Surah al-Baqarah ayat 183 merupakan salah satu ayat yang memiliki peran fundamental dalam kehidupan seorang muslim. Dalam ayat ini menetapkan kewajiban puasa bagi umat Islam sebagai bagian dari syari’at Islam. Artikel ini membahas perbandingan antara dua tafsir yang berbeda dalam mazhab.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya:” Wahai orang-orang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang selum kamu agar kamu bertakwa.”
Ayat di atas tidak hanya mengandung hukum kewajiban puasa saja, akan tetapi juga menyampaikan tujuan utama dari ibadah tersebut yaitu untuk mencapai ketakwaan. Di sisi lain, tafsir ayat di atas berbeda-beda tergandung dengan pendekatan dan latar belakang mufasirnya. Berikut perbandingan yang dijelaskan.
Pendekatan Tafsir Fath Al-Qadir
Imam Al-Syaukani merupakan seorang ulama dari Yaman yang dikenal dengan metode tafsirnya yang moderat dan juga inklusif. Dalam tafsir Fath al-Qadir, ia memadukan tafsir bi al-ma’tsur dengan tafsir bi al-Ra’yi. Dan pada surah al-Baqarah ayat 183, Al-Syaukani menafsirkan dengan memulai analisis kebahasaan.
Ia menjelaskan bahwa kata كُتِبَ pada ayat tersebut menunjukkan kewajiban yang sifatnya tegas. Menurutnya, istilah itu memiliki makna hukum yang serupa dengan kewajiban sholat dan zakat. Kata صِّيَامُ dijelaskan sebagai bentuk menahan diri yang mana dalam syariat Islam mencakup larangan makan, minum serta hubungan suami istri dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Namun, inti dari tafsir Al-Syaukani terletak pada tujuan puasa, yaitu untuk mencapai ketakwaan. Ia menekankan bahwa puasa bukan sekedar ibadah fisik saja, tetapi juga Latihan spiritual dan moral. Puasa mengajarkan manusia untuk mengendalikan hawa nafsu dan juga menjaga diri dari perilaku yang bertentangan dengan ajaran Allah. Ia juga menyoroti hubungan antara puasa dengan umat terdahulu yang menunjukkan universal ibadah ini sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam pandangannya, puasa tidak hanya untuk menahan lapar dan haus, tetapi juga menjadi momen untuk merenungkan kelemahan manusia di hadapan Allah. Dengan car aini, puasa membantu umat Islam mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Tafsir Fath al-Qadir cenderung menghindari pembahasan teknis hukum dan lebih fokus pada hikmah serta tujuan makna filosofis dari iabadah puasa pada ayat ini.
Pendekatan Tafsir Al-Jami’ li al-Qur’an
Berbeda dengan Fath al-Qadir, tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Imam Al-Qurthubi merupakan tafsir yang sangat berorientasi pengan hukum. Imam Al-Qurthubi adalah ulama Sunni dari madzab Maliki dan tafsirny sering digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan fikih.
Dalam penafsirkan surah al-Baqarah ayat 183, al-Qurthubi memberikan perhatian besar pada detail hukum puasa. Ia menjelaskan bahwa puasa adalah kewajiban bagi setiap muslim yang memenuhi syarat, seperti baligh, berakal dan sehat. Bagi mereka yang sakit atau dalam perjalanan, Islam memberikan keringanan berupa qadha puasa di hari lain. Untuk orang-orang yang tidak mampu berpuasa secara permanen, seperti orang tua atau penderita penyakit kronis, diberikan alternatif berupa fidyah, yaitu memberi makan orang miskin.
Al-Qurthubi juga membahas secara detail teknis pelaksanaan fidyah, termasuk jenis makanan yang diberikan dan jumlahnya. Selain itu juga, ia mengulas pentingnya niat dalam puasa, waktu sahur dan batas waktu puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Sebagai seorang ahli fikih, al-Qurthubi tidak hanya menjelaskan pandangan mazhab Maliki, tetapi juga membandingkan dengan pandangan ulama dari mazhab Hanafi, Syafi’i serta Hanbali. Hal tersebut memebrikan gambaran yang komprehensif tentang hukum-hukum puasa dalam Islam.
Meskipun fokus utamanya adalah hukum, al-Qurthubi tidak mengabaikan aspek spiritual dari puasa. Ia menyebutkan bahwa tujuan utama puasa ialah untuk mencapai ketakwaan, sebagaimana yang telah disebutkan ayat diatas. Namun, penjelasan tersebut tidak dibahas secara mendalam seperti dalam tafsir Fath al-Qadir.
Kesimpulan
Dengan adanya uraian perbandingan di atas dapat disimpulkan, bahwa baik tafsir Fath al-Qadir maupun tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an memberikan pendekatan yang berbeda dalam menafsirkan surah al-Baqarah ayat 183. Tafsir Fath al-Qadir lebih menekankan aspek universal dan spiritual dari ibadah puasa, sedangkan Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an lebih fokus pada detail hukum syari’at.
Pendekatan Al-Syaukani dalam Fath al-Qadir memberikan ruang yang luas bagi pembaca untuk merenungkan nilai-nilai puasa tanpa terbebani oleh detail teknis. Pendekatan ini cocok bagi mereka yang mencari pemahaman tentang hikmah ibadah dan bagaimana puasa dapat meningkatkan hubungan spiritual dengan Allah.
Akan tetapi sebaliknya, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi tersebut merupakan tafsir yang sangat kaya dengan pembahasan hukum. Tafsir ini sangat berguna bagi mereka yang ingin memahami aturan-aturan puasa secara rinci dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengutip berbagai pendapat perbandingan mazhab, al-Qurthubi menawarkan pemahaman yang komprehensif tentang fikih puasa.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.