Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Perhatikan Ini Sebelum Meminta Fatwa Kepada Seseorang

Meminta fatwa
Gambar: islami.co

”Dan tidaklah kami mengutus dari sebelum kamu melaikan orang-orang yang diberi wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada ahli zikir (orang yang mengetahui) jika kalian tidak mengetahui” (QS. An-Nahl: 43)

Wajib bagi seseorang yang tidak mengetahui tentang suatu untuk bertanya dan meminta fatwa kepada ulama. Terdapat kaidah dasar yang harus dipahami ketika ingin mengajukan pertanyaan mengenai suatu fatwa. Ada dua pendapat ahli ilmu terkait ini, yaitu;

Pertama, dikatakan, dia boleh meminta fatwa kepada siapa saja yang dikenal sebagai ulama yang adil. Atau dia melihatnya sebagai seorang yang bekerja sebagai mufti dan pengajar serta dia sangat dibesarkan oleh orang-orang. Karena itu menunjukan atas keilmuannya dan bahwasannya dia ahli dalam berfatwa.

Kedua, menurut Ibnu Taimiyah dan Ibnu ash-Shahih dan dirajihkan oleh An-Nawawi. Bahwa dia tidak boleh meminta fatwa kepada orang yang menisbahkan diri kepada ilmu, walaupun dia itu bekerja di bagian pengajar atau selainya. Akan tetapi, dia boleh meminta fatwa kepada orang yang telah sangat terkenal di antara manusia. Bahwa mereka meminta fatwa kepadanya dan dia ahli dalam berfatwa.

Dengan dua hal tersebut, ahli ushul mengatakan, menurut pendapat yang banyak, waliyul-amr (pemeritah) harus melarang orang yang tidak dikenal sebagai orang yang berilmu atau orang tidak diketahui keadaannya dalam berfatwa. Makanya ada yang sampai mengatakan kalau orang yang berfatwa dalam keadaan seperti itu lebih berhak untuk dipenjara dari pada para pencuri

Kaidah pertama, seorang ulama wajib menggambarkan pertanyaan yang ditanyakan dengan gambaran yang menyeluruh di segala sisinya sebelum dia berfatwa. Kemudia ia berdalil dengan dalil-dalil syar’i dengan metode yang diakui. Jangan sekali-kali ia membayangkan jawaban dari pertanyaan (terlebih dahulu) di dalam pikirinnnya, lalu mecari dalil yang sesuai dengan apa yang ada dipikirannya tersebut.

Baca Juga  Mengenal Fase Pengharaman Riba dalam Al-Quran

Ulama wajib meneliti apa-apa yang ada di syariat yang berupa nash-nash dan kaidah-kaidah yang menjelaskan hukum, lalu ber-istinbath-lah dengan itu, dengan kata lain, dia berdalil (terlebih dahulu) kemudia dia berkeyakinan.

Kaidah kedua, seorang ulama harus memperhatiakan keadaan-keadaan manusia pada saat itu sebisa mungkin. Hal itu dilakukan dengan mendengarkan permasalahan dan kesulitan mereka dengan jiwa yang baik dan lapang. Dengan demikian, orang akan meresa senang dan suka dengan ulama tersebut dan dapat menerima fatwa darinya. “Jika engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu” (QS. Ali ‘Imran: 159)

Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Kaidah ketiga, jawaban harus memberikan manfaat kepada penanya. Barang siapa yang ditanya tentang suatu, tetapi (yang bertanya) tidak mendapat faidah atau manfaat dari jawabannya, maka pertanyaan itu jangalah dijawab. Imam Ahmad pernah berkata, “Ambillah apa-apa yang bermanfaat bagi dirimu. Hindarilah permasalahan-permasalahan baru ini!”.

Kaidah keempat: diharamkan seorang ulama menyampaikan ilmu yang mana akal orang yang mendengarkannya tidak bisa menerimanya. Karena dikhawatirkan terjadi fitnah. Katakanlah kepada mereka apa-apa yang mereka pahami. Abdullah bin Mas’ud RA berkata, “ Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum dengan perkataan yang akal mereka tidak sampai (untuk memahaminya). Kecuali akan terjadi fitnah bagi sebagian dari mereka.”

Kaidah kelima, seorang ulama wajib memperhatikan akibat-akibat dari perkataan dan perbuatan di dalam segala bentuk tindakan. Oleh karena itu, seorang ulama ketika berijtihad untuk memberikan fatwa wajib baginya mempertimbangkan akibat-akibat dari perbuatannya. Karena disitulah tempat terdapat hikmah dalam fatwanya. Dengan kata lain, berhati-hati pada kesalahan dalam berfatwa pada hari-hari berikutnya.

Baca Juga  Literatur Tafsir Muhammadiyah: Dari Carakan Hingga Website

Kaidah keenam, seorang ulama wajib memberikan penjelasan (kepada penanya) jika ijtihadnya itu “inilah hukum Allah”. Hal ini bertujuan menghindari perdebatan dari kalangan awam dengan kalangan awam yang lain yang berbeda pendapat (dari guru atau ulama yang lain). Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Seorang mufti tidak boleh bersaksi atas Allah dan Rasulnya bahwasannya Dia menghalalkan ini, Dia mengharamkannya, Dia mewajibkannya, Dia membencinya…”

Seorang ulama wajib memperhatikan beberapa dasar-dasar kaidah tersebut, sebelum memberikan jawaban tentang fatwa. Demikian juga dengan kaum awam yang ingin bertanya guna menghindarkan kebingunan, kesalahan, dan perdebatan di kalangan ulama.