Konsep melihat Tuhan merupakan salah satu isu teologis yang telah menjadi perdebatan panjang dalam khazanah keilmuan Islam. Al-Qur’an menyebutkan beberapa ayat yang menjadi rujukan utama dalam pembahasan ini, seperti Surah al-Qiyamah: 23, Al- An’am: 103 dan Al-A’raf: 143. Ayat-ayat ini menimbulkan beragam interpretasi dan perdebatan di kalangan ulama tafsir, terutama terkait dengan apakah manusia dapat melihat Tuhan di akhirat secara langsung.
Perbedaan ini tidak hanya mencerminkan perbedaan metodologi dalam menafsirkan teks suci, tetapi juga menunjukkan pengaruh latar belakang teologis yang beragam. Dalam hal ini, dua tokoh besar, Al-Qurthubi dan Al-Thabarsi memberikan pandangan yang menarik untuk dikaji secara komparatif karena keduanya berasal dari tradisi teologi yang berbeda, yaitu Sunni dan Syiah. Al-Qurthubi adalah seorang mufasir dari kalangan Ahlusunah. Sementara itu, Al-Thabarsi, mufasir Syiah dari kalangan Imamiyah yang memiliki pendekatan yang berbeda dalam menafsirkan ayat ini.
Melihat Tuhan Dalam Pandangan Al-Qurthubi Dan Al-Thabari
Perdebatan mengenai kemungkinan manusia melihat Tuhan di dunia atau akhirat adalah salah satu isu teologis yang penting dalam Islam. Dua mufassir besar, Al-Qurthubi dari kalangan Ahlusunah dan Al-Thabarsi dari kalangan Syi’ah Imamiyah, memberikan pandangan yang berbeda dalam tafsir mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan, seperti QS. Al-A’raf: 143
وَلَمَّا جَاۤءَ مُوْسٰى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهٗ رَبُّهٗۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَۗ قَالَ لَنْ تَرٰىنِيْ وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهٗ فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًاۚ فَلَمَّآ اَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ ١٤٣
Artinya: Ketika Musa datang untuk (bermunajat) pada waktu yang telah Kami tentukan (selama empat puluh hari) dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, dia berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Dia berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka, ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) pada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau. Aku bertobat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.” (Al-A’raf: 143)
Dan QS. Al-Qiyamah: 22-23
وُجُوْهٌ یَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri Kepada Tuhannyalah mereka melihat
Menurut Al-Qurthubi melihat Tuhan adalah sesuatu yang mungkin terjadi, tetapi hanya di akhirat. Pendapat ini didasarkan pada pemahaman bahwa manusia tidak mampu melihat Tuhan di dunia karena keterbatasan fisik dan sifat Tuhan yang melampaui segala sesuatu. Namun, di akhirat, keterbatasan ini akan dihilangkan sehingga melihat Tuhan menjadi mungkin. Hal ini bisa di temukan dalam tafsirnya yang berjudul Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an.
Dalam menafsirkan QS. Al-Qiyamah: 22-23, Al-Qurthubi menjelaskan ayat ini adalah bukti eksplisit bahwa orang-orang beriman akan melihat Tuhan di akhirat. Ia juga merujuk pada hadis-hadis sahih yang menyebutkan bahwa orang-orang beriman akan melihat Tuhan sebagaimana mereka melihat bulan purnama tanpa kesulitan. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya orang mukmin akan melihat Tuhan tetapi saat di akhirat. Pendapat Al-Qurthubi dipengaruhi oleh teologinya, yaitu Ahlusunah, khususnya pandangan Asy’ariyah yang berpendapat bahwa mukmin dapat melihat Tuhan di akhirat.
***
Di sisi lain, Al-Thabarsi dalam tafsirnya yang berjudul Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an menolak kemungkinan manusia melihat Tuhan, baik di dunia maupun di akhirat. Ia berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat secara fisik karena Dia bukan materi dan tidak memiliki bentuk atau rupa yang dapat ditangkap oleh indera manusia. Menurut Al-Thabarsi, hal ini didasarkan pada ayat QS. Al-An’am: 103
لَا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَارَۚ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ
Artinya: Dia tidak dapat dijangkau oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat menjangkau segala penglihatan itu. Dialah Yang Mahahalus lagi Mahateliti.
Berbeda Al-Qurthubi dalam menafsirkan QS. Al-Qiyamah: 22-23, , Al-Thabarsi menafsirkan ayat tersebut dengan pendekatan bahasa. Dalam memahami lafad ila rabbiha nadhiroh, yaitu sebagai melihat rahmat, keagungan, dan tanda-tanda kebesaran Tuhan, bukan melihat-Nya secara langsung. Al-Thabarsi juga mengutip QS. Al-A’raf: 143, di mana Nabi Musa meminta untuk melihat Tuhan, tetapi permintaannya ditolak, sebagai bukti bahwa manusia tidak dapat melihat Tuhan.
Sebagai mufassir Ahlusunah, Al-Qurthubi sering menggunakan pendekatan tekstual dan memadukannya dengan hadis. Dalam masalah ini, Al-Qurthubi menitikberatkan pada makna dasar dari ayat-ayat yang menyinggung melihat Tuhan dan memperkuatnya dengan riwayat dari Nabi Muhammad dan para sahabat. Berbeda dengan Al-Thabarsi, yang berpegang teguh dengan tradisi Syi’ah, cenderung menggunakan pendekatan rasional dan teologis. Ia mengedepankan prinsip keesaan Tuhan yang menolak segala bentuk penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya. Ia juga lebih menekankan aspek filosofis dalam memahami ayat-ayat tersebut.
***
Perdebatan keduanya, akan tetapi sepakat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat di dunia, tetapi berbeda pendapat mengenai melihat Tuhan di akhirat. Al-Qurthubi menerima kemungkinan ini sebagai bagian dari kebahagiaan tertinggi bagi orang beriman, sedangkan Al-Thabarsi menolaknya dan menafsirkan ayat melihat Tuhan sebagai pengalaman spiritual yang non-fisik.
Komparasi antara Al-Qurthubi dan Al-Thabarsi menunjukkan bagaimana latar belakang teologis dan metode tafsir yang berbeda memengaruhi pandangan mereka tentang konsep melihat Tuhan. Al-Qurthubi menegaskan kemungkinan melihat Tuhan di akhirat berdasarkan pemahaman makna dan riwayat hadis, sedangkan Al-Thabarsi menolaknya dengan pendekatan bahasa dan filosofis yang menekankan keagungan Tuhan. Kedua pendapat ini menggambarkan kekayaan tradisi tafsir Islam dalam memahami isu-isu teologis yang kompleks.
Editor: Najmi
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.