Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Pergeseran Makna Mahram dalam Safar Wanita: Pembacaan Baru

Safar
Sumber: pinterest.com

Perempuan dalam teks-teks agama memantik diskursus dengan berbagai sudut pandang dari pemikiran klasik hingga modern. Topik perempuan dalam agama sering kali menjadi perdebatan antara tafsir masa lalu hingga sekarang.

Topik ini juga berkaitan erat dengan isu otoritas, moralitas, dan keadilan sosial. Al-Qur’an dan Hadis sebagai teks agama sering diinisiasikan sebagai teks yang menjadikan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Maksudnya adalah makhluk yang kehadirannya bergantung dengan eksistensi laki-laki.

Benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita membutuhkan pembacaan ulang terhadap teks-teks keagamaan.

Safar Perempuan dalam Bingkai Hadis

Salah satu hadis yang sering menjadi alat pembuktian atas pembatasan ruang publik bagi perempuan adalah hadis tentang kewajiban mahram dalam safar wanita. Sebagaimana yang tertera di hadis berikut ini:

عَنْ أَبِيْ سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَانَ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً قَالَ: سَمِعْتُ أَرْبَعًا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْجَبَنِي، قَالَ: لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ مَسِيرَةً يَوْمَيْنِ إِلَّا وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ.(رواه البخاري)

“Dari Abu Sa’id al-Khudri ra. yang berperang bersama Nabi Saw. dua belas kali, ia berkata: Aku mendengar empat hal yang menakjubkan dari Nabi Saw. Beliau bersabda: “Tidak boleh seorang wanita bepergian dalam suatu perjalanan yang lamanya dua hari kecuali dengan suami atau mahramnya”. (HR. Al-Bukhari)

Hadis ini kerap menjadi dalil kuat atas larangan perempuan bersafar kecuali bersama mahram. Hadis ini tak pernah habis pembahasannya, walau realita telah bergeser. Namun, kenyataannya topik tersebut tetap harus menjadi salah satu pembahasan hingga hari ini. Catatannya, kita perlu mengubah sudut pandang dalam memandang topik ini, dari sekedar pemahaman tekstual menuju pemahaman yang lebih rasional dan sejalan dengan kebutuhan zaman.

Namun, sebelum membahas lebih jauh terkait pemahaman dari topik di atas, alangkah baiknya kita mencoba memahami konsep (mafhum) daripada mahram.

Baca Juga  Mengenal 3 Ragam Tanda Keberadaan Allah

Mahram dalam Al-Qur’an

Mahram adalah lawan jenis yang haram dinikahi. Sebagaimana yang tertera dalam Q.S al-Nisa’ [4]: 23:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا 

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Nisa’ [4]: 23)

Dalam Tafsir al-Azhar, Hamka menjelaskan ayat ini dengan memaparkan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi karena hubungan darah, seperti ibu, anak perempuan, dan sebagainya. Kemudian, beliau juga menambahkan sebab mahram karena sepersusuan. Dalam menjelaskan hal tersebut, Hamka mengutip sebuah hadis dari al-Bukhari:

إِنَّ الرَّضَاعَةَ تَحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ

“Sesungguhnya penyusuan itu mengharamkan sebagaimana yang diharamkan oleh kelahiran.” (HR. Al-Bukhari)

Jika merujuk pada nas di atas, maka mahram adalah orang-orang yang berada dalam lingkup kerabat terdekat. Hal tersebut memungkinkan seorang lelaki untuk memberi keamanan bagi perempuan ketika safar.

Namun, pertanyaan masa kini muncul. “Bagaimana jika mahram juga dapat melakukan kejahatan kepada wanita? Lalu, bagaimana dengan perempuan yang tidak memiliki mahram yang mampu menemani perjalanannya?” Maka, untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melakukan pembacaan ulang atas hadis kewajiban mahram dalam safar wanita.

Baca Juga  Benarkah Islam Membenarkan Kekerasan dalam Pendidikan ?

Model Pembacaan  Hadis

Pembacaan dengan model pertama adalah pembacaan “double movement. Fazlur Rahman adalah pengusung model ini. Ia menggunakannya sebagai kerangka dalam menafsirkan teks Al-Qur’an dan Hadis Nabi Saw. Teori ini menekankan proses penafsiran dengan melihat bagaimana kondisi pada saat teks tersebut turun dan kemudian menarik kembali pada kondisi saat ini.

Dengan menggunakan model double movement tersebut, dapat kita lihat bahwa hadis di atas turun karena kekhawatiran Nabi akan kondisi alam di Arab pada masa itu yang sangat tidak memungkinkan perempuan untuk bepergian.

Kemudian, jika ditarik pada kondisi saat ini, transportasi dan hukum sudah memberi ruang aman bagi perempuan untuk bepergian tanpa adanya mahram. Bahkan, beberapa transportasi menyediakan ruang khusus bagi wanita dan layanan pengaduan jika terjadi tindakan yang kurang menyenangkan.

Pembacaan dengan model kedua adalah pembacaan mubadalah oleh Faqihuddin Abdul Qadir. Penafsiran mubadalah adalah penafsiran relasional yang tak hanya terbatas pada relasi laki-laki dan perempuan saja, akan tetapi juga orang tua-anak dan seluruh Individu warga negara.

Mahram dan Safar Wanita di Dunia Modern

Konsep mahram dalam konteks modern telah bergeser kepada sistem dan struktur yang rasional, termasuk kepastian hukum. Dalam hal ini, stabilitas sosial tidak bergantung kepada komunalisme atau individu tertentu. Fungsi pengamanan dan perlindungan bekerja dalam sistem dan struktur tersebut.

Negara melalui sistem politik adalah penjamin keamanan bagi warganya, baik laki-laki maupun perempuan. Kewajiban mahram lahir karena kondisi sosial di Arab yang menjadikan wanita sebagai tawanan, budak seks, hingga objek pembunuhan.

Spirit hadis di atas adalah perlindungan kepada wanita yang dikategorikan sebagai makhluk rentan dengan kondisi sosial pada masa itu. Pemahaman ini juga dapat kita pahami lebih luas lagi, yaitu memahaminya dengan spirit perlindungan. Bila menggunakan pemahaman ini, maka keamanan harus ada bagi siapa saja yang rentan, baik laki-laki dan perempuan.

Baca Juga  Khaulah binti Tsa'labah: Perempuan yang Menjadi Sebab Turunnya Ayat

Pada kondisi sekarang, tidak ada landasan yang kuat dalam pelarangan safar wanita, terlebih mengharuskan syarat mahram. Sistem sosial sudah beralih menjadi kepastian hukum pada saat ini. Inilah mahram pada setiap perjalanan wanita.

Tanpa kewajiban mahram, perempuan dapat bergerak bebas sebagai subjek utuh, mengembangkan potensi, serta berkontribusi lebih luas dalam pendidikan, ekonomi, dan sosial tanpa hambatan struktural. Mobilitas yang tak terbatas memungkinkan mereka memperluas jaringan, meningkatkan kapasitas, serta mengambil peran strategis dalam masyarakat dan dunia profesional.

Dengan sistem keamanan modern dan perlindungan hukum, pembatasan ini tidak lagi relevan dan justru menghambat kesetaraan, kebebasan, serta kemajuan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Daftar Pustaka

Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, 1990.

Abdul Qadir, F. (2019). Qiraah Mubadalah. Yogyakarta: IRCiSod.

Abdul Qodir, F. (2021). Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah. Bandung: Afkaruna.

Abdul Aziz, M., & Maisyal, N. (2024). Pandangan 4 mazhab tentang mahram haji bagi wanita. JURNAL Keilmuan dan Keislaman.

Alamsyah, M. N. (n.d.). Reaktualisasi epistemologi fikih perempuan; Kajian pemikiran Mutawalli Al-Sya’rawi dalam konteks Indonesia. SETARA: Jurnal Studi Gender dan Anak, 6(2).

Al-Bukhari, (2016). Kitab Shahih Bukhari. Jakarta: Shahih.

Aisyah, R. D., dkk. (2021). Mengenal konsep mahram siapa saja yang haram dinikahi. Nian Tana Sikka: Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 3(1).

Istifarin, N. A., & Rochmawati, I. (n.d.). Hadis safar perempuan dalam perspektif modern: Analisis hermeneutika double movement. Tajdid, 23(2).

Rahman, F. (1982). Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago Press.

Editor: Dzaki Kusumaning SM