasar dari paham dan perilaku baik laki-laki maupun perempuan dalam bergaul. Ketersalingan harus terbentuk dalam kehidupan sosial masyarakat ketika kita bicara soal kesetaraan gender. Bentuk-bentuk ketersalingan ada banyak macamnya, mulai dari saling menghormati perbedaan fisiologis; saling membantu dalam ranah domestik maupun publik; saling mensupport baik dalam keluarga maupun pada lingkungan masyarakat.
Kesalingan, Kesetaraan dan Kesempurnaan
Paham ketersalingan (mubadalah) sendiri harus terlepas dari segala stereotip tertentu yang cenderung merugikan perempuan. Misalkan ketika kita membantu teman perempuan yang sedang menghidupkan motor. Seringkali muncul ungkan pada sebagian masyarakat, “Sini aku aja yang nyalain, cewek kayak kamu paling enggak punya tenaga!” Seyogyanya dengan menerapkan prinsip mubadalah kalimat yang muncul adalah “Boleh aku bantu?” dengan keyakinan bahwa perempuan itu kuat namun dalam rangka membantunya agar lebih ringan, maka kita menawarkan bantuan.
Kedua, kesetaraan (al musawwah). Setelah prinsip mubadalah mampu diimplementasikan oleh masyarakat, maka selanjutnya akan terwujud keseteraaan antar gender. Labeling bahwa perempuan hanya bisa melakukan tugas domestik tidak akan muncul lagi. Dengan spirit gotong royong, laki-laki dan perempuan bisa berkolaborasi dan bekerja sama untuk menyelesaikan tugas-tugas, baik domestik maupun publik.
Ketiga, kesempurnaan (takamul). Tahap ini sendiri adalah puncak dari dua prinsip-prinsip atau tahap-tahap sebelumya. Dengan adanya kesetaraan dan keadilan gender dalam tiap-tiap sendi kehidupan, kesempurnaan akan terbentuk dengan sendirinya. Untuk mengimplementasikannya sendiri butuh dukungan baik kaum laki-laki maupun perempuan. Sangat mustahil takamul akan tercapai ketika hanya salah satu pihak saja yang berjuang.
Refleksi Masalah Gender
Sebagai refleksi, kita bisa melihat bagaimana seorang Kiyai Ahmad Dahlan dan Nyai Siti Walidah mampu memperjuangkan laju dakwah Muhammadiyah pada masa perintisannya. Bisa kita bayangkan ketika dahulu hanya Kiyai Dahlan atau Nyai Walidah saja yang berjuang, hampir tidak mungkin Muhammadiyah bisa sesukses ini sekarang.
Di akhir, penulis sampaikan bahwa kesetaraan gender merupakan niscaya ketika hari ini kita menghadapi masalah-masalah kebangsaan dan keumatan. Sudah saatnya kita memunculkan kesadaran di tengah-tengah masyarakat, baik perkotaan maupun pedesaan, bahwa kesetaraan akan diikuti kesempurnaan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Tentunya, hal itu harus dimulai dari diri kita terlebih dahulu, kemudian baru kita sadarkan orang-orang terdekat kita, baik keluarga; kerabat; maupun lingkungan sekitar. Kemudian dengan usaha ini, problem-problem kebangsaan dan keumatan berkaitan dengan ketidakadilan gender maupun turunannya lambat laun akan berkurang dan kemudian hilang.
Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.