Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Pemaknaan Ayat Cahaya (2): Mengapa Allah Disebut Cahaya?

Allah cahaya
Gambar: materi.co.id

Allah Sebagai Cahaya

Allah (adalah) nūr langit dan bumi. Para mufasir berselisih pendapat tentang makna dan maksudnya. Sedikitnya ada sepuluh pendapat: 1) Allah adalah Pemberi hidayah (hādī) langit dan bumi, 2) Allah adalah Pengatur (mudabbir) langit dan bumi, 3) Allah adalah Penerang (munawwir) langit dan bumi, 4) Allah adalah Cahaya asal (dhiyā’) langit dan bumi, 5) Allah adalah Pemilik cahaya (dzū nūr) langit dan bumi, 6) Allah adalah Pencipta (khāliq) cahaya yang ada di langit dan bumi, 7) Allah adalah Penampak (muzhahhir) langit dan bumi, 8) Allah adalah Sumber (mashdar) cahaya langit dan bumi,9) Allah adalah Penata (qāyyim) langit dan bumi, dan 10) Allah adalah Cahaya (nūr) langit dan bumi, tetapi bukan seperti cahaya yang dikenal. Beberapa pemaknaan terlihat selaras (sehingga para mufasir kadang menyepakati dua atau tiga pendapat), meski memiliki argumentasinya masing-masing.

Dalam beberapa riwayat seperti dari Zaid bin Ali, Abu Ja‘far, dan ‘Abd al-‘Aziz Makki, kata ((نور )) tidak dibaca “nūr” tetapi “nawwara” (menerangi). Hal ini turut menyebabkan perbedaan pemahaman seperti yang telah disebut.

Ayat ini sering dijadikan dalil untuk asma Allah, Al-Nūr (Cahaya). Namun, tentu antara pernyataan “Allāh huwa al-Nūr” dan “Allāh nūr al-samawāt wa al-ardh” perlu sedikit dibedakan. Yang dimaksud oleh ayat di muka adalah cahaya sebagai metafor.

Beberapa mufasir semisal Thabathaba’i, mengingatkan bahwa Allah bukan (berwujud) cahaya. Nūr dalam ayat ini tidak menunjukkan bahwa Allah berwujud cahaya, melainkan cahaya itu adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada-Nya. Kata nūruhu dan li nūrihi pada ayat ini mendukung pernyataan itu.

Perbedaan Cahaya Alam dan Cahaya Tuhan

Sebenarnya, cahaya alam berbeda dengan cahaya Tuhan. Perihal ini, Abdullah Yusuf Ali memberi catatan, cahaya alam tak lain merupakan pantulan Cahaya yang sebenarnya dalam alam kenyataan, dan Cahaya yang sebenarnya itu adalah Tuhan. Kita hanya dapat berpikir tentang Tuhan dengan bahasa pengalaman fenomena kita, dan dalam dunia fenomena, cahaya adalah sesuatu yang paling murni, paling lembut yang pernah kita ketahui. Tetapi cahaya alam memiliki kekurangan: 1) ia tergantung pada sumber dari luar, 2) ia adalah suatu gejala sepintas; kalau kita mengambilnya sebagai bentuk gerakan atau energi ia tidak stabil; seperti gejala alam lainnya, 3) ia tergantung pada ruang dan waktu, dengan kecepatan 186.000 mil perdetik. Cahaya Tuhan yang sempurna bebas dari cacat seperti itu.

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 105: Tidak Suka Kebaikan

Beberapa Alasan Mengapa Allah Menggunakan Metafor Cahaya untuk Diri-Nya

Tetapi, mengapa Allah menyebut atau memetaforkan diri-Nya dengan cahaya. Beberapa ulama peduli dengan pertanyaan ini. ‘Abd al-Karim al-Khatib dalam al-Tafsir al-Qur’ani menyatakan karena cahaya merupakan sesuatu yang lembut, tidak berjasad selamanya, paling cepat tampak, tidak semayam di suatu tempat, dan tidak terikat oleh waktu.

Khwaja Mir Dard (1725-85), sebagaimana ditulis Annemarie Schimmel, menyatakan cahaya adalah nama yang paling tepat bagi Allah. Ia mempersamakan Tuhan dengan cahaya. Bagi Muhammad Iqbāl, tulis Schimmel, metafor cahaya yang dikenakan pada konsepsi Tuhan harus dipakai untuk menyatakan kemutlakan Tuhan, bukan kemahahadiran Tuhan.

Sebab, menurut doktrin ilmu fisika modern, kecepatan cahaya tak terlampaui. Sehingga, di dunia fenomena, cahaya merupakan pendekatan (approach) yang paling mirip dengan Yang Mutlak. Iqbāl menerapkan persamaan Tuhan dengan cahaya bukan pada keberadaan Tuhan di mana-mana, melainkan pada kenyataan bahwa kecepatan cahaya merupakan ukuran mutlak di dunia kita.

Sachiko Murata dalam The Tao of Islam menulis, cahaya adalah salah satu nama dari Esensi Tuhan, maka ia menunjukkan perangai ilahiah yang sesungguhnya. Seperti matahari yang bersinar karena ia matahari, Tuhan bercahaya sebab Dia adalah Tuhan. Cahaya-Nya sendiri merupakan Zat-Nya, sementara perwujudannya adalah eksistensi kosmos, “segala sesuatu selain Tuhan”.

Lain halnya dengan Ghazāli yang ketika dihadapkan dengan pertanyaan tadi langsung menjawab bahwa Allah adalah cahaya yang hakiki. Tidak ada cahaya selain Dia, dan Dia-lah cahaya seluruh wujud ini. Dia adalah cahaya yang paling meliputi dan paling sempurna.

Antara Cahaya dan Kegelapan

Cahaya memainkan peranan utama dalam seluruh tradisi agama (Islam). Dibuktikan dari misalnya masyhurnya mitos/narasi Muhammad makhluk bercahaya, yang cahayanya (nūr Muhammad) adalah benda pertama yang diciptakan Tuhan. Kelahirannya pun dinyatakan ditandai oleh kejadian-kejadian “bercahaya”. Tak mengherankan bila para mufasir awal menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “ceruk” (misykāt) ialah Muhammad.

Baca Juga  Ketika Al-Qur'an Merasa Cemburu Pada Pemiliknya

Peranan penting konsep “cahaya” juga dapat diukur dari sejumlah besar karya keagamaan yang judul-judulnya berkaitan dengan cahaya dan pencerahan. Semisal kumpulan hadis Masyāriq al-Anwār (Titik-titik Naiknya Cahaya-cahaya) karya Shaghani. Kemudian Mashābih al-Sunnah (Lampu-lampu Sunnah) karya Baghawi, hingga karangan-karangan seperti Kitāb al-Lumā‘ (Buku tentang Percikan-percikan yang Cemerlang) karya Sarraj, Lama‘āt (Kilauan) karya ‘Iraqi, dan Lawā’ih (Kilat) karya Jami. “Cahaya” juga menjadi sangat penting bagi para sufi-filsuf terutama Suhrāwardi yang kesohor dengan filosofi cahaya (hikmat al-isyrāq atau filsafat iluminasi)-nya.

Terdapat bermacam-macam definisi cahaya yang pernah dibuat. Dalam penggunaannya yang paling umum, cahaya ialah sesuatu yang tampak, menampakkan dirinya dan membuat tampak sesuatu yang lain. Dalam hal ini, mata inderawi amat berperan. Namun, ulama sekelas Ghazāli menyebut yang demikian sebagai pengertian cahaya menurut orang awam. Pasalnya, cahaya seperti itu hanya menjadi pembantu bagi mata yang melihat, padahal mata melihat dengan kemampuan yang sangat terbatas. Ghazāli mengemukakan tujuh kelemahan mata inderawi. Pengarang Mafātih al-Ghayb, Razi menambahkannya menjadi dua puluh. Keduanya membandingkannya dengan akal (mata hati) dan berkesimpulan bahwa akal lebih patut disebut cahaya. Ghazāli akhirnya mengatakan,

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa “mata” masih lebih utama daripada cahaya yang sudah dikenal dan dirasakan, dibanding indera lainnya. Anda pun tahu bahwa “akal” masih lebih utama dibanding cahaya mata. Di antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat besar, sehingga kita dapat mengatakan, “akal” jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak untuk dinamakan “cahaya”.

Namun, akal pun tak luput dari kelemahan dan kekeliruan. Kesalahan akal, menurut Ghazāli, tersingkap setelah empunya mati.

Cahaya dalam Percakapan Filsuf Muslim

Dalam penjelasan-penjelasan berikutnya, Ghazāli membedakan cahaya alam syahadah (al-‘ālam al-hiss wa al-musyāhadah)dan cahaya alam malakut. Di alam syahadah, mataharilah cahaya yang paling terang dan mata lahirlah yang melihat. Sedangkan di alam malakut, al-Qur’an dan Kitabullah lainnyalah yang merupakan cahaya dan mata batin (akal)-lah yang melihat.

Baca Juga  Menata Ulang Pemahaman Kita: Wanita Kurang Akal dan Agama

Dalam pemikiran para filsuf muslim (termasuk Ghazāli dan Suhrāwardi), cahaya acapkali dimaknai sebagai “eksistensi” (wujūd), sedangkan kegelapan adalah “ketiadaan” (‘adam). Terdapat sebuah hadis yang tampaknya sesuai dengan pemaknaan ini,  yang dikutip Ibn Katsir, yakni:

انّ الله تعالى خلق خلقه فى ظلمة ثمّ القى عليهم من نوره يومئذ فمن اصاب من نوره يومئذ اهتدى ومن اخطأ ضلّ.

“Sesungguhnya Allah menciptakan ciptaan dalam kegelapan kemudian memberinya cahaya-Nya, maka siapa yang terkena cahaya-Nya, ia mendapatkan petunjuk, dan siapa luput, ia tersesat.” (Riwayat Ahmad) 

Allah merupakan wujud yang sebenarnya (al-Haqq). Karenanya, Dialah Cahaya yang sebenarnya. Sementara makhluk atau alam pada dasarnya tidak ada (‘adam). Karenanya, ia pada dasarnya adalah “kegelapan”.Wujud alam yang nisbi bergantung pada wujud Allah. Diriwayatkan, seluruhnya gelap, kemudian disinari oleh Penciptanya, maka terwujudlah alam dengan wujud Allah.

Pada dirinya sendiri, kosmos adalah kegelapan karena “pada dirinya sendiri” — tanpa bantuan Allah — ia sebenarnya tidak ada. Namun, sejauh kosmos dikatakan ada dan menjadi tempat manifestasi tanda-tanda Allah, maka ia adalah campuran antara cahaya dan kegelapan.

Bersambung……

Penyunting: Bukhari