Salah satu yang sering ditekankan oleh para ulama ialah bahwa bulan Ramadan merupakan syahr at-tarbiyah (bulan pendidikan). Di dalamnya manusia dididik dan dilatih menjadi pribadi yang lebih baik. Di sana hadir satu harapan bahwa perilaku-perilaku buruk sedikit demi sedikit akan terkikis. Salah satu di antaranya adalah sifat sombong.
Ramadan dengan segala prosesi di dalamnya harus diakui telah menunjukkan sifat dasar manusia yang begitu lemah dan tak berdaya. Bagaimana tidak, tidak perlu sebulan atau seminggu, menahan lapar dan dahaga selama sehari lamanya saja kita hampir kehilangan tenaga. Dari sini kemudian kita insyaf bahwa sebagai manusia kita amat lemah.
Kesadaran ini penting dirawat. Agar kita senantiasa sadar dengan kodrat kita dan tidak melampaui batas. Sebab di zaman ini banyak manusia yang hampir telah kehilangan kendali dan pada akhirnya berbuat di luar batas. Kesombongan telah merajai diri. Ia merasa dengan segala yang ia miliki, kekuasaan, harta, pengaruh dan popularitas, ia bebas melakukan apa saja.
Sifat inilah yang sesungguhnya ingin dibendung dan dijinakkan oleh ritual puasa. Orang yang betul-betul menjalani puasa seyogianya sadar bahwa sifat dan sikap sombong tidak semestinya memiliki tempat dalam diri.
Al-Qur’an mengingatkan:
وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِی ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا یُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالࣲ فَخُورࣲ
“Janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dalam keadaan sombong. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi berbangga diri.”
Penafsiran al-Zamakhsyari
Pakar linguistik yang juga ahli tafsir, al-Zamakhsyari, menafsirkan ayat ini sebagai perintah untuk rendah hati dan menjauhkan diri dari sifat sombong. Ia menulis:
أقبل على الناس بوجهك تواضعا، ولا تولهم شق وجهك وصفحته، كما يفعل المتكبرون.
“Hadapilah manusia dengan wajahmu sebagai bentuk kerendahan hati, dan janganlah memalingkan mereka dengan hanya memperlihatkan satu sisi wajahmu, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sombong.”
Selain perintah untuk tetap rendah hati dan menghindari kesombongan, ayat ini menurut al-Zamakhsyari juga mengajarkan kita untuk tidak foya-foya dan terlalu berlebihan dalam mengekspresikan perasaan gembira. Misalnya ketika mendapat harta dan jabatan, janganlah hal itu dipamerkan secara berlebih. Karena yang demikian itu dapat mendekatkan manusia pada sifat sombong.
Untuk menguatkan penafsirannya, al-Zamakhsyari menyitir ayat yang senada. Di sana dikatakan, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang keluar dari negeri mereka dengan rasa angkuh dan riya’ (ingin dilihat) oleh manusia.” (QS. Al-Anfal: 47). Lewat ayat ini Allah memberi satu penegasan bahwa manusia tidak boleh berjalan di bumi ini dengan tujuan kesombongan dan keangkuhan. Tindak tanduk dan gerak-gerik kita jangan sampai diniatkan memamerkan dan membanggakan diri di hadapan manusia.
Sikap sombong adalah sikap yang berbahaya. Karena kesombongan tidak jarang memakan korban dan mengantarkan pelakunya pada jurang kehancuran. Al-Qur’an menayangkan banyak kisah tokoh-tokoh yang pada akhirnya dibinasakan oleh Allah. Kisah yang paling masyhur adalah kisah Fir’aun, penguasa Mesir kuno yang merupakan ayah angkat dari Nabi Musa.
Aktor-aktor Sejarah tentang Kesombongan
Fir’aun dikenal sebagai penguasa yang lalim dan menutup diri dari kebenaran. Dakwah Musa berulang kali disampaikan dan berulang kali juga ditolak. Dengan kekuasaan dan pengaruh yang ia punya, ia telah menjelma manusia yang melampaui batas. Ia telah lupa kodratnya sebagai manusia. Dalam tahap yang lebih ekstrem ia bahkan telah mengaku Tuhan. “Ana rabbukumul a’la (Akulah Tuhan kalian yang paling tinggi).”
Sikap inilah yang kemudian membuat Allah murka dan menghancurkannya. Dia merasa telah super power dan tak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaannya. Tetapi fakta berkata lain. Kekuasaan Allah tetap di atas segalanya. Laut yang menyelamatkan Musa pada akhirnya juga menjadi laut yang membinasakan dan menggulung Fir’aun.
Begitupun dengan sosok Qarun. Ia dikenal sebagai orang yang memiliki harta berlimpah. Namun harta yang dimilikinya tersebut membuat takabur dan berjalan dengan penuh bangga diri. Ia bahkan memandang Nabi Musa dan pengikutnya orang yang rendah. Padahal dulunya dia adalah orang yang miskin. Namun berkat doa Musa dikabulkan oleh Allah, ia dikaruniai harta yang berlebih. Allah yang memberikan dan menitipkan, Allah jua yang pada akhirnya menghukum dan menenggelamkannya.
“Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).”
Refleksi
Karena itu ketika menemukan orang di zaman yang sombong karena harta dan kekuasaannya, maka katakanlah bahwa apa yang dimilikinya saat ini tidak ada apa-apanya dibanding dengan apa yang dimiliki dan pernah dilakukan oleh Fir’aun dan Qarun di masa lampau. Hal yang perlu ditanamkan dan selalu dipatrikan dalam diri ialah bahwa yang kita miliki adalah titipan. Janganlah titipan ini membuat kita sombong dan angkuh.
Apalagi untuk para penguasa dan pejabat. Jangan kekuasaan yang dimiliki diniatkan untuk berbuat culas dan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Juga jangan kekuasaan yang dimiliki dipakai untuk menyingkirkan lawan dan orang-orang yang tidak disenangi. Kekuasaan kita pendek dan hidup kita panjang. Jangan sampai setelah kita selesai menjabat, orang-orang menjauhi dan memusuhi kita.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.