Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Penafsiran Ibnu ‘Asyur (1): Penafsiran Ayat-Ayat Tauhid Hakimiyah

Ibnu 'Asyur

Mungkin banyak dari kita yang belum mendengar konsep “tauhid hakimiyah”. Biasanya yang sering kita dengar dalam pelajaran akidah semasa di tingkat tsanawiyah maupun aliyah, tauhid itu memiliki pengertian yang spesifik. Tauhid berarti meyakini tiga konsepsi pokok dalam Islam; rububiyyah, uluhiyyah dan asma’ wa sifat. Rububiyyah berarti meyakini bahwa hanya Allah pencipta dan pengatur semesta. Uluhiyyah berarti kita harus meyakini bahwa hanya Allah lah tempat kita menyembah. Dan asma’ wa sifat berarti percaya bahwa hanya Allah yang memiliki sifat maha sempurna.

Dari ketiga konsep itu muncul konsep turunan yang disebut dengan tauhid hakimiyah. Yaitu keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak membuat peraturan dan yang berhak diikuti peraturannya. Dalam konteks doktrin salafisme, mereka dengan keras menolak tauhid hakimiyah dengan dalih bahwa tauhid hakimiyah sudah termaktub didalam tauhid uluhiyyah maupun rububiyyah.

Ada salah satu ustadz yang memiliki paham salafi mengatakan bahwa tauhid hakimiyah ini menjadikan orang-orang membenci pemerintah. Padahal di sisi lain ia juga pernah mengatakan bahwa sistem pemerintahan demokrasi merupakan sistem orang kafir dan mereka menolaknya walaupun secara tidak langsung.

Itu merupakan salah satu kelabilan pemahaman kaum  yang terlalu tekstualis. Karena jika kita pahami secara benar makna ayat-ayat yang dijadikan dasar tauhid hakimiyyah ini sebenarnya tidak akan membuat kita melenceng hingga membenci pemerintah dan menjadi cikal bakal teroris.

Di sini penulis membawa suatu penafsiran dari Ibnu Asyur yang memang, memiliki metode penafsiran dengan pendekatan bahasa yang kuat. Sebelum kita melihat bagaimana penafsiran beliau tentang ayat-ayat yang dijadikan oleh sebagian orang sebagai landasan tauhid hakimiyah, ada baiknya kita mengenal siapa itu ibnu Asyur.

Baca Juga  Percayakan Semuanya pada ATM Allah: Interpretasi QS. Yasin 82

Biografi Ibnu Asyur

Ibnu ‘Asyur memiliki nama lengkap Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur. Beliau lahir di Tunisia pada awal abad ke-14 M. Informasi yang penulis dapatkan dari latar belakang keluarganya cukup minim. Hanya ada secercah informasi yang menyoroti bahwa dalam diri beliau masih mengalir darah seorang ulama besar di Tunisia tempo dulu (Ghofur, h. 127).

Beliau seorang ahli tafsir berkebangsaan Tunisia. Lahir dari keluarga yang mempunyai akar kuat dalam ilmu dan nasabnya. ibn ‘Asyur sejak kecil sudah memperlajari ilmu bahasa Arab, ilmu al-Qur’an, tajwid, dan Qiraat.

Pada zamannya, Tunisia mengalami berbagai problematika kebisingan politik. Hingga hal itu membuat ibnu ‘Asyur gerah. Ia bahkan meninggalkan profesinya sebagai syaikh besar Tunisia sekaligus pernah menjabat sebagai hakim dan mufti.

Ia tidak enggan untuk terlibat kembali dengan pergulatan politik yang ada. Setiap jamnya diisi dengan menulis dan membaca. Dari situ juga keinginan dari Ibnu Asyur untuk membuat suatu kitab tafsir yang komprehensif untuk kemaslahatan dunia dan agama. Sehingga terciptalah suatu karya tafsir karya ibnu ‘Asyur yang berjudul al-Ma’ana al-sadidi wa Tanwir al-Aqli al-Jadid min Tafsir al-Kitab al-Majid. Diringkas menjadi al-Tahrir wa al-Tanwir minal Tafsir.

Penafsiran Ibnu ‘Asyur Terhadap Ayat-Ayat Dasar Tauhid Hakimiyah

Ada setidaknya depalan buah ayat yang sering dijadikan dasar dari tauhid hakimiyyah. Di antaranya ialah:

Pertama, hukum hanya milik Allah, jangalah menyembah kecuali hanya kepad Allah. (QS. 12:40)

Dalam menafsirkan surah Yusuf ayat 40 ini, redaksi yang berbunyi ialah in al-hukm illa lillah amara an la ta’budu illa iyyah (hukum hanya milik Allah). Dia memerintahkan agar kalian tidak  menyembah kecuali kepada-Nya. Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa kata al-hukm bermakna tasharruf (kuasa menciptakan). Hal itu kalau kita memperhatikan konteks ayat sebelumnya. Ibnu ‘Asyur mengaitkan dengan ayat sebelumnya yang berbicara tentang keyakinan kaum musyrikin yang mempercayai berhala-berhala sesembahan mereka dapat memberikan manfaat untuk diri mereka.

Baca Juga  Tujuan Hidup Manusia Menurut Al-Quran

Surah Yusuf ayat 40 tersebut merupakan bentuk negasi terhadap keyakinan kaum musyrikin. (Ibthal li jami’ al-tasharrufat al-maz’umah li alihatihim bi annaha la hukma laha fima za’amu annahu min hukmiha wa tasharrufiha). (Ashur, jilid 12, h. 277). Ungkapan tersebut menunjukkan setidaknya bahwa Ibnu ‘Asyur memahami hukum secara teologi. Diksi “hukum” dalam Qs. 12:40 itu menurut perpektif Ibn ‘Asyur bukan diartikan sebagai peraturan perundang-undangan melainkan Tasharruf.

Kedua, sesungguhnya hukum hanyalah Milik Allah, kepada Allah aku bertawakkal (Qs. 12:64)

Pola penafsiran senada ditemukan pada Qs 12: 64 ini. Inna al hukm illa lillah ‘alaihi tawakkaltu yang artinya (Hukum hanya milik Allah, hanya kepada-Nya ku berserah diri). Di sini yang menjadi topik menarik adalah, di mana ‘Asyur mengartikan ayat tersebut dengan kuasa yang mencipta dan menentukan. Maksud hukum hanya milik Allah adalah terbatas pada perkara yang dikehendaki Allah saja yang akan terwujud. Dalam kata lain, hukum bukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara. Redaksi in al hukm illa lillah bermakna kuasa dan takdir Allah yang berlaku untuk semua makhluknya.

Bersambung

Penyunting: M. Bukhari Muslim