Kehidupan sejatinya perjalanan rohaniah manusia untuk kembali. Dahulu sebelum dilahirkan ke muka bumi, manusia seluruhnya telah bersaksi atas sebuah perjanjian primodial yang menjadi pijakannya dalam mengarungi kehidupan. Namun, gemerlapnya dunia kerap kali membuat manusia lupa segalanya. Ia lupa dari mana berasal dan kemana ia akan kembali.
Baginda al-Musthofa Saw sendiri berulang kali mengingatkan dan menegaskan bahwa manusia adalah makhluk ruhani yang tengah berjalan menuju Allah. Sedangkan dunia hanya sekadar tempat singgah untuk sementara. Perjalanan sesungguhnya adalah aspek rohaniah manusia.
Maka diajarkanlah pada Surat an-Nas ini bagaimana kita hidup ditengah berbagai ujian, cobaan, dan godaan di dunia. Kita melalui Nabi Muhammad Saw diperintahkan untuk berlindung diri kepada Allah Swt. Karena Dia itulah Rabbinnas, Malikinnas, dan Ilahinnas.
Dalam kitab Tafsir Hada’iq ar-Ruh war-Raihan, Sheikh Amin Harari menyebutkan bahwa titik tekan Surat an-Nas adalah memohon perlindungan dari keselamatan ruhani yang lebih penting dari dari urusan fisik atau badan manusia.
Pemelihara Manusia
Tahap pertama adalah berlindung kepada Rabbnya. Mestilah seseorang menjadikan Tuhannya sebagai tempat berlindung, karena nama Rabb adalah pemelihara yang terkait secara langsung dengan eksistensi manusia. Hal itu telah terekam dalam ayat berikut.
قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِۙ ١
Artinya: Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku berlindung kepada Tuhan manusia.“
Sheikh Abdul Qadir al-Jailani dalam tafsirnya, bahwa Allah memberi petunjuk kepada Nabi Muhammad termasuk pula di dalamnya seluruh umatnya supaya sampai di sumber lautan hakekat– seraya memohon perlindungan kepadaNya dan berpegang teguh pada tali penjagaan-Nya, ‘Aku berlindung’ dan memohon penjagaan ‘kepada Rabb manusia’ yang telah memunculkan mereka dari ketiadaan dan mengasuh mereka dengan berbagai macam kelembutan dan kemuliaan.
Lebih spesifik Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pada ayat pertama menafsirkan, bahwa Allah SWT adalah Rabb manusia dan semesta alam. Tuhannnya manusia, malaikat, jin, langit, bumi, matahari, bulan dan Rabb segala sesuatu. Akan tetapi pada ayat ini khusus disebutkan bahwasanya Allah adalah Tuhan manusia. Maka maksud Allah sebagai Rabbinnas dalam kitab Fii Zhilail Qur’an, Sayyid Qutub mengatakan, Ar-Rabb adalah Tuhan Yang memelihara, Yang mengarahkan, Yang menjaga, dan Yang melindungi manusia.
***
Buya Hamka, Allah adalah Rabbunnas, Pemelihara manusia. Tidak dibiarkan terlantar, dipeliharanya dzohir dan batinnya, luarnya dan dalamnya, rohaninya dan jasmaninya, nafasnya, detak jantungnya siang dan malam tidak pernah berhenti, sistem pencerna tubuh, alat indra, mata untuk melihat, hidung alat pembau, semuanya terus dipelihara oleh yang Maha Pemelihara itu, oleh Rabbun itu.
Keyakinan manusia terhadap Allah sebagai aspek pemelihara merupakan landasan dan pondasi utama dalam memasuki tahapan selanjutnya. Kita hanya akan menjadikan Rabb sebagai pelindung jika sebelumnya kita telah pasrah, menyerahkan segala eksistensi kita kepadaNya, dan menempatkan diriNya sebagai satu-satunya tempat bergantung. Tanpa keyakinan seperti itu kepada Rabb, maka kita tidak pernah menjadikanNya sebagai pelindung.
Penguasa Manusia
Jika seseorang telah mampu menempatkan Rabbunnas sebagai pelindung berarti orang tersebut telah menyerahkan dirinya kepada Ilahi. Penyerahan diri sepenuhnya kepadaNya yang akan menempatkan Allah Swt sebagai satu-satunya tempat berlindung. Menurut Ar-razi pengenalan (makrifat) seorang hamba akan selalu bertansformasi, dari sini manusia bisa melanjutkan perjalanan selanjutnya yaitu menuju Malikinnas.
مَلِكِ النَّاسِۙ ٢
Artinya: “Raja manusia.”
Malikinnas menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi adalah Yang mengatur manusia dan Yang mengatur ihwal mereka, dengan menetapkan hukum-hukum syariat untuk keahagiaan dunia dan akhirat.
Pengakuan terhadap Allah Swt yang menurut Ar-razi sebagai penguasa dan raja manusia sejatinya mengandung konsekuensi bagi manusia untuk selalu tunduk dan menyerahkan kepadaNya. Hal ini juga mengandung makna bahwa manusia bukanlah penguasa yang sebenarnya, tetapi mereka hanyalah pemegang amanat kekuasaan yang diberikan Allah Ta’ala kepada mereka. Dan bahkan manusia harus memahami bahwa ia bukan pemilik bagi dirinya sendiri. Pemilik sejati hanya Allah Swt dan pemilik segala realitas termasuk memiliki nyawa kita.
***
Kalau sudah jelas bahwa nyawa kita sendiri bukan kita empunya, apalah lagi yang kita kuasai dan kita punya dalam diri kita? Tidak ada! (Buya Hamka, Tafsir al-Azhar)
Benar ketika seseorang telah berada pada tahap Malikinnas, maka pada saat itu manusia telah merasakan dominasi Ilahi terhadap dirinya. Pada tahapan ini manusia telah menyaksikan bahwa Allah Swt dengan namaNya al-Malik, pemilik segala realitas.
Manusia yang telah sampai ke maqam Malikinnas adalah manusia yang telah mencicipi tajalli Ilahi. Dan manifestasi yang telah hadir di dalam dirinya membuat dirinya memahami bahwa dirinya tidak lagi memiliki apapun termasuk dirinya sendiri. Hanyalah Allah Swt adalah pemilik segala keberadaan.
Tuhan Manusia
Kondisi nothingness menegaskan bahwa manusia benar-benar bersih dari ego dan keakuan, pada tahap ini akan mengantar manusia memasuki tahapan selanjutnya yaitu Ilahinnas.
اِلٰهِ النَّاسِۙ ٣
Artinya: “Sembahan manusia.“
Menurut pendapat al-Maraghi bahwa, Ilahi artinya Yang menguasai manusia dan hati mereka dengan keagunganNya. Manusia tidak akan mengetahui keadaan dan batas kekuasaanNya, karena Allah selalu mengatahui apa yang terdapat di dalam hati manusia.
Pada maqam Ilahinnas menurut ar-Razi manusia mengetahui bahwa Dzat sesembahannya berhak atas pengabdian yang dikerjakannya. Hanyalah kepada Dia, manusia menghamba, Dia yang berhak atas ibadah yang dikerjakan oleh manusia.
***
Seorang hamba yang benar-benar kosong dari hawa nafsu yang memahami bahwa dirinya sudah tidak memiliki apapun dan dalam dirinya yang faqir itulah sehingga ia benar-benar mampu menempatkan Allah Swt sebagai hakikat yang sebenar-benarnya mesti disembah.
Ayat ini menurut Ibnu ‘Arabi dalam tafsirnya ialah untuk menjelaskan keadaan baqa’ seorang salik (pejalan ruhani) setelah fana’. Karena kata Ilah (Tuhan) adalah yang disembah secara mutlak. Itulah Dzat yang seluruh sifat-Nya dilihat dari sudut pandang akhir perjalanan ruhani (Nabi Saw). Nabi berlindung dengan sisi mutlak Tuhan lalu ia fana’ di dalamNya, kemudian Tuhan mengembalikan Nabi kepada wujud (semula) untuk menyembahNya, sehingga Tuhan selamanya adalah yang disembah. Dengan demikian, sempurnalah permohonan perlindungan Nabi kepada Tuhan.
Pelajaran Penting
Dari sini dapat dipahami bahwa Rabbinnas, Malikinnas, dan Ilahinnas merupakan tiga tahapan perjalanan rohaniah manusia. Puncak perjalanan adalah sampai kepada Ilahi yang diawali dengan berlindung kepada Rabbinnas sebagai pemelihara manusia yang itu merupakan nikmat Allah yang paling utama dan terbesar bagi manusia. Malikinnas adalah maqam penegasan aspek nothingness atau kefaqiran manusia agar manusia bisa benar-benar sampai kepada Ilahi. Wallahu a’lam.
Penyunting: Ahmed Zaranggi
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.