Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Pendayagunaan Rasio Sebagai Jalan Memahami Al-Qur’an

Sumber: istockphoto.com

Iqra’ adalah perintah pertama sekaligus menjadi statement fundamental seorang Muslim untuk berpikir. Perintah membaca tidak hanya dimaknai secara sempit dan eksklusif dalam konteks membaca teks berisi narasi, melainkan perintah membaca dapat dimaknai lebih komprehensif dan inklusif yaitu membaca dalam arti melihat dan memahami teks dan konteks dengan akal rasio. Membaca sebagai amar bagi Muslim dan umumnya manusia untuk dapat membuka cakrawala melalui pengamatan alam semesta dengan segala kondisi di dalamnya untuk selanjutnya dipahami secara mendalam setiap segala sesuatu yang terdapat di alam semesta.

Allah memerintahkan melalui ayat ini untuk mendorong manusia dalam memberdayakan akal yang dikaruniakan kepadanya. Akal atau rasio yang menjadi potensi dasar manusia untuk mencapai derajat kearifan tertinggi, sepatutnya diberdayakan dengan optimal. Secara eksplisit, Allah menghendaki manusia untuk memberdayakan rasio secara saintifik dan ilmiah dalam menelaah segala hal yang berlangsung di bumi.

اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَقَ‌ۚ

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,” (Qs Al-‘Alaq: 1)

Tafsir Perintah Membaca Menurut Mufassirin

Dalam tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab, kata membaca adalah berarti kegiatan membaca yang tidak harus membutuhkan teks dan tidak pula harus terdengar oleh orang lain. Artinya, perintah membaca dalam ayat ini bermakna sangat luas. Sangat gamblang bahwa Allah menginginkan hamba-Nya untuk berpikir melalui akalnya sebagai sarana memahami kalamullah. Perintah membaca dalam surat Al-‘Alaq ayat 1 menunjukkan pesan pendidikan dan pengajaran dengan mengasah akal sebagai sarana memahami wahyu dengan baik.

Dalam tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, telah jelas penilaian yang tertinggi kepada kepandaian membaca dan menulis. Muḥammad ‘Abduh dalam tafsirnya Al-Manar “Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna daripada ayat ini di dalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bagiannya. Dengan itu mula dibuka segala wahyu yang akan turun di belakang.”

Baca Juga  Multiverse dalam Al-Quran: Antara Kecepatan Cahaya, Time Machine dan Relativitas

Redaksi senada dalam ayat lain seperti kalimat “afala tatafakkarun – afala ta’qilun – afala yanzhurun – afala yatadabbarun” dan redaksi sejenisnya menjadi kritisisasi peran manusia dalam menggunakan rasio. Allah menyindir habis-habisan orang-orang yang tidak memberdayakan akalnya untuk melihat / mengamati, menganalisis, menelaah, dan memahami segala sesuatu dalam hidupnya. Artinya, manusia diajak berpikir untuk menentukan perilaku yang akan diperbuatnya dengan modal rasio sehingga manusia senantiasa berhati-hati.

Kontekstualisasi Pendayagunaan Rasio Pada Era Modern

Apabila ditarik dalam konsep kekinian (kontemporer), manusia modern sering menemui kebuntuan dalam memaknai hidup. Manusia modern hidup dalam kekosongan esensi dan substansi, miskin esensi kehidupan, tidak menggali nilai kearifan hidup, dan tidak mengerti makna hidup yang sesungguhnya sehingga manusia hidup layaknya bola salju yang terus membesar dan mudah hancur ketika terbentur. Dengan kata lain, manusia hidup dalam kehampaan (nihilisme), hidup hanya sekedar hidup tanpa tau makna dan maksud tujuan hidup. Manusia modern sering gundah gulana, gelisa, khawatir, dan cemas karena akal yang ia punya sejatinya telah mati. Memiliki otak tapi tiada fungsi, ibarat kata manusia hidup tapi mati. Hanya sekedar hidup, tanpa perenungan yang berarti.

Stagnasi pemahaman yang mengandung nilai-nilai penghayatan terhadap wahyu ketuhanan menjadi problematika manusia modern. Teknologi modern tidak menjamin manusia menjadi lebih rasional daripada generasi sebelumnya. Etos intelektualitasnya cenderung menurun dikarenakan manusia modern mengantongi prinsip pragmatis. Hidup serba mudah malah menumpulkan rasionalitas yang idealnya kemudahan akses pengetahuan dapat mempertajam taraf intelektualitasnya namun malah justru sebaliknya.

Ditambah stigma yang beredar yang dipelopori dan dimotori oleh kaum konservatif yang berdalih menjaga kemurnian Islam justru menjadi aktor utama penghancur gairah keilmuan yang bersumber dari pendayagunaan rasio (akal). Penumpulan taraf intelektual ini berakibat fatal dengan menjamurnya kemandegan kreativitas dan inovasi umat Islam. Mereka lebih nyaman dengan hal dogmatis tanpa adanya nalar kritis. Padahal indikasi adanya kemajuan adalah hidupnya nalar kritis dengan orientasi kehidupan yang lebih baik.

Baca Juga  Tafsir Tematik (8): Menjadi Umat yang Berpikir

Pesan Kepada Peradaban

Jangan sampai romantisme masa silam tentang kegemilangan Islam menjebak umat Islam untuk berleha-leha yang perlahan mematikan rasionalitas. Coba ingat, bahwa keemasan Islam khususnya pada era Abbasiyah dicapai karena rasionalitas diberdayakan seoptimal mungkin. Barat yang kita anggap peradaban maju, mereka hanyalah mereduplikasi kebiasaan keilmuan peradaban Timur yang sarat akan rasionalitasnya. Ini hanya dapat dipahami oleh mereka yang menilik kembali masa lalu kemudian merefleksikannya serta mengamalkan tradisi murni umat Islam yaitu berpikir.

Sebagaimana Nabi Muhammad sebagai representasi keseimbangan antra spiritualitas (keyakinan), intelektualitas (ketajaman berpikir), dan emosional menghantarkan beliau menjadi insan kamil/manusia paripurna. Meskipun Nabi Muhammad adalah seorang yang tidak dapat membaca dan menulis untuk menghindari perdebatan bahwa Al-Qur’an adalah karangannya. Nabi Muhammad memiliki taraf intelektualitas dalam memahami Al-Qur’an dan menetapkan perkara berdasarkan hasil pengamatan dan telaah sesuai konteks sosio-kultural kemasyarakatan dengan tepat.

***

Benang merah yang dapat ditarik ialah bahwa intelektualitas yang berangkat dari pendayagunaan rasio berperan sangat penting dalam mencapai pengetahuan terhadap pesan-pesan Al-Qur’an. Intelektual (akal) berperan mengokohkan spiritual (dogma/keyakinan), sehingga terjadi hubungan kausal yang berujung pada kemantaban spiritual.

Bukan sebaliknya, spiritual seharusnya tidak mengkerdilkan dan membatasi intelektual karena sebab penyerahan diri secara fatal terhadap perilaku manusia dalam terwujudnya fakta tanpa adanya intervensi manusia. Tentunya pemikiran ini tidaklah tepat sebagaimana dapat dijumpai pada kaum fatalistik Jabariyyah yang keliru mengartikan. Bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia seperti kebaikan dan kejahatan adalah kehendak Allah. Padahal terdapat campur tangan manusia dalam terwujudnya segala perilaku baik dan buruk. Seorang Muslim hendaknya pandai dalam menakar dengan proporsional untuk menyadari bahwa peran spiritual dan intelektual adalah saling beriringan.

Baca Juga  Surat Al-Mukminun 12: Penciptaan Manusia dari Saripati Tanah

Editor: An-Najmi