Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Penafsiran Konservatif sebagai Faktor Kemunduran Pemikiran Islam

Konservatif
Sumber: https://tafsiralquran.id/

Kritik Terhadap Penafsiran Konservatif

Islam mengalami puncak peradaban pemikiran ketika Mu’tazili berhasil menempatkan para cendekiawannya di pos-pos penting di pemerintahan kala itu. Metode-metode yang kemudian digaungkannya pun beranjak menjadi angin segar terhadap kemajuan pemikiran islam. Namun belakangan menjadi sesuatu yang ugal-ugalan dan cenderung terlalu berani melakukan “gerakan tambahan” dalam pemikiran yang kemudian menjadi ideologi yang mengakar.

Pasca keruntuhannya, muncul gerakan-gerakan baru mencoba mengambil alih pemikiran-pemikiran yang sudah dibangun oleh cendekiawan-cendekiawan Mu’tazili. Puncaknya ketika terjadi perdebatan antara Abu Ali al-Juba’i dengan Abu Hasan Al-Asy’ari yang kemudian menjadi titik balik dari kemajuan Mu’tazili.

Pola-pola pemikiran Al-Asy’ari yang cenderung hati-hati membuat kajian-kajian agama menjadi sensitif. Hal ini berkaitan dengan Asy’ari sendiri yang merupakan penganut Syafi’iyyah yang lebih cenderung “main aman”. Pembahasan mengenai ini akan berlangsung sangat panjang, sebab di beberapa konteks akan menemukan kesamaan dan perbedaan antara keduanya. Namun jelas ini sangat berdampak di era pemikiran kontemporer.

Bagaimana tidak teologi yang sudah digagas oleh para pendahulu kemudian secara ekstrem ditafsirkan dengan seenaknya dan belakangan muncul oknum-oknum yang mengatasnamakan kemurnian agama serta menjadikan pemikirannya menjadi sesuatu yang sakral dan cenderung dianggap layaknya pemikiran Tuhan yang tidak boleh dikritisi.

Pandangan-pandangan demikian dianggap menjadi sesuatu yang harus dipertahankan. Namun menimbang zaman yang sudah berkembang pandangan-pandangan ini harus ditinggalkan. Hal itu berkaitan dengan bagaimana agama tidak lagi dipandang dari segi teologis saja. Bisa kita lihat bagaimana penganut-penganut yang mempertahankan kultur ini, para tokoh agama menjadi sangat kaya secara ekonomi, namun disisi lain para umatnya harus ikut dan tunduk akan sistem yang mengikat itu.

Kontekstualisasi yang digagas Saeed bisa menjadi sesuatu yang dapat memutus rantai itu. Bagaimana tidak semua orang bisa menjadi penafsir asalkan kriterianya terpenuhi, dan penafsirannya tidak hanya terpaku pada aspek teologis belaka, melainkan juga dari aspek sosio-ekonomis. 

Meninggalkan Penafsiran Konservatif

Hal ini akan sangat berdampak jika kita kaji dan teliti lebih jauh. Menimbang persoalan yang dihadapi lebih kepada aspek sosial-ekonomis. Perdebatan yang sifatnya teologis harus dikaji ulang agar lebih dinamis menjangkau semua lini. Konservatisme dalam agama menjadikan kajian-kajian agama lebih terhambat dan cenderung merosot tajam.

Baca Juga  Mengenal Tiga Tafsir Tematik Populer di Indonesia

Bukan tanpa alasan, jika kita amati fenomena-fenomena yang terjadi belakangan pasti selalu merujuk kepada sisi-sisi yang tidak terlalu penting untuk dibahas. Bukan menafikan sisi teologis melainkan pandangan ini berbahaya dalam islamisasi pengetahuan di era modern ini.

Lebih jauh pandangan konservatisme yang terlalu fokus kepada tekstual menyebabkan sempitnya pandangan-pandangan agama yang seharusnya lebih dinamis. Isu-isu yang digaungkan oleh kaum konservatif selalu memandang teks nash merupakan sesuatu yang final tanpa harus dipandang lebih jauh. Menurut penulis jelas ini menjadi “kebodohan” dalam berfikir

. Keberagaman yang terjadi di dunia khususnya di Indonesia ini menuntut umat Islam lebih dinamis dalam memandang persoalan, khususnya persoalan agama. Jelas paham-paham konservatif selayaknya harus ditinggalkan.

Paradigma Pemikiran Kontemporer: Antara Konservatif dan Progresif

Pemahaman konservatif bermula dari sebuah pemahaman yang terlalu tekstual dalam memandang nash. Pandangan-pandangan ini dinilai tidak relevan di era yang tingkat perubahanya begitu cepat. Jelas ini sangat berpengaruh dalam tindakan umat islam dalam menghadapi zaman. Banyak teks-teks al-Qur’an yang tidak menjelaskan secara spesifik terkait persoalan yang ada di zaman ini. Sehingga diperlukan formula baru dalam memandang nash, selain mengamankan posisi islam agar tidak tertinggal, juga untuk menegaskan al-Qur’an sebagai kitab suci yang relevan hingga sirna alam semesta.

Tajdid pemikiran sejatinya sudah ada sejak beberapa abad lalu. Banyak tokoh yang sudah membuat wacana keilmuan islam yang lebih segar, dari Abduh hingga tokoh-tokoh Muhammadiyyah seperti Kuntowijoyo. Membahas terkait tajdid pemikiran, terutama terkait penafsiran agama. Agaknya kurang sedap jika tidak melibatkan pemikiran tokoh progresif.

Kontekstualisasi erat kaitannya dengan seorang pemikir progresif yang bernama Abdullah Saeed. Diketahui Abdullah Saeed ini sangat terinspirasi dari pemikiran Fazlur Rahman, terutama konsep double movement yang dianggap sebagai salah satu teori revolusioner dalam penafsiran. Berangkat dari hal itu kemudian Saeed mengemukakan metode kontekstualisasi dengan Al-Qur’an sebagai pusatnya yakni dengan mengelaborasi makna al-Qur’an. Hal ini sangat mendasar mengingat Al-Qur’an merupakan sumber pertama dalam hukum islam.

Baca Juga  Kajian Kitab: Mengenal Lima Kaidah Tafsir Al-Sa’di

Paradigma pemikiran Saeed bermuara pada pandangan tentang wahyu yang meliputi konsep tentang wahyu, ethico legal teks dan hirarki nilai teks Al-Qur’an. Mengenai konsep wahyu penting untuk dipahami bahwa Saeed sendiri menyakini jikalau Al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an juga bersifat otentik atau tidak mengalami perubahan hingga saat ini. Tapi tidak seperti  muslim tradisional/konservatif, Saeed melihat adanya keterlibatan Nabi dan Komunitas masa itu dalam proses pewahyuan.

***

Saeed menyatakan ada dua madzhab teologis terkait dengan status al-Qur’an. Asy’ari berkeyakinan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah yang bersifat verbatim. Sedangkan Mu’tazili berpandangan bahwa tidak ada entitas yang bersifat eternal kecuali Tuhan itu sendiri, oleh sebab itu al-Qur’an dianggap sebagai sesuatu yang tercipta/diciptakan. Dalam hal ini Saeed mencoba untuk merekonsiliasi dua pandangan tersebut. Menurutnya, dua aliran teologis ini sesungguhnya memiliki perbedaan yang sangat tipis tentang status al-Qur’an.

Saeed mengungkapkan Asy’ari dan Mu’tazili bersepakat terkait tingkatan eksistensi dari al-Qur’an. Asy’ari berpandangan bahwa spirit dan makna Al-Qur’an adalah sesuatu yang tidak tercipta, namun keduanya sepakat bahwa bahasa, ucapan, huruf dan tulisan merupakan ciptaan. Penulis melihat percobaan rekonsilisi Saeed terkait dua madzhab ini sangatlah ambigu sekali, namun pandangan ini sangat luar biasa mengingat konfrontasi hebat diantara dua madzhab ini.

Kontekstualisasi sebagai Alternatif

Kontekstualisasi secara umum berarti bagaimana menghubungkan hukum islam dalam dimensi bentuk, simbol, bahasa dan budaya. Permasalahan ini biasanya terjadi karena ketidak sesuaian atau pergeseran budaya maupun situasi politis. Belakangan sikap-sikap ini banyak dikritisi oleh ahli tafsir tradisional. Ha ini tidak terlepas dari pengaruh kultur dalam memandang peran penting sikap ber-madzhab.

Secara umum pandangan-pandangan ini harus diterapkan secara masif, memandang banykanya persoalan-persoalan terkait hukum agama yang harus diselesaikan. Kajian terkait Maqasid al-Syariah harus kembali di gulirkan dengan masif oleh para cendekiawan muslim. Ini berkaitan dengan tantangan zaman yang semakin kompleks. Seiiring dengan perkembangan zaman, asas kaidah syar’i pun harus semakin berkembang. Sebab jika hal ini dibiarkan jelas akan membuat islam semakin jauh tertinggal.

Baca Juga  Difabel dalam Al-Quran: Tidak Untuk Dimarginalkan!

Abdullah Saedd sebagai seorang Rahmanian (penggemar Fajrur Rahman) melihat ini sebagai sesuatu yang menggelisahkan, sehingga dia mencoba untuk mengembangkan gagasan double movement dari Rahman. Penulis melihat kontekstualisasi yang dikembangkan oleh Saeed ini sebagai bentuk contiunity dari double movement. Bagaimana nash tidak ditafsirkan dengan tektual, melainkan dilihat dari berbagai sisi terlebih dahulu.

Kritik seperti ini seringkali disampaikan oleh Saeed menimbang bagaimana nash dirujuk secara ugal-ugalan dengan tekstual oleh kaum-kaum tradisionalis konservatif. Ini yang harus dirubah agar nash dapat tetap berpengaruh dalam memandang permasalahan-permasalahan kedepan yang notabene lebih bersinggungan dengan zaman. 

Berangkat dari kegelisaan tersebut, Saeed kemudian merekonstruksi bangunan model tafsir yang menurutnya lebih ramah terhadap konteks. Ini terlihat ketika Saeed merumuskan landasan-landasan teoritis, metodologis maupun epistimologis dan aksiologisnya. Metodologi itu diperkuat dengan pemaknaan nash dari sisi historis-sosialisnya.

Lebih lanjut kontekstualisasi dari Saeed kemudin berkembang menjadi metode penafsiran yang mutakhir sebagai alternatif dari penafsiran berbasis tekstual yang memang seharusnya sudah ditinggalkan.

Hasil Pemikiran

Abdullah Saeed membuka khazanah keislaman yang lebih “merakyat”. Dalam kajianya Saeed mencoba untuk mendobrak nepotisme-nepotisme dalam agama khususnya dunia penafsiran. Hal ini terungkap maraknya tokoh-tokoh islam konservatif yang terlalu sempit dalam memandang al-Qur’an. Pemikiranya menjadi angin segar.

Praktik-praktik teologis yang terlalu terikat nash menjadi kebingungan tersendiri dalam menentukan pandangan kedepan. Kaidah al-muhafadzatu ‘ala qadim as-shalih wal akhdzu bil jadid al-aslah belakangan menjadi sesuatu yang penting untuk diterapkan. Dengan menggabungkan dengan pemahaman dari ilmu-ilmu modern, penafsiran akan menemukan sensasi tersendiri dan jelas akan lebih segar dalam pemikiran modern.

Paradigma konservatif bukan hanya berbahaya, namun juga rentan akan kepentingan-kepentingan politis yang menguntungkan individu maupun kelompoknya. Kajian agama pun hanya akan dipandang dari sisi teologis saja, dengan hadirnya paradigma progresif, wacana keilmuan islam akan jadi berkembang tanpa takut akan “ancaman” dogma-dogma yang mengikat.

Penyunting: Bukhari

Moh. Amirullah
Aktivis IMM Yogyakarta. Seorang pengkaji dan pegiat bahasa dan sastra Arab. Juga telah menerjemahkan beberapa buku.