Cerita Quraish Muda
Tidak banyak yang tahu dan mengenal siapa sosok di balik gemarnya Quraish Shihab muda pada ilmu tafsir. Padahal di balik megahnya karir akademiknya hari ini, ada sosok yang tak boleh dilupakan. Siapakah sosok itu?
Dalam buku Cahaya, Cinta dan Canda M. Quraish Shihab, peran sosok itu dijelaskan lumayan dalam dan jelas. Ia adalah sosok yang telah mengajarkan dan menggembleng Quraish dengan petuah-petuah qur’ani sejak dini. Sosok itu bernama AG. Prof. H. Habib Abdurrahman Shihab, ayah Quraish Shihab.
Dalam banyak kesempatan, tidak terkecuali dalam buku itu, Quraish menuturkan kalau Aba’, panggilan akrabnya pada ayahnya, memiliki peran yang sangat besar dalam membangun kecintaannya terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an) dan ilmu-ilmu tafsir (‘ulum al-tafsir).
Ayahnya adalah seorang guru besar ilmu tafsir. Karirnya di bidang akademik cukup mentereng. Beberapa di antaranya terlibat dalam pendirian Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar pada tahun 1945 sekaligus menjadi rektor di kampus itu dari 1959 sampai 1965 dan juga pernah menjabat sebagai rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar dari tahun 1972 sampai 1977.
Di antara 11 saudaranya yang lain (Nur, Ali, Umar, Wardah, Alwi, Nina, Nizar, Abdul Muthalib, Salwa, Ulfa dan Latifah), hanya Quraish muda yang mengikuti jejak sang ayah. Baik sebagai pendakwah, ulama dan guru besar di bidang tafsir. Saudara-saudara lainnya ada yang menjadi pengusaha, politisi dan dokter.
Harus Sampai Doktor!
Habib Abdurrahman sukses menanamkan pentingnya berpendidikan tinggi pada anak-anaknya, termasuk Quraish muda. Pesannya soal pendidikan sangat dikenang baik oleh anaknya. Salah satu pesannya yang paling diingat ialah bahwa ia tidak akan mewariskan apa-apa kepada mereka, kecuali ilmu dan pendidikan. Bahkan ia selalu meminta anak-anaknya untuk berusaha melampauinya.
Pernah saat Habib Abdurrahman menyampaikan nasehat itu, seorang di antara mereka bersoloroh:
“Apa yang lebih tinggi dari profesor?”
“Ayah profesor. Tapi tidak doktor. Jadi kalian harus sampai doktor.”
Dulu memang ada beberapa profesor yang tidak harus melalui jenjang doktor. Mereka langsung diangkat sebagai profesor. Jadi ini tidak hanya terjadi pada Habib Abdurrahman, namun juga pada beberapa guru besar lain di zaman itu.
Nasihat sang ayah yang meminta agar melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang doktor terus terngiang dan menggedor-gedor telinga Quraish muda. Maka saat telah menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana dan magister dari Universitas Al-Azhar, Quraish sempat merasa cukup dan merasa bahwa menjadi magister saat itu sudah top. Sebab belum banyak yang sampai ke jenjang itu. Kalaupun ada, hanya beberapa.
Namun di tengah perasaan itu, ia kembali teringat pesan sang ayah yang harus melebihi dirinya: menggendong gelar doktor. Akhirnya tanpa banyak pertimbangan, ia kembali melanjutkan pendidikannya ke Negeri Piramida. Sewaktu di Indonesia, ia telah merancang beberapa rencana tema penelitian. Maka ketika menyusun disertasi, ia sama sekali tidak kebingungan. Ia telah memiliki opsi tema.
Kebetulan tema disertasi yang saat itu dipilih, diteliti dan diujikannya adalah Nazm ad-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah, suatu kajian analitik terhadap otentisitas kitab Nazm ad-Durar karya al-Biqa’i. Disertasi ini mendapat pujian yang luar biasa dari pihak kampus dengan predikat Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syarif al-‘Ula atau Summa Cumlaude.
Pendidikan adalah Segalanya
Cerita Quraish Shihab dan ayahnya Habib Abdurrahman di atas hakikatnya mengajarkan beberapa hal. Pengajaran pertama, dalam proses pertumbuhan, sosok ayah tidak jarang menjadi suri tauladan (role model) bagi anak. Bahkan dalam menyusun target-target atau capaian-capaian masa depan.
Siapa menyangka, kalau ternyata karir Habib Abdurrahman sebagai pendakwah dan guru besar tafsir, ada yang melanjutkan. Mengapa demikian? Sebab ayah Quraish adalah sosok yang demokratis. Ia tidak mendikte dan menuntut anak-anaknya harus sepertinya. Buktinya di antara beberapa anaknya, ada yang tidak menjadi tokoh agama. Entah menjadi dokter, pengusaha, bahkan politisi.
Quraish pun mengakui, bahwa ia tidak pernah diminta ayahnya untuk menekuni tafsir. Ia belajar tafsir atas dorongan dan kesadarannya pribadi. Jika ada pengaruh dari sang ayah, maka itu lebih kepada pengajaran nasehat-nasehat Al-Qur’an yang didapatkannya sewaktu kecil. Jadi posisi sang ayah hanya menginspirasi. Tidak mendikte.
Ada banyak nasehat-nasehat Al-Qur’an yang didapat dan sangat berbekas di benak Quraish muda hingga saat ini. Di antaranya Habib Abdurrahman sering mengutip nasihat yang belakangan diketahui Quraish berasal dari pemikir dan filosof Islam asal Pakistan, Sir Muhammad Iqbal. Nasehat itu, “Bacalah Al-Qur’an seolah-seolah ia diturunkan kepadamu.”
Selain itu, sang ayah juga kerap menyitir ungkapan yang belakangan diketahui pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) itu berasal dari ulama dan pembaharu Islam asal Mesir, Syaikh Muhammad Abduh. Ungkapan itu berbunyi, “Rasakan keagungan Al-Qur’an sebelum engkau menyentuhnya dengan nalarmu.”
Jadi pengajaran dan teladan yang dihadirkan seorang ayah sewaktu kecil sangat membekas dan boleh jadi akan menjadi pertimbangan besar anak dalam menentukan karir dan jalan hidupnya ke depan.
Sementara pengajaran kedua, orang tua harus senantiasa memotivasi anaknya untuk melampauinya. Sebab, kemelampauan itu adalah tolak ukur sukses atau tidaknya orang tua dalam mendidik. Adapun pengajaran terakhir, Habib Abdurrahman memperlihatkan bahwa pendidikan adalah segalanya. Ini tercermin dalam nasehatnya, “Jangan wariskan sesuatu, kecuali ilmu.”
Leave a Reply