Kerukunan bukan sekadar menjadi pembicaraan seminar atau wacana, akan tetapi telah menjadi bagian integral dari masyarakat Indonesia. Realitas yang demikian ini terkadang luput dari pengamatan publik. Sebagian pengamat luar negeri hanya melihat secara parsial terhadap kerukunan beragama di negeri ini. Mereka hanya mendengar, melihat secara statistik, membaca laporan tentang kerukunan dari sumber-sumber yang sengaja hendak meletakkan Indonesia sebagai negara yang kekerasan agamanya makin meningka. Meskipun sebenarnya terkadang bukan disebabkan oleh faktor agama.
Kerukunan antar umat beragama merupakan basis penting bagi kukuhnya kerukunan nasional. Kita yakin setiap agama tidak mengajarkan perseteruan, permusuhan, dan konflik. Setiap agama tentu mengajarkan perdamaian, toleransi, harmoni dan kerukunan. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan platform ideal, kuat dan mampu merukunkan antar umat beragama menuju kehidupan yang damai, toleran dan harmonis.
Hal di atas menjadi salah satu titik penekanan dalam pembahasan buku yang ditulis Muhammad Fahmi, dkk. Buku ini banyak berbicara tentang Indonesia dan keberagamannya, kerukunan umat beragama, dan beda agama hidup rukun di sebuah Pesantren di Bali.
Paradigma Konvergensi
Untuk membaca dan menganalisis realitas keberagaman, buku ini menawarkan sebuah paradigma konvergensi (gabungan) yaitu paradigma pendidikan agama berwawasan multikultural dan pluralis. Dalam rangka membangun paradigma konvergensi ini, konsep pendidikan multikultural dan pluralis menjadi sangat penting untuk dikembangkan.
Pertama, pendidikan agama berwawasan multikultural adalah upaya kolektif suatu masyarakat majemuk untuk mengelola berbagai prasangka sosial yang ada dengan memaksimalkan pemahaman nilai-nilai agama dan pluralisme dalam sistem pendidikan.
Strategi pendidikan multukultural ini mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal dan berusaha mendiversifikasi cara pandang ke dalam diri pendidik, peserta didik dan komunitas mereka. Hal ini juga memberikan modal sosial maupun keilmuan (capital social and intellectual) untuk bersikap tiga hal, yaitu toleransi terhadap sesama manusia, adanya kesediaan bersikap untuk memberikan maaf kepada orang lain, dan menyadari bahwa orang lain berbeda dan menghargai perbedaan itu sebagai keniscayaan.
Selain itu, pendidikan agama berwawasan multikultural juga menawarkan pendekatan dialogis untuk menanamkan kesadaran hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan. Model pendidikan ini memberi konstruk baru yang bebas dari prasangka dan stereotip mengenai agama orang lain.
Kedua, pendidikan agama berwawasan pluralis. Penerapan paradigma ini berkelindan dengan praktik toleransi. Dalam perspektif Islam, toleransi dan pluralitas saling berkaitan sehingga muncul istilah ajaran Islam atau pendidikan Islam pluralis. Konstruksi pemikiran semacam ini berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralitas secara agama sekaligus berwawasan multikultural.
Dalam kerangka jangka panjang, konstruksi ajaran Islam memang diproyeksikan dan diposisikan sebagai upaya secara komprehensif dan sistematis guna mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme dan menuju integrasi bangsa (hal. 52).
Pesantren Bali Bina Insani sebagai Role Model Kerukunan
Buku “Beda Agama Hidup Rukun” mengambil sebuah lokus penelitian di Pesantren yang terletak di wilayah minoritas, yaitu Bali. Pesantren itu bernama Pesantren Bali Bina Insani (atau biasa dikenal BBI). Pesantren yang berdiri pada tanggal 27 Oktober 1991 dengan area seluas 5700m2 dan berada di tengah-tengah masyarakat Hindu ini dipimpin oleh Ketut Imaduddin Djamal, seorang mantan hakim asal Pegayaman, Buleleng, Bali.
Berdirinya pesantren ini diilhami oleh minimnya lembaga pendidikan Islam di Bali terutama pondok pesantren. Tidak hanya itu, berdasarkan penuturan Ketut, masyarakat muslim mengaku kesulitan menyekolahkan anaknya di bidang agama. Selain terbenturnya persoalan ekonomi untuk memondokkan anaknya ke luar Bali.
Pesantren Bali Bina Insani kemudian berkembang pesat hingga saat ini tercatat sebanyak 420 orang yang nyantri di pesantren multikultural ini yang didominasi dari Bali dan Lombok. Sampai hari ini, eksistensi pesantren ini masih terjaga dengan baik oleh masyarakat setempat karena beberapa faktor, yaitu faktor kesejarahan, di mana pesantren ini tidak pernah melahirkan konflik etnis dan agamis. Juga faktor toleransi (tasamuh), kebersamaan dan kesetaraan (musawah).
Menariknya, ketika pesantren yang pada umumnya bersikap fanatis buta dan memagari diri dari komunitas beda agama, justru pesantren ini membuka diri dan menerima tenaga pendidik yang berbeda agama untuk mengajar di lembaga pendidikannya. Guru-guru non-muslim (Hindu) diminta mengampu mata pelajaran PKN, IPS, Seni, Bahasa Bali, Tari Bali, dan lain-lain.
Pesantren ini mewujudkan pluralisme atau paham keberagaman dengan konsep tasamuh. Multikulturalisme diperkenalkan. Toleransi beragama diwujudkan, salah satunya dengan upaya saling menghormati satu dengan yang lain. Kerukunan umat beragama diwujudkan dalam bentuk kerjasama, usaha bersama, pergaulan sosial, kerja bakti dan sebagainya. Hal-hal ini dipraktikkan dengan baik di pesantren tersebut.
Memang di pesantren ini sejak awal telah mengusung, mengukuhkan diri dan menjadikan paradigma toleran (tasamuh) atau sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan sebagai urat nadi kehidupan pesantren. Sehingga dapat hidup berdampingan secara rukun dan damai antara guru-guru muslim dengan Hindu untuk memberikan bekal ilmunya kepada santri-santri Muslim. Realitas ini menjadikan nilai signifikansi dalam buku ini.
Karenanya, tidak heran jika realitas tersebut dikagumi oleh cendekiawan Muslim Indonesia, Azyumardi Azra yang pernah berkunjung ke pesantren ini. Bahkan dia memberikan apresiasi secara khusus lewat sesi diskusi pendidikan dalam salah satu televisi swasta dengan mengatakan semestinya kurikulum nasional itu bersifat terbuka sebagaimana yang dipraktikkan oleh Pesantren Bali Bina Insani Yayasan La Rayba Tabanan Bali (hal. 99).
Buku ini penting dibaca untuk dijadikan sebuah inspirasi dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Apalagi tantangan kerukunan dan potensi konflik akibat beda paham atau keyakinan dewasa ini semakin terbuka. Keterbatasan buku ini hanya fokus pada satu pesantren di daerah minoritas Muslim, Tabanan Bali. Meski begitu, inspirasi kerukunan perlu direplikasi dan diduplikasi di tempat-tempat lain di negeri ini.
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply