Dalam perspektif kebahasaan, tauhid hakimiyah diambil dari dua kata; “tauhid” dan “hakimiyyah”. Secara bahasa, tauhid berarti meyakini sesuatu yang bersifat tunggal (al-hukm bi anna al sya’i wahid). Dalam penggunaan yang cukup populer di kalangan teolog, tauhid berarti meyakini sifat ketuhanan, mengekaui ke-esa-anNya dan menafikan ada yang bersaing dan sejajar dengan Allah.
Sedangkan tauhid hakimiyyah merupakan konsentrasi khusus dari tiga konsepsi tauhid seperti uluhiyyah, rububiyyah dan asma wa as sifat. Akan tetapi tauhid hakimiyyah ini bagi sebagian kaum tekstualis dipandang sebagai cikal bakalnya para teroris. Mereka menjadikannya alasan untuk berjihad dengan cara yang salah.
Penafsiran Ibnu ‘Asyur
Padahal sebenarnya jika kita menafsirkan dan memahami ayat-ayat yang menjadi dasar tauhid hakimiyyah itu, sama sekali tidak ada hubungannya dengan sistem pemerintahan suatu negara. Di sini penulis kembali merujuk kepada penafsiran Ibnu ‘Asyur, seorang mufasir asal Tunisia yang memang kehidupannya kental dengan pergolakan politik di negaranya. Berikut lanjutan penafsiran terhadap delapan ayat yang sering dijadikan dasar landasan tauhid hakimiyyah.
Ketiga, Keputusannya (Hukum) Terserah kepada Allah (QS. 42:10)
Dalam surah asy-Syura redaksi yang berbunyi wa ma ikhtalaftum fihi min syai’in fa hukmuhu ila allah (dan apapun yang kamu perselisihkan padanya tentang sesuatu, keputusannya (terserah kepada Allah). Ayat ini jika dikaji lebih dalam, sebenarnya terjadi ketika ada perselisihan antara umat Islam dan kaum Musyrikin.
Menurut Ibnu ‘Asyur melalui tafsirnya bahwa hukum dalam ayat ini bukan dimaknai dengan hukum dunia, melainkan sebaliknya. Yakni keputusan Allah pada hari kiamat bahwa umat yang memiliki iman yang selalu dijalan benar akan mendapatkan ganjaran berupa pahala dan kaum musyrikin yang selalu melakukan dosa dan selalu di jalan sesat akan mendapatkan siksa,
Dalam pengertian yang lebih jelas, surah Asy-Syura ayat 10 ini bermakna tentang penundaaan keputusan hukum hingga hari kiamat kelak. Waktu Allah memberikan segala keputusannya (wa ma ikhtalaftum fihi min syai’in fa hukmuhu ila allah). Di sini, Ibn ‘Asyur menyatakan bahwa penyerahan hukum kepada Allah hanya terjadi pada akhirat kelak, lebih tepatnya hari penimbangan dan pembalasan.
Di mana semua yang kita lakukan akan diminta pertanggung jawaban selama di dunia, dan semuanya akan dijatuhi hukuman oleh Allah melalui keputusannya berdasarkan apa yang kita kerjakan selama di dunia. Dengan demikian Ibnu ‘Asyur tidak berbicara tentang penerapan hukum syari’at untuk dilakukan oleh pemerintahan dalam suatu negara.
Keempat, Hukum Milik Allah Yang Maha Tinggi (QS. 40:12)
Dalam surah Gafir ayat ke-12, Allah berfirman yang artinya,” Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya kamu mengingkari apabila diseru untuk menyembah Allah saja. Dan jika Allah dipersekutukan, kamu percaya. Maka keputusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha Tinggi, Maha Besar.” Ibnu ‘Asyur menafsirkan kata ” لْحُكْمُ” berfungsi lil jinsi (berlaku umum kepada segala hal yang tergolong hukum atau keputusan).
Dengan kata lain, keputusan yang umum adalah keputusan untuk seluruh makhluk yang di alam semesta. Menurut Ibnu ‘Asyur, Allah memberikan keputusan kepada para manusia pada hari kiamat. Beliau tidak memaknainya dengan hukum sebagai keputusan di dunia untuk menyelesaikan problem-problem sosial. Ini membantah asumsi yang menyatakan bahwa hukum dalam ayat ini berarti ayat-ayat al-Qur’an yang harus diposisikan sebagai sumber rujukan hukum disuatu negara.
Kelima, Hukum Hanya Milik Allah, Kepadanya Kalian Kembali ( QS. 28:88)
Dalam Qs al-Qasas ayat 88 Allah SWT berfirman yang artinya, “Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa,kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan).”
Pada ayat ini Ibnu ‘Asyur memahami ayat tersebut ke dalam konteks kritik terhadap perbuatan kemusyrikan. Kemudian memperlihatkan kesalahan keyakinan kaum musyrikin di mana mereka mengakui ketuhanan Allah. Namun pada saat bersamaan, mereka juga mengakui Tuhan yang lain. Kata al-hukm dalam ayat 88 tersebut bermakna keputusan yang paling sempurna dalam arti lain tidak akan ada yang dapat menolaknya (al-hukm al-atamm alladzi la yarudduhu radd) (‘Ashur, juz 20, h. 196).
Keenam, Ketentuan Hanya Milik Allah (QS. 28:70)
Masih di dalam surah al-Qasas ayat 70, dalam ayat tersebut Allah berfirman yang artinya: Bagi-Nya segala pujian di dunia dan akhirat. Hanya milik-Nya, ketentuan. Dan hanya kepada-Nya, kalian dikembalikan). Ibnu ‘Asyur mengatakan al-hukm al-qadha’ wa huwa ta’yin naf ’in au dhurrin li al-ghair yang berarti hukum adalah keputusan menentukan memberi manfaat atau menimpakan bahaya pada pihak lain.
Dari pernyataan tersebut Ibnu ‘Asyur tampaknya membantah klaim dari kaum musyrikin yang menganggap bahwa tuhan-tuhan mereka memiliki kekuatan yang dapat menciptakan. Serta membantah keyakinan mereka bahwa tuhan-tuhan mereka pun dapat memberi pertolongan di sisi Allah. Dalam arti yang lain ada tuhan selain Allah.
Di sini kita dapati suatu kesimpulan juga bahwa Ibnu ‘Asyur dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat yang dijadikan dasar sebagai “tauhid hakimiyah” Tidak memahami ayat tersebut dalam konteks hukum untuk mengatur kehidupan bernegara. Namun lebih merujuk kepada kekuatan ketuhanan untuk menciptakan dan mengatur alam semesta.
Ketujuh, Apakah Kalian Mencari Hukum Jahiliyyah (QS. 5: 50)
Ini merupakan ayat yang sering dijadikan para penyeru khilafah sebagai landasan mereka. Dalam ayat ini Allah berfirman yang artinya, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”. Kalau kita pahami secara tekstualis, ayat tersebut seolah-olah bermakna bahwa hukum yang dibuat manusia merupakan hukum yang jahil. Yang tidak bisa dijadikan suatu hukum mutlak dalam suatu negara.
Namun di sini Ibnu ‘Asyur tampak terlihat lebih logis dalam hal penafsirannya. Yakni ketika ia mulai menggabungkan dengan keadaan pada masa ayat itu turun. Menurut Ibnu ‘Asyur konsep “حُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ” (hukum Jahiliyyah) adalah merupakan suatu hukuman yang digunakan antara suku-suku Yahudi. Umumnya mereka yang berasal dari hukuman penduduk Yastrib. Yang mana penduduk Yastrib tergolong bangsa yang jahil. Dan dalam waktu yang bersamaan, Bani Nadhir salah satu suku Yahudi-Arab mereka tidak menerima disamakan dengan suku Quraizhah dan mereka tidak menerima peraturan yang berasal dari bangsa Yastrib yang tidak punya kitab suci.
Agaknya, di sini Ibnu ‘Asyur kembali memaknai “jahiliyyah” sebagai kondisi masyarakat Yastrib kala itu. Masyarakat yang tidak memegang kitab suci (ahl al-kitab). Dengan kata lain, bentuk hukuman yang berasal dari tradisi bangsa Arab penyembah berhala disebut “hukum jahiliyyah”. Dan sedangkan hukuman yang terdapat dalam kitab suci disebut “hukum Allah”. Lagi-lagi Ibnu ‘Asyur menafsirkan hukum merupakan bentuk sanksi bukan kitab suci yang diposisikan sebagai undang-undang.
Kedelapan, Patutkah Mencari Hakim Selain Allah (QS. 6:114)
Allah berfirman, “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Alquran) kepadamu dengan terperinci?)”. Ibnu ‘Asyur kembali mengambil kondisi pada saat ayat tersebut turun. Mana kala ketika kaum musyrikin meminta kebenaran dari ajaran yang didakwahkan Nabi Muhammad SAW.
Kemudian ayat itu turun sebagai jawaban pertanyaan tersebut, dan menyatakan bahwa Allah sebagai pemberu keputusan (hakam) akan kebenaran dari ajaran yang beliau dakwahkan. Dapat dipahami bahwa ayat tersebut sebagai keputusan Allah di akhirat, bukan di dunia.
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply