Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Periode Pemikiran Manusia: Titik Temu Auguste Comte, Kuntowijoyo dan Ibnu Khaldun

Pemikiran manusia
Gambar: kaskus.co.id

Sejarah Pemikiran Manusia

Manusia sebagai makhluk yang progresif, selalu berubah ubah setiap zaman. Karena disebabkan oleh faktor lingkungan dan alam, memaksa mereka untuk beradaptasi dengan keadaan. Hal itu selaras seperti maqalah para ulama dan cendekiawan, “al-insanu hayawanun nathiq (manusia adalah hewan yang berfikir). Kemampuan manusia sebagai makhluk yang berfikir membedakannya dengan makhluk lain. Karena manusia sendirilah yang memiliki ‘akal maka manusia selalu belajar untuk mengalami proses sehingga menjadi manusia yang tidak terbatas dalam perkembanganya.

Kemampuan untuk berkembang sesuai pada tabiatnya dan lingkunganya, maka sejarah apapun itu pasti berkaitan langsung dengan proses perkembangan manusia. Dimulai dari pemikiran, ilmuwan sains yang mengatakan bahwa manusia dahulu, belum mampu berkembang maka dijuluki makhluk pra sejarah (makhluk purba).

Namun kenyataan berbanding terbalik yang diceritakan dalam kitab suci (sacred of text), yang menceritakanbahwa manusia sejak pertama Nabi Adam diciptakan sudah memiliki akal yang berkembang dan maju yang tergambar jelas dalam QS Al Baqarah ayat ke-33 yang artinya:

Dia (Allah berfirman), “Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama nama itu! ”Setelah Adam menyebutkan nama- namanya, Dia Allah berfirman, ”Bukankah telah Aku katakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan sembunyikan.

Seperti yang tergambar di atas, ketika Nabi Adam mampu menjawab dan menyebutkan apa yang diperintahkan Allah, itulah bukti bahwa manusia pada hakikatnya ia memiliki akal yang sudah progresif.  Maka progresifitas itulah yang membuat para ilmuwan memperiodisasikan.

Perbedaan antara Auguste Comte dan Ibnu Khaldun

Periodesasi pemikiran manusia paling popular adalah pernyataan dari Bapak Sosiologi, Auguste Comte. Comte membagi pemikiran manusia dalam tiga tahapan sebagai berikut. Yang pertama tahapan teologis, tahapan ini dimulai manusia yang beranggapan semua ini atas sesuatu kekuatan yang di luar manusia (transenden). Semua masih merujuk Tuhan sebagai pusat berpikir manusia.

Baca Juga  Menerapkan Pendekatan Filsafat Positivisme dalam Al-Qur‘an

Yang kedua tahapan metafisis, pada tahap ini manusia masih percaya bahwa gejala-gejala disebabkan oleh kekuatan benda tersebut yang memiliki kekuatan supranatural. Yang ketiga tahapan positifis, tahap ketika manusia telah sanggup berpikir secara ilmiah tanpa mengandalkan Tuhan sebagai sebab awal. Di sini manusia sudah berpikir rasional dan empiric. (Soekanto dkk: 2013, h. 352)

Tesis tersebut kurang relevan bagi kaum agamawan, karena Comte sendiri merupakan ilmuwan positifistik. Yakni ilmuwan yang selalu mendasarkan analoginya dengan kenyataan alam. Kebanyakan para ilmuwan Barat selalu berkiblat kepada anti Tuhan. Bahwa manusia sendiri dapat berkembang karena dirinya sendiri.

Berbeda dengan apa yang dikatakan Ibnu Khaldun dalam Al-‘Ibar jilid pertama, pada pasal ilmu pengetahuan. Ia memberikan penjelasan tentang tahapan pemikiran manusia dengan akal sebagai konsentrasinya. Akal berfungsi sebagai tempat penyimpanan, pengembangan, dan kreativitas ilmu pengetahuan. Ibnu Khaldun menyatakan:

“Sesungguhnya manusia itu termasuk jenis hewan. Hanya saja Allah memberikan keistimewaan pikiran yang dapat diterapkan untuk menyusun aktivitasnya sehingga dapat tertib dan terorganisasi, yaitu akal pembeda (al-‘aql at-tamyizi). 

Jika kemampuan pikiran dapat membantu memperoleh pengetahuan dan tentang ide- ide atau hal yang bermanfaat atau merusak baginya, maka ini yang  disebut akal percobaan (al-‘aql al-tajribi), atau ia mempersepsikan tentang sesuatu yang ada. Baik abstrak atau riil (gaiban wa syahidan) sebagaimana adanya. Maka ini yang disebut dengan akal rasional. (al-‘aql an-nazari).” (Moh. Pribadi: 2014, h. 194- 195)

Pernyataan tersebut secara langsung mengadu argumennya dengan Comte. Perbedaannya jelas sekali, jika Ibnu Khaldun menekankan aspek induktif (manusia tentang awalnya), Comte condong menggunakan aspek deduktif (lingkungan untuk manusia). Kesemua itu mempengaruhi tahapan perkembangan pemikiran manusia.

Baca Juga  Wahyu; Eksternal atau Internal?

Persamaan Substansial Comte,  Ibnu Khaldun dan Kuntowijoyo

Ketiga tahapan di atas sangatlah menarik namun pada substansinya manusia juga mengalami periodisasi tersebut. Dan menambahkan juga periodesasi pernyataan dari sejarawan Indonesia yakni Kuntowijoyo. Dengan kata lain bagian ini akan mempertautkan pernyataan ketiga ilmuwan tersebut. Tentunya dalam definisi pasti berbeda, namun pada hakikat dan substansinya sama.

Pertama Comte mengatakan tahapan awal pemikiran manusia adalah teologis. Comte mengaitkan langsung dengan kosentrasinya pada metafisika, yakni di mana manusia pertama mendewa-dewakan atau mempertuhankan sesuatu. Berbeda dengan Ibnu Khaldun tahapan awal ‘aql tamyizi potensi manusia dapat mengidetifikasi sesuatu objek atau masalah yang terjadi. Dan juga ditambah perspektif Kuntowijoyo yang notabene seorang sejarawan, pada tahapan ini manusia masih  cenderung berfikir mitos (Kuntowijoyo: 2017, h. 19-20). Persamaannya adalah substansi pada pemikiran manusia pertama, hanya dapat berpikir apa yang ada di luar eksistensi manusia. Seperti masih mengandalkan akal sebagai berpikir untuk memahami kekuatan transendental (ranah ketuhanan).

Kedua, Comte juga menyebutkan tahapan kedua sebagai tahapan metafisik. Tahapan ini masih terpengaruh dengan tahapan pertama, perbedaannya dalam segi berfikir sudah terdapat pengorganisiran. Ketika Ibnu Khaldun menyebutkan tentang akal tajribi yang dapat menyerap ilmu dan ide-ide atau dalam pernyataan Kuntowijoyo fase manusia ke abad ideologi, yakni faham-faham variasi mulai bermunculan. Persamaan substansinya sama-sama berbicara tentang pengembangan ilmu pengetahuan, dan pergulatan ideologi

Ketiga Comte juga menyebutkan tahapan ketiga sebagai tahapan positif, dimana tahapan ini manusia sudah berkembang, dan lebih rasional dan empirik. Ibnu Khaldun menambahkan juga tentang akal nazari. Di sini manusia dapat mempersepsikan sesuatu secara objektif baik secara materi atau gaib. Dan Kuntowijoyo menyimpulkan pada tahap ini manusia memasuki tahap keilmuan, atau periode ilmu. Persamaan substansinya manusia sudah mengetahui bahwa ada yang diluar eksistensinya dan masih mengembangkan pemikiran keilmuan secara objektif dan aktual.

Baca Juga  Analisis Semantik: Melacak Kosa Kata Adil Dalam Al-Qur'an

Harapan tentang Periode Pemikiran Manusia

Kesimpulan dari pemikiran tersebut, manusia memang makhluk progresif, yang selalu berubah-ubah menyesuaikan lingkunganya. Pada saat ini jika kita merujuk kepada periodisasi tersebut kita harus beranjak memasuki tahapan keempat yakni tahapan dimana beranjak dari ilmu ke integrasi ilmu. Tahapan ini disebut sebagai tahapan aqal takamuli (penyempurnaan). Aqal takamuli berusaha mencoba menggandengkan tanpa memisah-misah antara agama, sains dan filsafat.

Zaman atau periode tersebut dimulai sekarang setelah berakhirnya renaissance dan merebaknya digitalisasi. Tepatnya ketika kemunculan Android, Windows, Apple Brand Smartphone terkenal hingga, transformasi PTKIN, seperti IAIN menjadi UIN, yang dimana keilmuan semakin integrative, hingga narasi- narasi para filsuf tentang kehadiran zaman postmodern. Maka sudah saatnya pesantren sebagai basis dakwah para ulama, harus mengupgrade ilmu- ilmu keislaman dengan komparasi sains dan teknologi

Penyunting: Bukhari