Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Pluralisme dalam Perspektif Tasawuf Islam

Tasawuf Islam
Sumber: mediaindonesia.com

Sebelum memasuki pembahasan inti, penulis ingin memulainya dengan sebuah kalimat dari salah seorang tokoh sufi dari Persia yaitu Jalaludin Rumi yang mengatakan “Meskipun bermacam-macam, tujuannya adalah satu. Apakah anda tidak tau bahwa banyak jalan menuju Ka’bah? Oleh karna itu, apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlanya. Namun, apabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan.”

Penulis percaya bahwa kebijaksanaan adalah salah satu cerminan dari jiwa seorang sufi, sebuah kedewasaan dalam menghadapi kenyataan dan ketiadaan. Bahwa keseluruhan muara dari segala sesuatu adalah kepada Tuhan. Titik tolak dari lokus pemaknaan tasawuf ini adalah usaha dalam membersihkan hati dan jiwa manusia yang dengannya seseorang akan menemukan makna dan nilai hakiki kehidupan untuk menuju dan sampai kepada Tuhan.

Pemaknaan Tasawuf Islam

Ada beberapa proses yang dijalani oleh seorang sufi dalam menapaki jalan menuju Tuhan. Lewat berbagai latihan ataupun ibadah seperti ritual, dzikir, wirid, dan berbagai amalan lainnya. dari sekian hal tersebut dalam ajaran tasawuf dibagi menjadi tiga hal yaitu takhalli, tahalli dan tajalli. Sepanjang sejarah Islam, tasawuf sebagai bagian yang terdefinisikan maupun dalam kenyataan telah melalui masa panjang kesejarahan dan tidak bisa dipisahkan dengan ajaran dan sejarah Islam itu sendiri.

Dengan berbagai runtut mata rantai yang demikian kaya, tasawuf mengambil tempat tersendiri yang istimewa di hamparan proses keberagamaan umat manusia. Tasawuf pada dasarnya bertumpu pada kesadaran kalangan sufi untuk menegaskan kembali arti kemanusiaannya di hadapan Tuhan sebagaimana Tuhan berfirman “Alastu bi-rabbikum” (Bukankah aku ini Tuhanmu?).

Dari konsepsi tersebut beriring proses pemaknaan terhadap Al-Quran dan sabda Nabi sebagai pedoman utama, berkembang sedemikian rupa khazanah tasawuf yang kaya dalam sejarah Islam tersebut. Baik pada tataran konsepsi, keyakinan, praktik praktik ritual, bahkan kelembagaan tasawuf atau tarikat pada perkembangan berikutnya. Sebut saja konsepsi tentang jalan syariat, tarikat, hakikat, makrifat, berbagai konsepsi tentang maqam dan hal. Serta secara lebih spesifik stratifikasi dalam tasawuf tentang tingkatan-tingkatan spiritual yang dicapai atau juga pembagian wali-wali dengan kepangkatannya masing-masing.

Baca Juga  Etika Beragama dalam Islam: Perbedaan adalah Saling Memahami (1)

Pluralisme Dalam Wacana Tasawuf Islam

Pluralisme adalah istilah yang berkembang dan sering dibicarakan pada akhir-akhir ini. Namun sebagai kenyataan pluralitas ada sejak keberadaan alam semesta atau makhluk sebagaimana Tuhan menciptakannya. Pun tak terkecuali keanekaragaman manusia dengan berbagai aspek nya seperti suku, bangsa, bahasa, agama, kelompok, provinsi, dan sumber daya.

Ini jelas termasuk dalam firman Allah  dalam surat al-Hujurat ayat 13 tentang jenis manusia baik laki-laki ataupun perempuan serta pengelompokan-pengelompokan lainnya supaya manusia itu saling mengenal dan berinteraksi.

Dalam wacana tasawuf Islam, pengakuan akan keberagaman dalam segala bentuknya hampir tuntas terjawantahkan dalam pola pemikiran dan pola laku para penganut tasawuf. Pada tataran yang paling utama adalah penempatan Tuhan sebagai sentrum segala sesuatu, sehingga apapun yang ada dengan segala bentuknya dan bermacam rupanya terpandang satu pada lokus tersebut. Yakni kembali kepada Tuhan.

 Disini kemudian segala sesuatu yang penulis meminjam istilah dari Rumi yaitu “berbentuk jalan bukanlah masalah dalam wacana tasawuf, karena kerucutan semuanya adalah satu, sampai kepada Tuhan dengan proses pembersihan hati dan jiwa serta melalui jalan-jalan riadhah”. Karena sufi adalah seseorang yang berupaya mentransendensikan dunia rupa yang mengembara dari keanekaan menuju kesatuan.

Persentuhan tasawuf Islam dengan berbagai agama-agama ini pada kenyataannya melalui berbagai sisi dari agama yang dalam kacamata Islam bisa dilihat dari banyak sisi seperti syariah, teologi atau ilmu kalam, sejarah ilmu pengetahuan, filsafat, dan tasawuf. Namun dalam perspektif tasawuf Islam, pada tingkatan esoterisisme, pertemuan paling mendasar antara Islam dan tradisi tradisi keagamaan lainnya menemukan dasar-dasar yang padu dan pemahaman yang lebih dalam. yakni pada kesatuan.

Begitupun pada konsepsi takhalli dan tahalli, secara langsung maupun tidak mengarahkan pada kepribadian sufi untuk terlepas dari persoalan konflik dengan siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Karenanya dalam perspektif seorang sufi, perbedaan dan keberagaman bagaimanapun juga adanya bisa ia terima. Sebab dalam pribadinya sudah bersih dari interest apapun maupun kepentingan yang berkaitan dengan berbagai hal tersebut. Ia tidak lagi merasa gundah atau dendam. Begitupun ia tidak lagi kegirangan atau frustasi dengan berbagai perubahan yang ada di sekitarnya. Ia hanya berusaha dan melakukan sesuatu dengan baik dan sesuai aturan Tuhan.

Baca Juga  Mufasir Progresif (2): Isu-Isu yang Menjadi Perhatian

Keterlepasan dengan konflik tersebut misalnya bisa dicermati dari sikap kalangan sufi pada berbagai ikhtilafiyah yang ada dalam perkembangan sejarah Islam. Para sufi lebih berhati-hati dan konservatif, yakni mengikuti konsensus yang terjadi dari pihak-pihak yang bertentangan. Mereka beranggapan bahwa perbedaan-perbedaan diantara para ahli hukum akan mendatangkan kebenaran. Tidak ada satu pihakpun yang benar-benar bertentangan dengan yang lainnya.

Keberagaman Sebagai Anugrah

Dalam pandangan mereka, setiap orang yang berusaha mencari kebenaran atau berijtihad itu benar adanya. Setiap orang yang memegang prinsip tertentu dalam hukum sebagai yang benar, lewat analogi dengan prinsip-prinsip serupa yang ditetapkan dalam al-Quran dan sunnah, atau lewat penggunaan penafsiran secara bijaksana, adalah benar. Tetapi jika seseorang tidak memiliki dasar yang cukup kuat dalam hukum, maka dia mesti tunduk kepada keputusan ahli ahli hukum terdahulu yang dianggapnya lebih pandai. Di mana penilaian-penilaiannya dianggap tegas olehnya.

Dengan demikian cukup jelas kiranya, pluralisme dalam perspektif tasawuf Islam. Suatu khazanah yang memungkinkan seseorang untuk berjalan dilintas apapun, melakukan dialog-dialog secara lebih wajar, berperadaban, dan berperikemanusiaan. Tidak serta merta melakukan penghakiman secara semena-mena terhadap berbagai gejala perbedaan atau indikasi kesalahan. Seluruhnya dicoba melakukan penyelaman secara lebih mendalam pada dasar-dasar fundamental yang ada dalam kenyataan yang amat beragam ini.

Penyunting: M. Bukhari Muslim