Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Pendekatan Fenomenologis dalam Kajian Orientalis Terhadap Al-Qur`an

Sumber: istockphoto.com

Pendekatan fenomenologi (phenomenal criticism/approach) dalam penelitian bidang kajian Islam dipahami sebagai sikap seorang peneliti untuk menempatkan sikap empati terhadap Islam dan umatnya (Sahrodi, 2008: 156). Pendekatan semacam ini tidak melacak asal usul sesuatu intuisi, tetapi mengidentifikasi struktur internalnya. Tokoh-tokoh yang memakai pendekatan fenomenologis dalam studi Al-Qur`an antara lain: Roest Crolius, Maurice Bucaille, Marcel A. Bouisard, dan lain-lain (Yusup, 2016: 56) menerangkan bahwa jenis perspektif atau teori yang dikemukakan oleh orientalis bergantung pada bagaimana mereka memandang objek Islam yang menjadi objek kajian mereka.

Perbedaan perspektif ini pada dasarnya merupakan perbedaan penafsiran tentang apa itu realitas, dan ilmu sosial, bagaimana kedudukan dan peran Islam dalam realitas itu. Dalam konteks ini, muncullah perspektif ilmu sosial, yang berada di antara ilmu alam dengan pendekatan ilmiah murni untuk menemukan hukum-hukum universal dan ilmu sosial untuk menelaah fenomena secara kasuistik atau mengkritisi suatu masalah. Para periode mutakhir, sejak tahun kedua abad ke-19, sarjana Barat menyadari kelemahan pendekatan yang digunakan dalam kajian Islam. Oleh karenanya mereka mulai mengalihkan perhatiannya pada pendekatan yang lain karena dianggap lebih obyektif ,yaitu pendekatan fenomenologi (Sahrodi, 2008: 156).  Munculnya pendekatan ini bermula karena adanya kajian keagamaan yang meliputi dua aspek; pertama, studi perbandingan agama (comparative religion religions), dan kedua, sejarah agama-agama (history of religions).

Tokoh-Tokoh Pengembang Pendekatan Fenomenologis

Aspek kajian fenomenologis ini dikembangkan oleh tokoh seperti Mircea Eliade, dan pendekatan ini mengandung dua ciri utama, sebagai berikut: Pertama, Epoche.  Pengkajian terhadap keyakinan agama-agama di dunia ini, sebagaimana disarankan oleh para ahli perbandingan agama, harus dilakukan dengan sikap empati. Artinya, pengkaji hendaknya tidak memiliki tendensi untuk membela keyakinan, ajaran dan doktrin agama tertentu, melainkan dengan cara membiarkan bagaimana keyakinan, doktrin dan ajaran agama itu dipahami oleh para pemeluknya. Sehingga, kewajiban peneliti atau pengkaji adalah sekadar memberikan elaborasi atau penjelasan terhadap apa saja yang dipahami oleh penganut agama itu sendiri.

Baca Juga  Model Analisis Tipologi Tafsir Johanna Pink

Analisis fenomena dapat dilakukan oleh pengkaji hanya menyangkut peran dan fungsi agama dalam pembentukan realitas sosial komunitas agama tertentu (Sahrodi, 2008: 157). Orientalis yang bernama Marcel A. Bouisard, ia tidak melihat sisi formal Al-Qur`an sebagai firman Allah Swt. Tetapi sisi substansinya Bouisard memandang Nabi Muhammad sebagai penyambung lidah wahyu abadi. Ia juga memandang Al-Qur`an berisi kebenaran universal dan bukan buatan manusia tetapi adalah wahyu Allah (Yusup, 2016: 56).

Begitupula dengan pendapat Maurice Bucaille, seorang orientalis ahli bedah. Maurice menunjukkan kekagumannya pada Al-Qur`an dan mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara Al-Qur`an dan fakta ilmiah. Ia juga sangat menentang teori darwin terkait evolusi manusia berasal dari seekor kera (Bucaille, 1976: 203-210). Kedua, Taxonomic Scheme of Religion.  Mengingat, setiap agama memiliki ajaran, doktrin, dan ritual yang khas dan berbeda antara agama yang satu dengan agama yang lain. Oleh karena itu, dalam pembahasan mengenai keyakinan agama-agama besar di dunia ini bukan pada aspek perbedaan-perbedaan yang ditonjolkan. Namun harus sebaliknya, yang selayaknya ditonjolkan adalah aspek persamaan-persamaan yang ada di dalamnya.

***

John L. Esposito, seorang sarjana Amerika yang pada mulanya benci terhadap apa saja yang berbau Islam dan Arab, kemudian menjadi bersikap empati. Hal tersebut karena ia mau belajar dan mencari tahu tentang bahasa Arab dan Islam maka muncullah dalam dirinya pengetahuan tentang Islam. Yang ditekankan pada kajian ini adalah bagaimana menumbuhkan sikap toleran, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai kebebasan yang bertanggung jawab. Nilai-nilai kesamaan dapat dijadikan sebagai modal untuk saling memahami ajaran agama-agama yang ada. Sehingga seorang orientalis tidaklah beralasan untuk bersikap sinis terhadap Islam, misalnya, karena perbedaan yang ada dengan agama yang diyakininya. Memang, diakui oleh para pakar perbandingan agama akan susahnya menyatukan ide-ide persamaan dalam pemahaman doktrin keagamaan.

Baca Juga  Otentisitas Hadis dalam Perspektif Orientalis

Di Eropa, misalnya, masalah utama adalah karena Eropa merupakan masyarakat sekuler yang masih mengakui agama. Namun, dalam realitas sosial, mereka memiliki perbedaan yang beragam dalam memaknai keberagamaan itu sendiri. Durkheim, sosiolog Eropa, memahami Tuhan sebagaimana memahami kehidupan sosial (Sahrodi, 2008: 158-159). Dasar dari pendapat Durkheim adalah agama merupakan perwujudan dari collective consciouness sekalipun selalu ada perwujudan-perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciousness kemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu hanyalah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat).

***

Dengan demikian, pendekatan fenomenologis ini para orientalis mulai sadar untuk mengkaji Islam secara obyektif. Sehingga kita tidak bisa mengklaim mentah-mentah semua tokoh orientalis membenci Islam dan hanya memberikan dampak negatif terhadap Al-Qur’an. Justru dengan adanya opini-opini tersebut menjadikan kita untuk lebih berpikir kritis yang pada akhirnya daripada hanya menerima kritik lebih baik menambah wawasan pengetahuan yang bermanfaat untuk diri sendiri.