Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Perjalanan Spiritual dalam Imaji Fariduddin Attar

attar
Sumber: http://penerbitkakatua.com/

Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim –atau yang lebih dikenal dengan nama Fariduddin Attar (si penyebar wangi)— adalah seorang sufi yang hidup pada masa ketika peradaban Islam sedang bergerak menuju kejatuhan.Ia diperkirakan lahir pada tahun 1120 M di dekat Nisyapur (Naisabur, Iran). Tidak banyak sumber yang mengungkap riwayat hidupnya. Sumber otoritatif yang dapat dijadikan rujukan adalah sebuah inskripsi (prasasti) yang terukir di sebuah nisan.

Pada tahun 1862, sebagaimana dituturkan Garcin de Tassy, Nicholas Khanikoff menemukan sebuah nisan yang terletak di luar wilayah Nisyapur. Nisan itu diprediksi dibuat antara tahun 1469 dan 1506. Di nisan tersebut terukir sebuah inskripsi berbahasa Parsi yang sedikit-banyak menjelaskan akhir masa hidup Attar.

Sekitar tahun 1230 M, di usianya yang sudah lanjut, Attar dikejar-kejar oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Ia wafat bersamaan dengan runtuhnya kejayaan Islam di wilayah tersebut.

Nama Fariduddin Attar memang tidak terlalu dikenal, apalagi jika dibandingkan dengan Jalaluddin Rumi. Meski begitu, Sayid Hossein Nasr menyebut bahwa sajak dan prosa Attar mempengaruhi karya-karya Rumi.

Musyawarah Burung

Masterpiece-nya, Mantiq At-Thair (Musyawarah Burung), dapat dinikmati oleh berbagai kalangan. “Di Persia, sajak-sajaknya tidak hanya didiskusikan secara serius oleh para sastrawan, tetapi juga dikutip oleh tukang roti dan tukang sepatu yang bahkan mungkin tidak mengenal sastra,” ucap Nasr.

Musyawarah Burung berisi alegori kisah serombongan burung yang melakukan perjalanan menuju Simurgh. Di dalam literatur Persia, Simurgh adalah seekor burung mitologi. Dan dalam kisah ini, Attar menempatkannya sebagai raja di antara burung-burung. Perjalanan menuju Simurgh dapat dikatakan merupakan perjalanan spiritual.

Semua jenis burung datang dalam forum musyawarah tersebut; jumlahnya mencapai ribuan. Sebut misalnya Hudhud, Nuri, Elang, dan Merpati. Musyawarah dimulai dengan pernyataan penuh kesadaran dari burung-burung bahwa merupakan suatu keniscayaan bagi setiap kerajaan –dalam konteks ini kerajaan burung—untuk mempunyai raja, penguasa.

Baca Juga  Mengenal Teori Interpretasi Etik Hukum Al-Qur’an Fazlur Rahman

Pernyataan tersebut terlontar mengingat pada saat itu, kerajaan burung dijalankan (seolah) dengan tanpa kepemimpinan raja. Jika terus dibiarkan, maka rusak dan binasalah kerajaan tersebut. Oleh karenanya, mau tidak mau, sang raja harus dicari dan ditemukan.

Melalui perantara Hudhud, Attar menyampaikan bahwa perjalanan menuju sang raja tidaklah mudah. “Jangan kira perjalanan itu singkat; dan kita harus berhati singa untuk menempuh jalan yang luar biasa itu, karena jalan itu amat panjang dan lautnya dalam”.

Atas dasar kerinduan kepada Sang Raja, para burung memutuskan untuk berangkat bersama. Keinginan untuk bertemu Sang Raja membuncah. Meski begitu, seperti dikatakan Hudhud, perjalanan menuju Simurgh adalah perjalanan panjang dan berat.

Perjalanan Menuju Simurgh

Para burung harus melewati tujuh lembah dengan tantangan yang berbeda-beda; lembah pertama, pencarian; lembah kedua, cinta; lembah ketiga, keinsafan; lembah keempat, kebebasan dan kelepasan; lembah kelima, keesaan Murni; lembah keenam, keheranan dan kebingungan; lembah ketujuh, kemiskinan dan ketiadaan.

Di awal perjalanan, beberapa ekor burung mengeluh, patah semangat, dan mengutarakan keraguan: “Apakah bisa sampai ke tempat tujuan?” Masing-masing mereka mengeluh dan menyampaikan keberatan sesuai dengan watak dan kepribadiannya.

Sebut misalnya Nuri, yang dengan jubah kehormatannya berdalih bahwa ia hanyalah ngengat di hadapan Simurgh. Jubah mewahnya adalah dunia; yang membatasinya untuk bercita-cita meraih kebahagiaan yang lebih tinggi dan sublim.

Para burung dihadapkan pada kondisi di mana cinta pada dunia, kesombongan, keangkuhan, keterikatan, dan keputusasaan tak berdasar menjadi penghalang terbesar untuk melanjutkan perjalanan.

Ada yang merasa fisiknya terlalu lemah, merasa dirinya penuh dosa dan kotor, tidak bisa keluar dari jerat antara salah dan benar, merasa lemah jiwanya, terjebak buta karena harta, terlena pada kemewahan dan kenyamanan, terlena pada kecantikan lahiriyah, dan beragam persepsi duniawi yang lain.

Baca Juga  Mukjizat Air Zam Zam yang Tak Terbantahkan

Keluh kesah dan keraguan terus terucap dari paruh burung-burung. Hudhud sebagai pemandu jalan dengan sabar memandu mereka, terkadang dengan nada yang keras dan tegas. Kembali ia menegaskan, “jalan itu tak terbuka bagi setiap orang; hanya yang ikhlas yang dapat menempuhnya. Ia yang menempuh jalan ini harus berbuat begitu tenang dan sepenuh hati”.

Dengan tertatih-tatih, para burung melanjutkan perjalanan. Satu persatu tumbang. Hingga akhirnya, dari ribuan burung, hanya tersisa tiga puluh. Mereka adalah burung-burung terpilih yang dengan sabar, ikhlas, dan teguh hati menempuh perjalanan yang penuh rintangan.

Si murgh Adalah Simurgh

Tiga puluh burung –dalam bahasa Persia disebutsi murgh—yang berhasil melewati tujuh lembah kini berada di depan gerbang kerajaan Simurgh. Mereka dipenuhi rasa puas tak terperikan. Benar saja, di depan gerbang kerajaan, dunia ibarat butiran pasir di antara gurun. Beruntunglah mereka yang terpilih.

Pintu kerajaan terbuka, dan dari dalam keluar abdi kerajaan yang melayani Simurgh. Di hadapan abdi tersebut, mereka mengutarakan maksud dan tujuannya. “Kami datang untuk mengakui sang Simurgh sebagai raja kami. Karena cinta dan damba kami kepada-Nya, kami telah kehilangan akal dan kejernihan pikiran”.

Persembahan mereka diterima. Si murgh bertemu Simurgh, yang ternyata adalah wujud mereka sendiri. Ketiga puluh burung merasakan keheranan dan kebingungan luar biasa. Tiba-tiba, muncul suara dari kedalaman yang merupakan jawaban dari kebingunan itu. “Matahari keluhuranku ialah cermin. Siapa bercermin di sana melihat jiwa dan raganya, melihat semua itu sepenuhnya.”

Demikianlah perjalanan spiritual dalam imaji Attar. Bahkan jika kebenaran aksiomatis akan wujud Tuhan telah terpatri dalam hati dan pikiran, perjalanan menuju kebenaran yang tanpa keraguan dan keterombang-ambingan tetap tidaklah mudah. Dalam konsep sufistik Attar, Si murgh adalah Simurgh, dan begitupun sebaliknya.

Baca Juga  Bermaksiat Tanda Menzalimi Diri: Nasehat Imam Al-Ghazali

Attar mengakhiri narasi alegorisnya dengan pernyataan yang apik. “Tahukah kau apa yang kau miliki? Masuklah ke dalam dirimu sendiri dan renungkan ini. Selama kau tak menyadari kenihilanmu, dan selama kau tak meninggalkan kebanggaan diri, kesombongan dan cinta diri, kau tak akan bisa mencapai puncak kebakaan. Di jalan itu kau tercampak dalam kehinaan dan terangkat dalam kehormatan”.

Sebagai penutup, barangkali perlu disampaikan bahwa adalah sah dan boleh untuk berdebat dan/atau tidak sepakat dengan konsep sufistik Fariduddin Attar. Akan tetapi, lebih dari itu, tulisan ini hendak menekankan bahwa meski panjang, berliku, dan menanjak, menempuh perjalanan spiritual adalah perlu, apalagi di tengah carut-marut dunia yang hampir berakhir.

Editor: An-Najmi Fikri R