Bagi umat Islam, Al-Quran selain dianggap sebagai kitab suci yang wajib diyakini, ia juga menjadi pedoman sekaligus petunjuk dalam menjalankan kehidupan. Pelbagai kisah, tema, dan pembahasan terdapat di dalamnya. Karenanya, Al-Quran kerap kali dijadikan rujukan dan mitra dialog dalam menyelesaikan problem kehidupan yang dihadapi umat manusia.
Begitu luas dan dalamnya isi kandungan Al-Quran membuatnya selalu menarik dan relevan untuk dikaji. Tentu, para pengkajinya tidak sekadar dari kalangan intelektual Muslim sendiri. Tetapi para cendekiawan Barat (orientalis) pun kerap menjadikan Al-Quran sebagai objek penelitiannya. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengungkap pesan-pesan, ajaran, dan hikmah yang terdapat di dalamnya.
Orientalis dalam Mengkaji Al-Quran
Namun demikian, terdapat perbedaan secara fundamental studi Al-Quran yang dilakukan oleh umat Islam dan orientalis. Misal, para orientalis memosisikan Al-Quran sebagai kitab suci yang menarik untuk diteliti (secara ilmiah). Seperti, bagaimana sejarah teks Al-Quran, varian bacaannya, dan bagaimana relasinya dengan kitab-kitab suci terdahulu, atau sekadar untuk memahami sikap dan tindakan umat Islam. Bahkan, ada yang bertujuan untuk mengkritisi dan menghujatnya.
Orientalis Abraham Geiger misalnya, seorang Yahudi pertama yang mengkaji Al-Quran dengan pendekatan ilmiah dan pengaruh Yahudi. Dalam karyanya What did Muhammad Borro from Judaism, ia menyatakan bahwa ajaran Muhammad (Islam) adalah perpanjangan tangan (meminjam) dari agama Yahudi.
Seperti, hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin, hukum-hukum moral, pandangan tentang kehidupan, dan cerita-cerita dalam Al-Quran, tidak terlepas dari pengaruh agama Yahudi. Pun juga, mengenai ayat-ayat Al-Quran yang mengecam Yahudi, menurut Geiger kecaman tersebut tidak lain disebabkan karena Muhammad telah menyimpang. Bahkan, ia mengklaim Muhammad salah mengerti (tidak paham) perihal doktrin-doktrin agama Yahudi.
Studi Geiger ini kemudian dikembangkan lebih jauh lagi oleh seorang misionaris Inggris, yaitu W. St. Clair Tisdall. Ia menyatakan bahwa agama Islam bukanlah bersumber dari “langit” (Allah), melainkan bersumber dari ragam agama (Yahudi, Kristen, Hindu, dan Zoroastria) dan budaya. Menurut Tisdall, konsep Islam tentang Tuhan, Haji, mencium Hajar Aswad, dan menghormati Ka’bah adalah semuanya berasal dari tradisi jahiliyah.
Pun juga, salat lima waktu berasal dari tradisi Sabian. Bahkan, kisah Nabi Ibrahim, Sulaiman, Habil dan Qabil, Harut-Marut, dan Ratu Balqis adalah dari Yahudi. Tidak ketinggalan pula Isra’ Mi’raj dan jembatan (sirath) kelak di hari kiamat berasal dari agama Hindu dan Zoroastria.
Cara Umat Islam Mengkaji Al-Quran
Sedangkan umat Islam dalam mengkaji Al-Quran, selain bertujuan memperoleh petunjuk yang terkandung di dalamnya, juga untuk mendapatkan legitimasi atas sikap dan perilaku mereka. Model kajian semacam ini, kaum muslimin diharapkan dapat memahami pesan-pesan, ajaran, dan hikmah-hikmahnya yang kemudian diimplementasikan pada kehidupan konkret.
Upaya untuk memosisikan kitab suci Al-Quran sebagai pedoman dan petunjuk bagi umat Islam, adalah bermula dari kegelisahan Muhammad Abduh terhadap produk penafsiran ulama klasik. Misalnya, dalam menafsirkan Al-Quran. Para mufasir klasik hanya berkutat pada pengertian kata-kata/kedudukan kalimatnya dari segi ikrab dan kebahasaan yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran.
Penafsiran seperti inilah, yang oleh Abduh dinilai produk tafsir ulama klasik telah kehilangan fungsi dan tujuan diturunkannya Al-Quran, yakni sebagai pedoman serta petunjuk bagi seluruh umat manusia (Hudan li An-nas). Menurutnya, kendati Al-Quran diturunkan sejak dahulu dalam konteks sosio-kultur tertentu. Akan tetapi mengandung nilai-nilai universal yang akan selalu relevan untuk setiap zaman dan tempat (Shalihun li Kulli Zaman wa Makan).
Oleh karena itu, model penafsiran terhadap Al-Quran kiwari ini perlu direformasi sesuai dengan tuntutan zaman. Sebab, problem sosial kemanusiaan yang terjadi di tengah masyarakat selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Maka dengan demikian, eksistensi ajaran Al-Quran tidak sekadar berkutat pada tataran normatif-idealis dan metafisis semata. Akan tetapi menjelma dalam kehidupan konkret umat manusia (empiris-realistis).
Akan tetapi, model penafsiran seperti ini tentu memerlukan suatu epistemologi baru yang sesuai dengan situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan peradaban umat manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Amin Abdullah bahwa perkembangan situasi sosial-politik, budaya, ilmu pengetahuan, dan revolusi informasi juga turut andil dalam usaha memaknai kembali teks-teks keagamaan (Al-Quran dan al-hadis). Pertanyaannya, epistemologi seperti apakah yang perlu dikembangkan dalam menafsirkan Al-Quran tersebut? Wallahu A’lam
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply