Harus diakui, media sosial telah memberi peluang yang cukup besar bagi lahirnya tindakan-tindakan yang destruktif atau merusak. Jika sebelumnya kita sempat menyinggung ihwal matinya kepakaran, maka kali ini hal lain yang akan dibahas adalah soal pembunuhan karakter. Membunuh karakter orang di media sosial seolah telah menjadi pemandangan yang biasa dan lumrah.
Bagaimana kita mesti merespon hal ini? Apa yang membuat orang demikian gampangnya melemparkan serangan-serangan yang bersifat personal bahkan bertendensi fitnah kepada sosok atau kelompok tertentu? Mungkin kita bisa memberikan banyak jawaban. Kita bisa mengatakan hal tersebut terjadi karena adanya persaingan, ambisi, dan sifat hasad. Namun, melampaui itu semua, kita harus menyentakkan kesadaran umat akan bahaya laten sikap nista satu ini.
Kini, sebagaimana menjadi pengetahuan bersama, pembunuhan terhadap karakter seseorang atau kelompok tidak hanya terjadi dalam politik. Tapi juga dalam keagamaan, bisnis atau hal-hal yang sifatnya kompetitif. Dalam politik, seseorang tidak segan ‘menggebuk’ lawan politiknya dengan berita-berita atau komentar-komentar bernada miring.
Sikap tak terpuji ini seolah telah menjadi hal biasa dalam politik. Ujaran kebencian, menjatuhkan pihak yang berbeda pandangan politik, dan membuka aib seseorang seakan menjadi keniscayaan pada kontestasi-kontestasi politik, baik Pemilu, Pilkada, Pileg dan yang paling kecil, Pilkades.
Padahal, jika kita tak berhati-hati, tindakan yang demikian akan memberi dampak yang sangat besar bagi masa depan atau citra seseorang. Hanya saja sebagian dari kita tidak sempat memikirkan ini karena lebih terfokus pada ambisi politik yang telah membabi buta.
Buzzer dan Fenomena Pembunuhan Karakter
Buzzer, sebagai kelompok yang lahir dari rahim media sosial, telah menjalankan kerja-kerja buruk itu dengan baik. Bersembunyi di balik identitas tak dikenal (anonim), ia bisa dengan leluasa berselancar di dunia maya dan melayangkan komentar-komentar jahatnya pada sosok yang hendak dimatikan karakternya.
Bahkan tak jarang, sebagaimana disinyalir beberapa pengamat, pemerintah turut memanfaatkan kelompok ini. Dalam banyak kasus, buzzer sering digunakan untuk menghalau serangan-serangan atau kritik-kritik yang dilayangkan terhadap pemerintah. Jadi, bukannya membalas dengan jawaban, yang dilakukan adalah membunuh karakter para pengeritik. Dan ini cukup banyak menimpa tokoh-tokoh kita.
Tidak sedikit tokoh-tokoh yang melemparkan kritik dengan tulus pada pemerintah, akhirnya menjadi buruk di mata masyarakat. Semua itu berkat kerja buzzer. Apalagi dengan kondisi masyarakat kita yang gampang tersulut emosinya. Mereka tak mempunyai filter atas informasi atau komentar-komentar yang beredar di jagat media sosial. Mereka mengira semakin banyak orang yang mengiyakan sesuatu, semakin benar suatu informasi. Padahal tidak selalu demikian. Apalagi dengan munculnya fenomena buzzer.
Begitupun dalam masalah keagamaan. Sering kali ketika terjadi perbedaan pandangan, yang berkembang bukanlah diskusi yang sehat. Melainkan serangan-serangan personal yang berniat membunuh karakter seseorang. Tradisi ini tentu amat buruk bagi perkembangan wacana keagamaan kita. Kebiasaan mencela pemikiran yang baru dan berbeda akan menghambat laju pengetahuan kita.
Tidak berbeda dalam dunia bisnis. Seseorang terkadang tidak segan membayar mahal untuk menyingkirkan pesaingnya. Ia tahu cara yang paling jitu untuk mematikan karir seseorang, yakni dengan mematikan karakternya. Sekali saja orang banyak percaya dengan informasi negatif yang disampaikan, maka habislah riwawat pesaingnya. Reputasi hancur dan kepercayaan rekan-rekan bisnis akan semakin menurun dan bahkan bisa hilang.
Kritik Al-Qur’an
Al-Qur’an, sebagai salah satu kitab moral, sangat mencela dan mengutuk keras pembunuhan karakter. Ia bahkan menyebutnya sebagai tindakan yang jauh lebih berbahaya dari membunuh secara fisik. Dalam Al-Qur’an membunuh orang secara fisik digambarkan kejahatan yang sangat besar. Sebab setara dengan membunuh seluruh manusia di muka bumi (5:32).
Namun ternyata kejahatan besar itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dosa dan dampak yang dihasilkan oleh tindakan membunuh karakter atau yang dalam istilah Al-Qur’an disebut dengan fitnah (2: 217). Menyebar fitnah dilukiskan sebagai tindakan yang lebih kejam dari pembunuhan (al-fitnatu akbaru min al-qatl).
Penggambaran itu sangat wajar. Sebab, meminjam Nasaruddin Umar, jika dalam membunuh secara fisik hanya akan membuat seseorang mati sekali, maka dalam pembunuhan karakter seseorang bisa mati berkali-kali. Bahkan tak hanya itu, anak, istri dan keluarga juga bisa mendapatkan imbasnya. Entah menjadi dibenci masyarakat sekitar, kesulitan mendapatkan kerja dan terhambat dalam pertemanan, khususnya oleh anak.
Tradisi membunuh karakter orang ini harus dihentikan. Kita tak bisa terus-terusan menganggap bahwa menyerang personal seseorang adalah hal yang niscaya dalam persaingan. Kita tentu tak ingin laporan yang pernah dikeluarkan oleh Microsoft dalam DCI (Digital Civility Index) yang menyebut masyarakat Indonesia sebagai masyarakat paling tidak sopan di Asia terus bertahan.
Sebagai negara yang sangat menjunjung tinggi nilai agama dan tata krama, kita harusnya tidak sulit untuk menghapuskan karakter buruk dan nista ini. Kita hanya perlu kembali pada karakter bangsa kita yang asli, ramah dan penuh sopan santun. Bertenggang rasa, bertoleransi dan sikap saling menghormati satu sama lain harus diaktivasi dan dihidupkan kembali. Sebab itulah modal paling utama yang dapat membuat kita terbiasa menerima dan menghargai mereka yang berbeda dan bersaing secara sehat.
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply