Tolok ukur seseorang dalam menikmati kehidupan di dunia adalah menggapai kedamaian. Dengan adanya perdamaian tidak luput dengan konflik. Konflik sebagai sebab munculnya pertikaian, perselisihan dan adu kebencian terhadap sesama manusia. Padahal suasana yang seharusnya muncul di masyarakat adalah hidup dengan ketentraman, keharmonisan dan kedamaian dalam menyambung silaturahim.
Makna Perdamaian
Dalam hal ini, sepakat bahwa Islam adalah agama perdamaian. Sesuai dengan namanya, islam itu artinya perdamaian. Nabi Muhammad diutus dengan membawa agama islam untuk menanamkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, menggambarkan hal yang pokok dalam agama islam. Bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad adalah agama yang mengajarkan tentang perdamaian.
Perdamaian adalah pencapaian yang harus dimiliki masyarakat untuk terhindar dari adanya konflik, perselisihan. Karena tidak bisa dipungkiri jika kehidupan di dunia ini tidak terciptanya hidup yang damai, maka akan tercipta hidup dengan penuh kekerasan, kerusakan dan katakutan.
Cara Mewujudkan Perdamaian
Tugas manusia dalam menjalankan hidup di dunia ini adalah Hablum Minallah, Hablum Minannas dan Hablum Minal ‘Alam. Yaitu berhubungan baik dengan Allah Swt dalam bentuk melaksanakan ibadah kepada Allah Swt, berhubungan baik dengan sesama manusia dalam bentuk mu’amalah dan berhubungan dengan alam sekitar dalam bentuk memakmurkan bumi.
Dalam konteks perdamaian al-Qur’an, untuk mewujudkan perdamaian mengandung dua unsur asasi yaitu, pendekatan vertikal dan pendekatan horizontal.
Pendekatan vertikal berkenaan dengan hubungan manusia dengan tuhannya yaitu Allah Swt secara khusus. Pendekatan ini juga bisa disebut pendekatan spiritual. Di sini al-Qur’an memberikan suatu pelajaran kepada manusia bahwa kedamaian akan wujud dalam diri seseorang, jika ia mampu membina komunikasi secara baik dengan tuhannya dan terus berusaha mewarnai jiwanya dengan sifat-sifat atau akhlak Allah Swt yang maha pengasih, penyayang, damai dan lainnya yang layak bagi manusia. Pendekatan ini bersifat personal (individual).
Pendekatan horizotal berkenaan dengan hubungan antar sesama manusia, hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya. Dalam pendekatan ini, al-Qur’an senantiasa menekankan perlunya hidup harmonis antara sesama manusia, antara manusia dan alam sekitar. Tindakan sewenang-wenang yang melanggar hak-hak asasi manusia dan pengrusakan terhadap lingkungan sekitar, dianggap bertolak belakang dengan ajaran dasar al-Qur’an yang diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Di dalam ayat-ayat al-Qur’an menjelaskan bagaimana seharusnya manusia membina hubungan dengan Allah Swt. Sebagai contoh yaitu sholat. Melakukan sholat sebagai kewajiban seorang muslim adalah salah satu aktifitas yang menggambarkan bagaimana seharusnya manusia membina perdamaian dengan Allah Swt.
Bukan hanya membina perdamaian dengan Allah Swt saja. Manusia juga diharuskan membina komunikasi baik sesama manusia dan berinteraksi dengan alam sekitar. Yaitu dengan tidak merusak segala sesuatu yang ada di bumi.
Perdamaian dalam al-Qur’an
Islam memandang perdamaian; sebagai fenomena yang harus dimiliki seseorang atau kelompok untuk mewujudkan masyarakat yang tentram dan adanya sifat saling mempererat tali silaturrahim.
Dalam QS. al-Baqarah: 256, Allah Swt menyinggung tentang fenomena ini,
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Artinya : Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah: 256)
Ayat ini menjelaskan tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Ayat ini, ungkap al-Thabari,menurut sebagian ahli ta’wil, turun berkenaan dengan seorang kaum Ansar yang memiliki anak ketika masa jahiliyyah dan membuat anaknya menjadi orang Yahudi dan Nasrani. Kemudian setelah Islam datang, sang bapak memaksa anaknya untuk masuk Islam, kemudian turunlah ayat ini dan kemudian anak-anak orang Ansar ini memilih Islam dengan sendirinya (Abu Ja’far al-Thabari dalam Jami’al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an).
Dari riwayat ini, dapat disimpulkan juga bahwa Islam disebarkan bukan dengan dasar paksaan, akan tetapi dengan memberikan argumen yang jelas dan valid sehingga orang yang didakwahi bisa menerima dengan lapang hati dan tanpa adanya keterpaksaan. Dengan kata lain, tidak ada agama dalam keterpaksaan.
Dari sini setidaknya dapat kita lihat bahwa Islam sebagai Agama yang sempurna, merupakan agama yang menjadi jalan keluar dari berbagai persoalan dalam kehidupan. Juga Islam di turunkan menjadi rahmat bagi alam semesta. Maka dari itu kita sebagai kaum terpelajar harus bisa membawa misi Islam yang sesungguhnya, yaitu sebagai Rahmatan lil ‘alamin sehingga simpati masyarakat dunia bisa tertuju pada Islam yang ramah bukan Islam yang marah.
Meskipun akhir-akhir ini citra Islam sebagai agama yang damai “tercoreng” di mata dunia dikarenakan beberapa pemeluk agama Islam melakukan aksi teror yang mengatas namakan agama Islam. Kita sebagai pemeluk Islam yang masih waras harus menyadarkan kembali publik, bahwa konsep perdamaian sejatinya sudah tertuang dalam al-Quran. Islam sejatinya adalah agama yang damai, penuh cinta dan kasih sayang.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply