Qira’at dan Al-Qur’an adalah dua kata yang berbeda tapi mempunyai makna yang sepadan yaitu, bacaan. Meskipun demikian, sebagian ulama mempersepsikan bahwa qiraat dan Al-Qur’an mengandung muatan pembahasan dan objek yang berbeda. Sebagaimana pendapat az- Zarkasyi bahwa Al-Qur’an dan qiraat merupakan dua subtansi yang berbeda.
Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai penjelasan dan mukjizat, sedangkan qiraat adalah lafadz-lafadz wahyu (Al-Qur’an), baik menyangkut tulisan, huruf-huruf, atau cara pengucapannya, seperti takhif, tashdid, dan lain-lain. (Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, h. 318.)
Sedangkan menurut mayoritas ulama, apabila qiraat tersebut diriwayatkan dengan sanad yang shahih, sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab, dan sesuai rasm (pola penulisan) mushaf, maka dapat dikatakan qiraat dan itu tergolong Al-Qur’an. Namun bila tanpa ketiga syarat itu, maka dianggap qiraat biasa. (M. Zaenal Arifin, h. 117.)
***
Dalam kitab Manahi al-Irfan fi Ulum Al-Qur’an, Muhammad Abdul Azhim al-Zarqany mengumpulkan sebanyak 21 orang sahabat Nabi Saw yang meriwayatkan hadis tentang penjelasan Al-Qur’an diturunkan dengan sab’atu ahruf (berbagai ragam bacaan). Sehingga hadis tersebut mencapai derajat mutawatir, mustahil ada perawi yang berdusta. Karena itu, Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah Swt, demikian juga bacaannya juga merupakan wahyu dari-Nya, diberkati dan ditinggikan.
Namun mengenai tentang turunnya Al-Qur’an dengan berbagai ragam bacaan, ulama berbeda pendapat terkait kapan dan dimana? Dalam hal ini Abu Taher Abdul Qayyum di dalam kitabnya Shafhatu fi Ulum Al-Qiraat,30 memaparkan bahwa para ulama terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama, berbagai ragam bacaan Al-Qur’an mulai diturunkan saat Nabi masih di kota Mekah sebelum berhijrah.
Adapun dalil yang menjadi landasan pendapat ini, merujuk pada sabda Nabi:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَأَنِي جِبْرِيلُ عَلَى حَرْفٍ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
Artinya: Dari Ibnu Abbas beliau berkata: bahwa Rasulullah Saw bersabda: malaikat Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian aku selalu meminta agar huruf itu ditambah, dan Jibril pun menambahnya kepada ku sampai selesai tujuh huruf.
***
Menurut pendapat pertama, hadis ini memberikan indikasi bahwa ragam bacaan Al-Qur’an telah diturunkan di Mekah sejak awal mula wahyu Al-Qur’an diturunkan.
Kemudian lebih lanjut, ulama yang berpegang pada pendapat ini, memaparkan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat surat Makiyah dan Madaniyah. Dan sebagian besarnya didominasi oleh surat Makiyah. Menurut Sayyid Alawi al-Maliki dalam Kitab Al-Qawaid al-Asasiyah Fi Ulum al-Qur’an, jumlah surat Al-Qur’an yang turun di Madinah sebanyak 29 surat. Sedangkan surat Al-Qur’an yang turun di Mekah sebanyak 85 surat.
Dalam surat Makiyah ini pun terdapat ragam qiraat (bacaan) dalam membacanya. Oleh karena itu menurut pendapat pertama ini Al-Qur’an dan berbagai ragam bacaanya turun di Mekah, sejak awal diturunkannya Al-Qur’an.
***
Lebih jauh, argumen selanjutnya, mengenai hadis yang menceritakan tentang kisah ketika Umar bin Khattab mendengarkan Hisyam membaca surah Al-Furqan. Adapun redaksi hadisnya sebagai berikut.
اَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ هِشَامَ بْنَ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفُرْقَانِ فَقَرَأَ فِيهَا حُرُوفًا لَمْ يَكُنْ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْرَأَنِيهَا قُلْتُ مَنْ أَقْرَأَكَ هَذِهِ السُّورَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ كَذَبْتَ مَا هَكَذَا أَقْرَأَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ أَقُودُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ أَقْرَأْتَنِي سُورَةَ الْفُرْقَانِ وَإِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ فِيهَا حُرُوفًا لَمْ تَكُنْ أَقْرَأْتَنِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ يَا هِشَامُ فَقَرَأَ كَمَا كَانَ يَقْرَأُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ اقْرَأْ يَا عُمَرُ فَقَرَأْتُ فَقَالَ هَكَذَا أُنْزِلَتْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُف
Artinya: Bahwa Umar bin Khatthab berkata, Aku mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surah Al-Furqan, ia membaca huruf-huruf yang tidak pernah dibaca oleh Nabi. Aku berkata kepadanya, ‘Siapakah yang membacakan surat ini kepadamu?’ la menjawab, ‘Rasulullah .’ Aku berkata, ‘Kamu dusta, Rasulullah tidak membacakan kepadamu seperti itu!’ Lalu aku pegang tangannya dan aku bawa dia kepada Rasulullah, lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau membacakan surah Al-Furqan kepadaku, sedangkan aku tadi mendengar orang ini membaca huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku! Rasulullah lalu bersabda, ‘Bacalah wahai Hisyam.’ Ia pun membacanya seperti bacaannya (yang didengar oleh Umar), maka Rasulullah bersabda, Begitulah Al-Qur’an diturunkan. Kemudian beliau berkata kepada Umar, ‘Wahai Umar, bacalah.’ Lalu akupun membacanya, kemudian Rasulullah bersabda, “Begitulah Al-Qur’an diturunkan. Lalu beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf.
***
Dalam hadis ini surah yang diperdebatkan adalah surah Al-Furqan. Sedangkan surah Al-Furqan sendiri termasuk surat Makiyah. Demikian, menurut pendapat ini bahwa ragam bacaan Al-Qur’an sudah diturunkan saat Nabi di Mekah.
Berbeda dengan pendapat pertama, yakni pendapat kedua, berpandangan ragam bacaan Al-Qur’an diturunkan saat Nabi hijrah ke Madinah.
Adapun alasannya ialah karena salah satu sebab ragam bacaan diturunkan adalah untuk memudahkan umat. Karena faktor perbedaan lahjah (dialek) kabilah-kabilah dan bahasanya. Sedangkan, pada saat di Mekah kabilah-kabilah Arab yang masuk Islam masih sangat sedikit. Berbeda saat di Madinah, kabilah-kabilah berbondong-bondong masuk Islam setelah Hijrah. Maka dari itu, menurut pendapat kedua ini, qiraat (ragam bacaan) dalam membaca Al-Qur’an belum diturunkan pada saat Nabi di Mekah melainkan diturunkan setelah Nabi hijrah ke Madinah.
Alasan selanjutnya bahwa perbedaan sahabat dalam membaca Al-Qur’an sebagaimana argumen pendapat pertama. Yaitu peristiwa Umar bin Khattab dan Hisyam saat membaca surat Al-Furqan. Menurut pendapat kedua ini merujuk kepada konteks peristiwa terjadinya perdebatan tersebut. Yakni terjadi saat nabi berada di Madinah bukan di Mekah.
***
Lebih lanjut, dalil yang dijadikan hujjah untuk pendapat kedua ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَ أَضَاةِ بَنِي غِفَارٍ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَأْمُرُكَ أَنْ تُقْرِئَ أُمَّتَكَ عَلَى حَرْفٍ قَالَ أَسْأَلُ اللَّهَ مُعَافَاتَهُ وَمَغْفِرَتَهُ إِنَّ أُمَّتِي لَا تُطِيقُ ذَلِكَ ثُمَّ أَتَاهُ ثَانِيَةً فَذَكَرَ نَحْوَ هَذَا حَتَّى بَلَغَ سَبْعَةَ أَحْرُفٍ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكَ أَنْ تُقْرِئَ أُمَّتَكَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَأَيُّمَا حَرْفٍ قَرَءُوا عَلَيْهِ فَقَدْ أَصَابُوا
Artinya: dari Ubai bin Ka’b bahwa Nabi berada di air rawa Bani Ghifar, kemudian Jibril datang kepadanya, dan berkata, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkanmu untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu bacaan. Beliau berkata, “Aku meminta maaf dan Ampunan kepada Allah. Sesungguhnya umatku tidak akan mampu melakukan hal tersebut.” Kemudian ia datang kepada beliau kedua kalinya dan menyebutkan seperti ini hingga sampai berbagai ragam bacaan. Ia berkata, sesungguhnya Allah memerintahkamu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan berbagai ragam bacaan. Yang mana saja yang mereka baca maka mereka telah benar.
Menurut pengamatan ulama yang berpendapat ragam bacaan turun di Madinah, dalam hadis ini memberikan informasi sebuah tempat yaitu adata bani ghiffar ( air rawa bani ghifar). Sedangkan lokasi adata bani ghiffar tersebut berada di Madinah. Hal ini menjadi landasan pendapat kedua bahwa ragam bacaan turun saat Nabi di Madinah. Di antara ulama yang berpegang teguh dengan pendapat kedua ini adalah Ibnu Abdil Bar dan Abi Syamah.
***
Akan hal ini, sebagian ulama menggabungkan antara pendapat pertama dan kedua. Bahwa, memang awal turunnya qiraat atau ragam bacaan bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an ketika di Mekah. Karena ragam bacaan terdapat di surah Makiyah. Akan tetapi saat itu belum ada kebutuhan untuk membaca dengan qiraat yang ada. Karena bahasa dan dialektika penduduk Mekah pada saat itu secara umum masih sama. Berbeda dengan kejadian tatkala di Madinah, karena berbagai kabilah-kabilah sudah masuk Islam. Karena itulah dibutuhkan berbagai bacaan.
Sedangkan terkait hadis dari Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab yang terjadi di Madinah hanya sebagai isyarat untuk pembolehan membaca Al-Qur’an dengan berbagai ragam bacaan. Bukan permulaan turunnya ragam bacaan. Wallahu a’lam
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply