Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Qawaid Tafsir dan Kaitannya dengan Ilmu Bahasa Arab dan Ushul Fiqh

Sumber: www.Shopee.com

Qawaid Tafsir merupakan suatu landasan, aturan-aturan ataupun kaidah-kaidah bagi seorang mufassir. Agar penafsirannya tidak melenceng dan keluar dari aturan yang berlaku, sehingga penafsirannya dapat dikatakan sebagai penafsiran yang shahih dan benar.

Selain itu Qawaid Tafsir juga merupakan salah satu ilmu baru dalam penulisannya. Namun penerapannya sudah ada dan bahkan telah dijalankan sejak masa Rasul, Sahabat sampai masa para tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Qawaid tafsir di zaman setelahnya juga belum dijadikan suatu kaidah khusus dalam penafsiran al-Qur’an, dan masih bertebaran dengan disiplin keilmuan yang lain. Seperti Tafsir, Ilmu Tafsir, Ushul Fiqh, bahasa arab dan lain sebagainya.

Sehingga barulah antara tahun 542-621 H, muculnya kitab pertama Qawaid Tafsir yang secara khusus membahas tentang kaidah-kaidah penafsiran dalam al-Qur’an. Ditulis oleh Fahruddin bin al-Khatib. Meskipun sangat disayangkan kitab tersebut tidak sampai kepada kita hari ini.

Meskipun demikian, para ulama pengkaji al-Qur’an maupun tafsir memberikan perhatian khusus terhadap kaidah ini. Sebagaimana Ibnu Taimiyyah ia mengatakan “Sudah menjadi keharusan bagi siapa saja yang ingin mengetahui disiplin keilmuan tertentu untuk mengetahui kaidah-kaidah umumnya, agar ia dapat memahami dan menjelaskannya dengan benar dan proporsional.”

Oleh karenanya, dalam artikel ini akan dijelaskan secara rinci mengenai Qawaid Tafsir, urgensinya dan keterkaitannya dengan Ilmu Bahasa Arab dan Ushul Fiqh.

Pengertian Qawaid Tafsir dan Urgensinya

Secara umum Qawaid Tafsir terbagi menjadi dua kata, yaitu Qawaid dan Tafsir. Kata Qawaid secara etimologi adalah bentuk jama’ dari kata qaidah. Hingga dimaknakan oleh Rahi Ba’albaki maksud Qawaid adalah dasar, landasan, fondasi, standar, prinsip dan lainnya, yang menjadi dasar dalam membangun sebuah bangunan atau menetapkan suatu hukum.

Selain itu, kata Tafsir secara etimologi adalah Fassara-Yufassiru-Tafsiran yang bermakna al-Kasyf atau menyingkap, al-Idhah atau menjelaskan dan al-Bayan atau keterangan. Sedangkan makna Qawaid Tafsir secara terminologi menurut Quraish Shihab adalah  ketetapan-ketetapan yang membantu seorang mufassir untuk menarik makna atau pesan-pesan al-Qur’an dan menjelaskan kandungan ayat-ayat yang muskil.

Di mana ketetapan-ketetapan itu merupakan patokan bagi Mufassir untuk memahami kandungan dan pesan-pesan al-Qur’an. Sedikit berbeda dari Qurasy Shihab menurut Khalid bin Ustman as-Sabt Qawaid Tafsir adalah hukum umum yang meliputi seluruh bagian-bagiannya. Yang digunakan untuk menggali makna al-Qur’an al-Karim dan cara mengambil manfaat dari makna-makna tersebut.

Baca Juga  Mengenal Pendekatan Tafsir Ma'na Cum Maghza ala Sahiron

***

Adapun mengetahui urgensi Qawaid Tafsir menurut para ulama adalah sebagai berikut:  Pertama, berguna dalam meluruskan penafsiran dan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an serta memberikan panduan bagaimana cara yang benar dalam beristimbat hukum dari ayat-ayat tersebut. Fungsi Qawaid Tafsir ibarat seperti halnya Qawaid al-Lughah yang dapat menjauhkan kita dari kesalahan dalam berbahasa.

Kedua, menurut al-Sa’di ia mengungkapkan, “Salah satu keunggulan syari’at Islam adalah bahwa semua hukumnya, baik yang bersifat global maupun terperinci, baik yang menyangkut ibadah maupun muamalah, semuanya memiliki kaidah-kaidah tersendiri. Melalui kaidah, yang terpencar-pencar menjadi menyatu, sebaliknya, yang satu menjadi memiliki banyak maksud. Maka, dengan kaidah semuanya dapat dikembalikan kepada makna asalnya, sehingga terhindar dari kesalahpahaman.”

Ketiga, sangat berguna dalam memilih dan mentarjih di antara pendapat-pendapat ulama yang beraneka ragam. Dengan begitu kita dapat menilai dan menentukan sikap. Di mana pendapat yang benar dana mana pendapat yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah tafsir yang ditetapkan oleh ulama.

Keempat, menurut Quraish Shihab manfaat mengetahui kaidah tafsir adalah dapat membantu seseorang dalam menarik makna-makna yang terkandung di dalam kosakata ataupun kalimat-kalimat di dalam al-Qur’an. Bahkan lebih dari itu, juga dapat menemukan makna di balik makna ayat lahiriyah tersebut.     

Kaitannya Dengan Ilmu Bahasa Arab

Pertama, bahasa Arab merupakan syarat mutlak ataupun syarat wajib yang harus dimiliki oleh setiap mufassir  dalam menafsirkan al-Qur’an. Karena tidak berhak menafsirkan al-Qur’an tanpa mengetahui bahasa arab. Hal tersebut dapat dibuktikan dari berbagai macam karya ulama al-Qur’an maupun tafsir yang mencantumkan syarat ilmu tersebut kepada mufassir sebelum menafsirkan al-Qur’an.

Sebagaimana Al-Suyuti mensyaratkan 15 macam ilmu, al-Alusy 7 macam ilmu dan Ustman al-Sabt 8 macam ilmu,  yang harus dimiliki oleh para mufassir salah satunya adalah ilmu bahasa arab mencakup (ilmu nahwu, Sharf, Balaghah, Istiqaq, dan lain sebagainya).

Baca Juga  Studi Tafsir Al-Qur’an dengan Pendekatan Teori Epistemologi

Kedua, menurut Quraish Shihab bahasa arab atau ilmu alat adalah salah satu faktor yang jika tanpanya mengakibatkan kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an; yang ia rangkum dalam enam faktor. Seperti subyektifitas mufassir, kekeliruan dalam metode atau kaidah, sedikitnya pengetahuan ilmu-ilmu alat, sedikitnya pengetahuan terhadap uraian ayat maupun kondisi sosial masyarakat, dan tidak mengetahui siapa pembicara atau mitra dan siapa yang dibicarakan.

Kaitannya Dengan Ilmu Ushul Fiqh

Pertama, sama-sama berpatokan dalam memahami ayat berdasarkan redaksinya yang bersifat umum, (bukan khusus) dalam kasus yang menjadi sebab turunnya ayat. Jika terdapat ayat-ayat yang konteks pembicaraanya bersifat khusus, dan berkaitan dengan suatu hukum. Maka ketentuan hukum tersebut tidak terbatas pada satu kasus, namun berlaku umum.

Kedua, sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan sesuatu yang haram atau mengabaikan yang wajib. Sebagaimana jika ditemukan ayat yang memberi petunjuk tentang suatu tindakan, dimana semula bersifat mubah dan akan terlarang, dan jika menimbulkan sesuatu yang haram atau yang wajib terabaikan.

Ketiga, perintah di atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya, dan larangan atas sesuatu berarti perintah atas kebalikannya. Jika menemukan ayat yang berisi perintah untuk melakukan sesuatu perbuatan, maka ayat tersebut melarang perbuatan yang sebaliknya. Demikian pula, jika menemukan suatu ayat yang berisi larangan terhadap suatu perbuatan, maka ayat tersebut memerintahkan sebaliknya. 

Bentuk Kaidahnya dalam Penafsiran Al-Qur’an

Pertama, dari bentuk kaidah ilmu bahasa arab dalam penafsiran al-Qur’an. Seperti dalam kaidah Jama’, berikut yang tertera dalam surah al-Isra’ ayat 71 disebutkan : 

            يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ اُنَاسٍۢ بِاِمَامِهِمْۚ…..

(Ingatlah), pada hari (ketika) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya…

Makna ayat tersebut, menurut al-Zamaksary yang dikutip oleh al-Razy bahwa ia menegaskan termasuk bid’ah orang yang menafsirkan kata imam pada ayat tersebut bentuk jama’ dari Ummun (ibu). Sehingga mereka menyimpulkan bahwa manusia pada hari kiamat nanti akan dipanggil bersama ibunya dan tidak dengan bapaknya.

Baca Juga  Tahap Penelitian dengan Kajian Semantik Toshihiko Izutsu

Hal senada juga diutarakan oleh al-Razy ia mengatakan ini merupakan kesalahan yang besar sebab kata imam sama sekali bukan bentuk jama’ dari ummun. Namun yang benar adalah apa yang dimaksud dengan kata imam (pemimpin) dalam ayat tersebut adalah buku catatan amal, nabi, kitab yang diturunkan atas mereka atau seseorang yang ia ikuti ketika di dunia baik nabi ataupun lainnya.

Kedua, dari bentuk kaidah Ushul Fiqh dalam penafsiran al-Qur’an. Seperti dalam kaidah Mafhum, yang terbagi menjadi dua bagian pokok yaitu Mafhum Muwafaqoh biasa disebut dilalah al-Nas dan Mafhum Mukhalafah. Berikut contoh penafsiran dari kaidah Mafhum Muwafaqah dalam surah al-Isra’ ayat 23:

    فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ

Maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ah

Maksud ayat diatas adalah larangan mengucapkan “ah” kepada orang tua. Jika demikian, menyakiti hatinya juga terlarang, apalagi memukulnya. Menyakiti atau memukulnya adalah Mafhum Muwafaqah dari ayat tersebut.

Editor: An-Najmi