Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Pengaruh Perbedaan Qira’at dalam Q.S Al-Baqarah ayat 196 Studi Tematik Ayat Haji dan Umrah

Perbedaan Qiraat dalam penetapan hukum

Al-Qur’an merupakan suatu kitab yang memiliki jaminan sebagai petunjuk bagi manusia. Hakikat dari keimanan seorang muslim merupakan meyakini kontekstualitas dan validitas sempurna yang dimiliki oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena isi dan kandungan yang dimiliki oleh Al-Qur’an mengandung jawaban dari segala permasalahan dunia yang dihadapi oleh manusia. Untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi, perlu adanya bentuk penafsiran dalam mengambil kandungan dari Al-Qur’an.

Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an merupakan bentuk usaha untuk mencari jawaban dari permasalahan manusia baik itu bersifat pribadi maupun demi kemaslahatan bersama. Meskipun dalam menafsirkan isi dari kandungan Al-Qur’an tentunya memiliki corak tersendiri, sehingga memberikan warna yang khusus pada ayat-ayat tertentu. Untuk memudahkan penafsiran yang terkandung dalam Al-Qur’an memiliki corak penafsiran yang khusus, sehingga memudahkan mufassir untuk menafsirkan ayat yang bersifat khusus di dalam Al-Qur’an. Keragaman pola tafsir yang dihasilkan oleh para mufassir merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari dalam disiplin ilmu tafsir. Faktor yang melatarbelakangi perbedaan metode maupun hasil penafsiran para mufassir juga patut dipertimbangkan secara analitis. Perbedaan seperti tempat tinggal, kebahasaan, pola hidup masyarakat dan ragam pengetahuan yang dikuasai tentu akan mempengaruhi hasil penafsiran para mufassir.

Para ulama tafsir memiliki perhatian khusus dalam kepada bahasa Arab. Bahasa Arab merupakan bahasa Al-Qur’an, sehingga wajib bagi para mufassir untuk paham dan mengusai bahasa Arab dalam segi kaidah dan kebahasaan. Namun tantangan yang dihadapi adalah keragaman makna dalam bahasa Arab, sehingga menyebabkan keragaman cara pembacaan dan menukilkan arti yang ada di dalam Al-Qur’an. Penetapan makna dalam penafsiran Al-Qur’an merupakan bagian yang vital dalam mengkaji hukum agama. Ini berarti pengaruh corak penafsiran dan hasil penafsiran memungkinkan akan mempengaruhi penafsiran dari ayat-ayat hukum yang ada di dalam Al-Qur’an.

Baca Juga  Hukum LOA: Manusia Berkarya dalam Al-Qur'an

Proses lanjut dari memahami Al-Qur’an tidak terlepas dengan yang namanya qira’at. Qira’at yang dimaksud merupakan cara pembacaan Al-Qur’an. Islam memiliki berbagai macam qira’at untuk membantu membaca Al-Qur’an dari segala golongan masyarakat. Terdata bahwa terdapat empat belas qira’at yang ada di dalam Al-Qur’an. Namun, dalam segi kemasyhuran dan kualitas qira’at itu sendiri hanya tujuh qira’at yang diakui memiliki kesandaran sanad kepada Rasulullah Saw. Qira’at tujuh atau lebih dikenal dalam ranah keilmuan sebagai qira’at sab’ah.

Qiraat adalah bentuk jamak dari kata qiraah yang secara lughawi bermakna bacaan. Dari sudut istilah Al-Zarqani dalam kitabnya mengemukakan sebagai berikut :

  وفي الاصطلاح مذهب يذهب إليه إمام من أئمة القراء مخالفا به غيره في النطق بالقرآن الكريم مع اتفاق الروايات والطرق عنه سواء أكانت هذه المخالفة في نطق الحروف أم في نطق هيئا  

Artinya :  Suatu mazhab yang dipakai oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan imam qira’at lainnya dalam hal pelafalan (pengucapan) al-Quran al-Karim disertai adanya kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur sanad daripadanya, baik perbedaan ini dalam bentuk pelafalan (pengucapan) huruf-huruf ataupun dalam bentuk pelafalan (pengucapan) keadaan-keadaannya.

Paparan di atas setidaknya memperlihatkan bahwa (1) qira’at adalah cara mengucapkan lafaz-lafaz al-Qur’an; (2) pengucapan itu dicontohkan oleh Nabi berdasarkan riwayat yang valid; dan (3) qira’at tersebut ada yang memiliki satu versi saja dan terkadang ada yang memiliki beberapa versi qira’at.

Namun dalam fokus kajian literatur ini, akan membahas tentang pengaruh perbedaan qira’at dalam Q.S Al-Baqarah ayat 196, yang menyinggung tentang Haji dan Umrah, redaksi ayatnya sebagai berikut:

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Baca Juga  Sujud: Antara Ketundukan dan Kesyirikan Terhadap Allah

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.

Pada redaksi لْعُمْرَةَ maka terdapat dua pendapat bacaan, yakni

  1. Al-Shabi dan Abu Haywat membacanya dengan merofa’kan huruf “ta”
  2. Dan mayoritas para imam qira’at menashabkan huruf “ta”

Dengan begitu redaksi yang dari qira’at pertama dengan menashabkan “ta”, memberikan arti dalam ayat tersebut “Dan lengkapilah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah”, dan memberikan isyarat bahwa pada pelaksanaan Haji maka diwajibkan untuk melakukan umrah.

Sedangkan pada redaksi yang kedua yang merafa’kan huruf “ta”, maka memberikan redaksi hukum bahwa umrah itu tidak wajib, pada waktu pelaksanaan haji.

Jika kita melihat kandungan ayat tersebut, maka penjelasan diberikan oleh Imam Ali Ash-Sabuniy, bahwa Allah memerintahkan untuk melaksanakan haji dan umrah secara sempurna. Sekiranya orang yang ingin menunaikan haji dihalang oleh musuh daripada menyempurnakan ibadat tersebut, maka hendaklah mereka menyembelih binatang yang mudah didapati seperti lembu atau kambing serta dilarang daripada bercukur kepala sebelum binatang sembelihan korban sampai di tempat sembelihannya. Begitu juga, sekiranya ada antara mereka yang sakit atau terdapat kesakitan di kepalanya maka hendaklah dia membayar fidyah, iaitu sama ada berpuasa tiga hari, melakukan korban atau bersedekah kepada enam orang miskin dengan memberikan setiap seorang daripada mereka dengan kadar setengah gantang makanan. Kemudian sesiapa yang telah selesai menyempurnakan ibadat umrah dan memilih untuk menunaikan haji secara tamattu’ maka diwajibkan menyembelih kambing sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Namun sekiranya sukar didapati hendaklah dia berpuasa sebanyak sepuluh hari, iaitu tiga hari ketika ihram haji dan tujuh hari apabila pulang ke negerinya.

Baca Juga  Filosofi Mengerjakan Ibadah Haji di Tanah Suci

Dalam kitab Al-Qiratul Asyr al Mutawatiroh, mengemukakan pendapat ulama Maliki dan Hanafi mengemukakan bahwa Umrah adalah sunnah dan tidak wajib, sedangkan dalam fatwa Imam Syafi’i dan Hambali, bahwa pada waktu pelaksanaan Haji maka diwajibkan Umrah.