Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Pentingnya Belajar Akhlaq menurut Imam Al-Ghazali

Sumber: https://barisan.co/

Membicarakan pemikiran dalam filsafat Islam, tentu tidak akan lengkap jika tidak mencantumkan nama Al-Ghazali. Tokoh ini unik, karena kemampuan yang mumpuni di berbagai bidang pengetahuan, termasuk akhlak. Sehingga, tidaklah mengherankan bila banyak sebutan yang dialamatkan terhadapnya. Mulai dari teolog, fuqoha, filosof, sufi, bahkan sampai sebutan Hujjatul Islam. Kita bisa melihat khazanah keilmuan Al-Ghazali dari karya-karyanya yang sangat banyak yang masih tersimpan rapi hingga sekarang.

Salah  satunya kitab Ihya Ulumiddin. Sebuah kitab yang ditulis untuk menyeimbangkan antara dimensi eksoterik dan esoterik Islam. Kitab ini ditulis selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah, antara Damaskus, Baitul Maqdis, Makkah dan Thus. Kitab ini merupakan perpaduan dari beberapa disiplin ilmu. Seperti fiqh, tasawuf, dan filsafat. Ada juga kitab Maqasid al-Falasifah. Kitab ini berisi ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga ilmu-ilmu logika, fisika, dan ilmu kalam.

Imam Al-Ghazali atau lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali At-Thusi (W 505/1111). Ia adalah seorang ulama yang hidup pada saat pemikiran keagamaan di dunia Islam mengalami perkembangan dan keberagaman. Ia memberi warna dan corak intelektualitas di dunia Islam.

Di satu pihak, ia disanjung karena telah berhasil mempertahankan ajaran Islam dalam menghadapi berbagai golongan filosof yang mendewakan rasio (akal). Di samping dipuja, ia di cap sebagai penyebab kemunduran Islam. Karena dianggap orang yang anti filsafat. Terlepas dari penilaian yang berbeda-beda, kenyataannya pemikiran Al-Ghazali banyak diikuti masyarakat Islam.

Pentingnya Akhlak Menurut Al-Ghazali

Dalam kitabnya, Mizan Al-Amal, akhlak merupakan bahan utama pemikirannya. Kebanyakan karya-karya akhirnya bersifat etis moralitas yang menjamin kebahagiaan sempurna. Teori etika yang dikembangkannya bersifat religus dan sufi. Hal itu terlihat jelas, dalam karya-karya akhirnya. Tidak lagi menggunakan Ilm akhlaq, tetapi dengan ilmu jalan akhirat (ilm thariqul akhirat) atau ilmu agama praktis (ilm al-muamalah).

Baca Juga  Tafsir Q.S Al-Ahzab Ayat 21: Benarkah Nabi Hanya Perintah Tanpa Aksi?

Ada tiga teori tujuan pentingnya mempelajari akhlak. Pertama, mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoritis, tanpa pengaruh yang mempelajarinya. Kedua, mempelajari akhlak untuk meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari. Ketiga, untuk menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan akhlak harus terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri.

Al-Ghazali setuju dengan teori kedua. Dia menyakatakan bahwa studi tentang ilmu Al-Mu’amalah dimaksudkan guna latihan kebiasaan. Tujuan latihan adalah untuk meningkatkan jiwa agar kebahagiaan dapat dicapai di akhirat. Tanpa kajian ilmu ini, kebaikan tak dapat dicari dan keburukan tak dapat dihindari dengan sempurna.

Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan, tidak lebih baik dari pada kebodohan. Berdasarkan pendapatnya ini, dapat dikatakan bahwa akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak teologis. Sebab ia menilai amal mengacu pada akibatnya.

Corak Akhlak Al-Ghazali

Corak etika ini mengajarkan, bahwa manusia mempunyai tujuan yang agung. Yaitu kebahagiaan di akhirat. Kebahagiaan ukhrawi (al-sa’adah al-ukhrawiyah) bisa diperoleh dengan mengendalikan sifat-sifat manusia bukan dengan membuangnya. Kelakuan manusia dianggap baik, jika itu membantu bagi kebahagiaan akhiratnya.

Karena itu, ilmu dan amal merupakan syarat pokok memperoleh kebahagiaan ukhrawi. Barang siapa yang gagal mendapatkannya, maka ia adalah lebih hina dari hewan yang rendahan. Kebahagiaan ukhrawi mempunyai empat ciri khas. Seperti: berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan yang tanpa duka, pengetahuan tanpa kebodohan, dan kecukupan yang sempurna.

Tentu saja, kebahagiaan yang dimaksud sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits adalah surga. Sedangkan tempat kesengsaraan adalah neraka. Nasib setiap orang akan ditentukan pada hari kebangkitan. Pada hari kebangkitan, jiwa itu dikembalikan lagi ke jasad, orang yang bangkit akan mempunyai badan dan jiwa. Kemudian akan hidup abadi dalam bentuk yang seperti semula.

Baca Juga  Tahlili Cum Maudu’i: Gagasan Metode Penyajian Tafsir at-Tanwir

Kebahagiaan di surga ada dua tingkat; rendah dan tinggi. Yang rendah terdiri dari kesenangan inderawi mengenai makanan dan minuman, pakaian indah dan seterusnya. Tingkat ini diperuntukkan kepada orang shaleh (abrar al-shalihun). Mereka yang bertakwa (muttaqun) dan yang benar (ashhab al-yamin). Kesenangan inderawi akan memuaskan mereka, hal ini yang mereka harapkan.

Kebahagiaan Tertinggi Dari Akhlak

Kebahagiaan yang lebih tinggi ialah berada dekat Allah. Kenikmatan (ru’ya) dan pertemuan (al-liqa) dengan Tuhan merupakan kebahagiaan tertinggi. Tidak ada surga yang lebih nikmat dari pada memandang keindahan Ilahi. Kebahagiaan tertinggi atau kebahagiaan spiritual dijelaskan dalam hadits berikut:

Artinya: Telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Nashr. Telah menceritakan kepada kami Abu UsamahdariAl-A’masy. Telah menceritakan kepada kami Abu Shalih dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi SAW, Allah SWT berfirman: “Aku telah menyiapkan bagi hamba-hambaku yang shalih sesuatu yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga dan tidak pernah terlintas dibenak manusia.

“Sebagai simpanan, biarkan apa yang diperlihatkan Allah pada kalian.” Lalu beliau membaca ayat: “Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan (As-Sajdah:17). Abu Mu’awiyah berkata: dari Al-A’masydari Abu Shalih, Abu Hurairah membaca dengan lafazh ‘Qurraat A’yun.

Kebahagian tertinggi bagi manusia adalah mencapai apa yang diperoleh sama seperti Nabi, orang suci (para auliya’), ahli ma’rifah (arifah). Dan juga mereka yang paling jujur (shiddiqun), yang mendekatinya (muqarrabun), yang mencintainya (muhibbun) dan yang ikhlas (mukhlishun).

Tiap tingkat kebahagiaan dibagi lagi menjadi anak tingkat atau anak derajat kebahagiaan yang tak terbilang jumlahnya. Anak derajat terendah dari tingakat yang tertentu, bersinggungan dengan anak derajat tertinggi dari tingkat yang langsung dibawahnya.

Baca Juga  Penggunaan Kata untuk Menunjukan Waktu dalam Al-Qur'an

Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho