Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dalam Islam. Maka jika seorang muslim ingin menyelami ajaran Islam yang sebenarnya secara lebih mendalam, yang harus dilakukan adalah menggali dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan sunah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an, untuk bisa memahami kaidah ayat-ayat dalam Al-Qur’an dibutuhkan peranan ilmu didalamnya, seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan ilmu lainnya. Menurut kaidah Islam, bagi mereka yang ingin memahami Al-Qur’an, mengerti akan ilmu nahwu adalah kewajiban individu. Dalam ilmu nahwu, ”kalam” (kalimat) merupakan pembahasan dasar untuk pengembangan ilmu nahwu yang lebih luas dan rinci.
Kalam sebagai Dasar Ilmu Nahwu
Terdapat beberapa penjelasan yang panjang dalam ilmu nahwu. Ilmu nahwu biasanya diajarkan di pesantren-pesantren maupun sekolah-sekolah semi pesantren. Biasanya pelajaran yang pertama dikaji adalah ilmu nahwu, dan pada umumnya kitab yang dipakai adalah kitab Al-Jurumiyah. Dalam kitab Al-Jurumiyah yang dikarang oleh Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Dauda’ Sonhaji inilah yang membahas mengenai kalam, yang merupakan dasar dari ilmu nahwu.
Secara bahasa, pengertian kalam adalah lafaz (kata) yang tersusun dan bermakna lengkap. Sedangkan menurut istilah ilmu nahwu, kalam ialah harus memenuhi empat syarat, yaitu lafaz, murakkab (tersusun), mufid (bermakna), dan wada’. Maksudnya adalah kalimat atau yang disebut dengan kalam dikatakan tersusun dan mempunyai makna yang lengkap apabila mengandung empat syarat tersebut. Jika empat syarat tersebut tidak lengkap, maka tidak bisa disebut dengan kalam yang sempurna.
Lafaz adalah kata atau ucapan yang mengandung sebagian huruf hijaiyah. Tentunya kata-kata dalam bahasa Arab terdiri dari huruf-huruf hijaiyah. Menurut pedoman transliterasi Arab-Latin yang disepakati oleh menteri agama beserta menteri P dan K, huruf hijaiyah berjumlah 29. Dimana huruf-huruf tersebut dapat membentuk sebuah kata. Setelah lafaz, syarat berikutnya adalah murakkab (tersusun). Yang dimaksud dengan tersusun disini adalah suatu ucapan yang terdiri dari dua kata atau lebih yang berkesinambungan. Jika hanya terdapat satu kata saja, maka tidak dapat disebut murakkab.
***
Kemudian, mufid (bermakna) merupakan suatu ungkapan berfaedah yang logis dan dapat dipahami oleh pendengar maupun pembaca. Seperti contoh dalam kalimat: Ayah berdiri, kalimat ini bermakna jelas yang menandakan bahwa subjek sedang melakukan tindakan. Berbeda halnya dengan contoh kalimat: Apabila ayah datang, kalimat ini tidak bisa dikatakan mufid, karena dianggap janggal dan tidak bisa dipahami maksudnya. Jika kalimat janggal tersebut ingin sempurna, maka harus ada tambahan keterangan selanjutnya, seperti contoh: Apabila Ayah datang, maka akan kusambut dia.
Syarat terakhir dari kalam adalah wada’. Yang dimaksud dengan wada’ adalah menjadikan kata agar menunjukan suatu makna atau pengertian, dan pembicaraannya disengaja serta dengan menggunakan bahasa Arab. Jadi menurut ahli ilmu nahwu, jika terdapat pembicaraan orang yang mengigau walaupun menggunakan bahasa Arab, hal ini tidak termasuk kedalam wada’.
Untuk mempermudah pemahaman kita tentang kalam, para ahli ilmu nahwu membagi kalam menjadi tiga bagian, yaitu isim, fi’il, dan huruf yang memiliki makna. Pengertian dari isim adalah kata yang menunjukkan makna mandiri dan tidak disertai dengan keterangan waktu. Dengan kata lain, isim adalah kata benda. Namun, isim tidak hanya meliputi kata benda saja, melainkan nama-nama orang atau nama-nama binatang termasuk kedalam pengertian isim.
***
Pembagian selanjutnya adalah fi’il. Jika isim adalah kata benda, pengertian fi’il adalah kata kerja. Dalam kitab Al-Jurumiyah, fi’il adalah kata yang menunjukkan makna mandiri dan disertai dengan keterangan waktu. Keterangan waktu tersebut terbagi menjadi tiga bagian, yaitu masa yang telah lalu atau lampau (madi), masa sekarang atau yang sedang berlangsung (hal), masa yang akan datang (mustaqbal).
Kemudian bagian kalam yang terakhir adalah huruf. Pengertian huruf adalah kata yang menunjukkan makna apabila digabungkan dengan kata lainnya.Dilihat dari pengertian tersebut, menunjukkan bahwa huruf tidak dapat berdiri sendiri, melainkan membutuhkan kata lain agar dapat menjadi kalimat yang memiliki makna. Dengan kata lain huruf adalah kata depan, seperti: dari, ke, tidak, dan lain sebagainya.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply