Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Perdebatan Para Ulama dalam Patokan Memahami Ayat Al-Qur’an (1)

Ayat
Sumber: istockphoto.com

Dalam memahami Al-Quran, sebagaimana ia adalah jawaban dari berbagai lini kehidupan, maka ia tidak dapat dipahami kecuali dengan memerhatikan konteks atau tantangan yang dihadapinya. Mengapa? Karena tanpa melirik latarbelakang diturunkannya sebuah ayat, kerancuan makna akan terjadi. Dalam ulûmul Qur’ân, permasalahan seputar konteks ayat dikenal dengan asbabun nuzul. Pada tulisan kali ini, kita akan mencoba menerangkan pandangan dua kelompok ulama seputar patokan dalam memahami makna ayat. Ulama berbeda pandangan mengenai hukum yang dicakup oleh sebuah ayat, apakah ayat tersebut berlaku terhadap semua orang ataukah sebatas berlaku atas sebab khusus atau orang tertentu dari konteks ayat tersebut.

Titik Perbedaan Pandangan Ulama

Pada teks ayat yang lafadznya bersifat umum, ulama berbeda pandangan mengenai pemberlakuan hukum dari ayat tersebut, apakah hukum pada ayat tersebut berlaku terhadap semua orang, ataukah terkhusus bagi sebab ayat tersebut diturunkan?Mari kita ambil contoh QS. An-Nur: 5-6 tentang li’ân  (وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ أَزۡوَٰجَهُمۡ… ٦ )

Ayat li’ân (ayat tentang saling mengutuk) di atas turun disebabkan suatu kasus khusus, yaitu  ketika Hilal bin Umayyah menuduh istrinya, maka turunlah ayat tersebut. Akan tetapi, jika melihat teks atau lafadz ayatnya (وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ), kandungan hukumnya bersifat universal atau umum.Dari titik inilah ulama berbeda pandangan dalam memberlakukan suatu hukum dari sebuah ayat. Apakah ayat tersebut berlaku terhadap semua orang ataukah hanya berlaku kepada seorang saja, dalam hal ini Hilal bin Umayyah?

Untuk lebih jelasnya, saya akan beri sebuah contoh ilustrasi. Dikisahkan dalam lingkup pondok pesantren, si Udin melanggar, ia diam-diam membawa smartphone ke dalam asrama, kemudian ia ketahuan oleh pak Kyai. Karena kenakalan si Udin tersebut, pak Kyai mengeluarkan peraturan dengan mengatakan “Mulai saat ini, santri tidak boleh membawa Hp ke dalam asrama!” teks dari kebijakan pak Kyai itu bersifat umum, yaitu terhadap seluruh santri.Akan tetapi, konteks atau sebab khusus dari larangan pak Kyai tadi ialah kasus si Udin yang menyembunyikan hp. Pertanyaannya, apakah larangan pak Kyai tersebut berlaku terhadap semua santri atau untuk si Udin seorang?

Baca Juga  Ibrah Ayat Diambil dari Umumnya Lafaz, Bukan Khususnya Sebab

Tidak beda halnya dengan ayat li’ân di atas. Teks ayatnya bersifat umum, tapi sebab khusus dari turunnya ayat tersebut ialah Hilal bin Umayyah. Pertanyaannya, hukum dari sebuah ayat tersebut berlaku hanya terhadap Hilal bin Umayyah ataukah juga berlaku bagi semua orang?

Sebenarnya, patokan dalam memahami makna ayat itu seperti apa sih? Apakah dengan melihat sisi lafaznya yang bersifat umum? Ataukah fokus terhadap sebab khusus dari turunnya ayat tersebut?Ulama kita, dalam masalah ini, seperti yang telah disebutkan di atas, terbagi menjadi 2 pandangan.Yang pertama, jumhur ulama berpegang pada sebuah kaidah yang dikenal luas berbunyi al-‘ibrah bi ‘umûmi al-lafdzi lâ bi khushushi as-sabab.Dan yang kedua, yang fokus terhadap sebabnya yang khusus, ulama memakai kaidah yang berbunyi al-‘ibrah bi khushûshi as-sabab lâ bi ‘umûmi al-lafdzi. 

Jika jumhur ulama berpandangan bahwa patokan dalam memahami makna ayat itu ialah keumuman ayat tersebut, sehingga ayat tersebut berlaku kepada semua orang, maka selain jumhur ulama berpandangan sebaliknya.Mereka berpendapat bahwa patokan dalam memaknai sebuah ayat ialah sebab khusus dari turunnya ayat tersebut, walaupun teks dari ayat tersebut jelas menunjukkan lafazh universal.

Argumentasi Para Ulama

Mari kita bandingkan dua pandangan tersebut. Pertama menurut jumhur ulama yang menyatakan bahwa patokan dalam memahami makna ayat itu ialah keumuman ayat tersebut (al-‘ibrah bi ‘umûmi al-lafdzi lâ bi khushûshi as-sabab). Contohnya pada ayat li’ân, walaupun ayat tersebut turun karena satu sebab khusus yaitu tuduhan Hilal bin Umayyah terhadap istrinya, hukum pada ayat tersebut tetap berlaku kepada semua orang, tidak terbatas kepada Hilal bin Umayyah.

Dengan kaidah di atas, ayat tersebut berlaku kepada semua orang dengan hukum yang langsung ditetapkan oleh nas Al-Quran, tidak melalui pintu ijtihad atau qiyas.

Baca Juga  Kaidah Tafsir: Makna Huruf مِنْ yang Terletak Sebelum Mendahuluinya

Argumen pertama oleh jumhur ulama ialah bukti aktual bahwa para sahabat tidak menggunakan ijtihad atau qiyas dalam memberlakukan hukum sebuah ayat yang bersifat umum dan memiliki sebab yang khusus.Maka dalam contoh ayat li’ân, ayat dzhihâr, ayat qadzaf dan ayat-ayat yang serupa, para sahabat menerapkan kaidah yang pertama.

Dalil kedua, jika patokan dalam memahami makna ayat itu adalah sebab khususnya, bukan lafadznya yang umum, maka teks ayat tersebut yang bersifat umum akan berlaku kepada selain tujuan aslinya. Tujuan asli dari universalitas teks ayat tersebut ialah agar ayat tersebut berlaku kepada semua orang. Namun, jika malah sebaliknya, yaitu ia hanya diberlakukan terhadap sebabnya yang khusus, maka ia sudah keluar dari tujuan aslinya.

Agar lebih jelas, pada ayat li’an, jika kita memakai kaidah jumhur ulama, maka keumuman ayat li’an tersebut berlaku kepada semua orang, walaupun, sekali lagi, sebab khususnya ialah Hilal bin Umayyah. Beda halnya dengan penerapan kaidah yang kedua, universalitas ayat li’an akan keluar dari tujuan aslinya, mengapa? Sebab hukum ayat tersebut hanya akan berlaku kepada Hilal bin Umayyah seorang, tidak kepada selainnya, padahal ayat tersebut bersifat universal. Walaupun ayatnya bersifat umum, ia tidak lebih hanya berlaku bagi seorang saja, sehingga, keumuman ayat tersebut keluar dari tujuan aslinya dan sia-sia.

Editor: An-Najmi