Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Pemahaman Muslim Moderat tentang Jalan Keselamatan Non-Muslim

pemahaman
Pemahaman moderat

Dapatkah penganut agama-agama di luar Islam meraih keselamatan di hari pembalasan? Bagaimana seharusnya umat Islam berinteraksi dengan mereka yang mengimani dan menghidupi agama yang berbeda? Dua pertanyaan ini dan juga berbagai pertanyaan yang mungkin muncul sekaitan dengan keragaman agama adalah persoalan krusial yang telah menyita perhatian umat Muslim, sejak di era klasik terlebih di era modern. Merujuk kepada klasifikasi Khaled Abou El Fadl dalam The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist, kita dapat membagi pemahaman umat Muslim secara sederhana terhadap agama lain ke dalam dua arus tradisi, yaitu puritan dan moderat.

El Fadl menguraikan pengertian kalangan puritan sebagai orang-orang Muslim absolutis yang tidak mau berkompromi sedikitpun terkait masalah keyakinan. Dalam hal ini, mereka berupaya untuk menghayati keberagamaan mereka semurni mungkin. Maksudnya, mereka tidak akan mentolerir keragaman dan perbedaan sudut pandang. Bahkan, mereka memandang realitas yang majemuk sebagai suatu bentuk kontaminasi yang akan menodai kemurnian ajaran Islam yang benar.

Karakter Pemahaman Muslim Moderat

Sementara itu, kalangan moderat adalah mereka yang berusaha mengikuti nilai keutamaan (virtue) Al-Qur’an, yaitu wasaṭiyyah. Nabi Muhammad sebagai rujukan paripurna dalam Islam menjadi contoh terbaik bagi perwujudan nilai wasaṭiyyah. Karena, apabila dihadapkan pada dua kenyataan yang ekstrem, ia akan memilih jalan tengah. Tentu, ada berbagai problem terminologis, hermeneutis ketika menerjemahkan nilai wasaṭiyyah sebagai moderat. Poin penting yang perlu penulis tekankan adalah bahwa kata moderat hanyalah salah satu makna yang mungkin dari waṣaṭiyyah dan tidak merepresentasikan kandungan kata tersebut secara menyeluruh.

Menurut El Fadl, term moderat memiliki akar yang kuat dalam tradisi Islam dan membawa pengertian sebagai sikap normatif yang mesti dimiliki oleh setiap orang Islam. Bagi kalangan moderat, keberagamaan dalam Islam merupakan suatu proses yang senantiasa terbuka pada perkembangan, evaluasi, dan perubahan. Konsekuensinya, agama tidak dapat dipisahkan dari tradisi yang menjadi lokus manifestiasinya. Hal demikian menunjukkan bahwa keragaman ekspresi dan perilaku keberagamaan adalah suatu keniscayaan.

Apabila pertanyaan mengenai keselamatan non-Muslim diajukan kepada kalangan puritan, maka mereka akan menjawab dengan spontan bahwa agama-agama di luar Islam tidak akan selamat. Kalangan puritan meyakini bahwa kedatangan Islam secara efektif berperan sebagai pengganti dan penghapus agama-agama selainnya. Tidak hanya itu, mereka juga menegaskan bahwa Islam adalah syarat mutlak agar seseorang memeroleh kebahagiaan sejati di akhirat. Dengan ini, mereka lantas menempatkan Al-Qur’an sebagai teks eksklusif yang membatalkan keabsahan wahyu-wahyu sebelumnya.

Baca Juga  Rasulullah: Pemimpin Revolusi Kesetaraan Gender Islam

Logika Muslim Puritan

Pandangan abrogasionist (penghapus) dan supersessionist (pengganti) ini umumnya didasarkan pada QS. Āli ‘Imrān [3]:19 dan 85 yang menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama di sisi Allah dan semua agama selain Islam tidak akan diterima oleh-Nya. Sebagai akibatnya, memeluk agama selain Islam akan mendatangkan kesengsaraan abadi. Tentu saja, mereka memahami bahwa Islam yang dimaksud oleh kedua ayat ini adalah identitas keagamaan-konfesional yang dibawa Nabi Muhammad melalui Al-Qur’an.

Berkenaan dengan interaksi dengan non-Muslim, kalangan puritan dengan getol mempromosikan doktrin loyalitas dan disasosiasi (al-walā’ wa al-barā’) yang merujuk kepada QS. al-Mā’idah [5]:51. Inti dari doktrin ini adalah bahwa umat Muslim hanya diperintahkan untuk peduli terhadap, bersahabat dengan, orang-orang Muslim saja. Sebaliknya, mereka diharamkan untuk menaruh perhatian atas, apalagi berbagi cinta dengan, orang-orang non-Muslim. Bagi kalangan puritan, persahabatan seorang Muslim dengan non-Muslim bukan hanya mencerminkan degradasi dan kelemahan iman, namun juga merupakan sebuah kesalahan dan dekadensi moral.

Sebelum menguraikan pemahaman Muslim moderat terhadap keragaman agama, penulis perlu menerangkan terlebih dahulu bahwa kalangan Muslim puritan menjustifikasi gagasan mereka terkait eksklusivisme Islam dengan membajak dan mengekspolitasi ayat-ayat Al-Qur’an. Memang, seperti yang ditekankan oleh El Fadl, makna dari teks-teks keagamaan sangat dipengaruhi oleh komitmen moral, disposesi etis, serta perangkat metodologis yang dipilih oleh pembaca teks.

Implikasi Praktis Pemahaman Muslim Puritan

Mengingat bahwa Al-Qur’an, seperti yang diungkapkan oleh Abdulaziz Sachedina dalam The Islamic Roots of Democratic Pluralism, tidak pernah menyatakan secara eksplisit maupun implisit bahwa Islam menghapus validitas agama-agama selainnya, maka kalangan puritan yang menggagas doktrin abrogasi agama mesti merancang strategi metodologis dan hermeneutis untuk mengondisikan universalitas pesan Al-Qur’an agar menjadi teks yang eksklusif. Melalui teori asbab al-nuzūl, kronologi wahyu, dan naskh, kalangan puritan pun mengaburkan spirit Al-Qur’an yang secara positif terbuka terhadap keragaman dan perbedaan.

Tentu saja, gagasan teologis kalangan puritan memiliki sejumlah implikasi praktis yang serius: selain memicu pengerasan identitas kolektif umat Islam sebagai agama superior di atas agama-agama lain, paham abrogasionisme telah menyediakan dasar efektif bagi agresi fisik yang dilakukan atas nama agama. Ajaran jihad pun dirasionalisasikan sehingga menjadi identik dengan perang suci (holy war). Dalam konteks ini, agama Islam tidak lagi mengambil bentuk sebagai rahmat bagi alam semesta, melainkan justru menjadi—merujuk kepada istilah Charles Kimball—bencana (evil) yang mengerikan.

Baca Juga  "mostbet Casino Resmi Site Casino Mostbet Pra Için Mostbet Çalışma Aynasında Çevrimiçi Oynayın, Kayıt Olun 540 Arşivler

Pemahaman Muslim Moderat

Kalangan moderat memulai premisnya dari sudut yang sama sekali berbeda. Mereka berpandangan bahwa Al-Qur’an tidak hanya menerima keragaman dan perbedaan, namun juga mengharapkannya (QS. al-Ḥujurāt [49]:13). Bagi mereka, keragaman itu sendiri merupakan bagian dari maksud dan tujuan Tuhan dalam proses penciptaan (QS. Hūd [11]:118-119). Dengan kata lain, keragaman adalah bagian dari sunnatullah.
Dari sini, kalangan moderat berargumen bahwa umat Muslim diminta untuk saling mengenal satu sama lain (ta‘āruf). Lebih jauh lagi, Al-Qur’an mengeksplisitkan keragaman dan perbedaan, seperti yang ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat, sebagai ujian bagi umat beragama untuk saling berlomba-lomba dalam memberikan kontribusi sebanyak-banyaknya bagi kebaikan kemanusiaan dan alam semesta (QS. al-Mā’idah [5]:48). Dengan nada yang sama, Al-Qur’an memerintahkan semua orang beriman untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan melarang untuk saling bantu-membantu dalam keburukan (QS. al-Mā’idah [5]:2).

Berkenaan dengan QS. Āli ‘Imrān [3]:19 dan 85, kalangan Moderat memaknai kata Islam dalam pengertiannya yang genuine sebagai ketundukan, kepasrahan, dan penyerahan diri secara total. Dalam The Spirit of Tolerance in Islam, Reza Shah-Kazemi menyatakan bahwa istilah Islam di sini merupakan konfirmasi terhadap validitas bagi semua wahyu-wahyu yang dibawa oleh para Nabi, seperti yang ditegaskan dalam QS. Āli ‘Imrān [3]:84. Pemaknaan Islam dalam pengertian ketundukan yang universal kepada Tuhan yang Maha Esa juga dapat ditemukan kitab-kitab tafsir modern, seperti al-Manār, al-Kāsyif, dan Min Waḥy Al-Qur’ān.

Dalam mendiskusikan doktrin al-walā’ wa al-barā’, kalangan moderat memandang bahwa QS. al-Mā’idah [5]:51 perlu dibaca bersamaan dengan ayat-ayat yang menekankan kesatuan agama-agama Abrahamik. Penulis perlu tegaskan bahwa tedapat properti polivalensi dan kompleksitas makna yang melekat pada ayat ini, seperti yang telah diobservasi dengan baik oleh Johanna Pink dan Quraish Shihab. Berangkat dari kesadaran akan kekayaan dan fluiditas makna Al-Qur’an, kalangan moderat lalu mengembangkan hermeneutika kontekstual untuk memahami ayat ini.

Baca Juga  Makna Puasa Menurut Jalaluddin Rumi

Mereka lantas menegaskan bahwa doktrin al-walā’ tidak dapat dimaknai sebagai permusuhan permanen terhadap orang-orang Yahudi-Kristen, melainkan perlu dipahami sebagai upaya defensif dari strategi peperangan. Dalam kondisi ketegangan dan konflik, umat Muslim dihimbau untuk tidak bersahabat dengan mereka yang secara ofensif memerangi Islam. Sebaliknya, bagi kalangan moderat, yang dihendaki oleh Al-Qur’an terhadap non-Muslim adalah perlakukan baik dan adil (QS. al-Mumtaḥanah [60]:8)

Keselamatan Non-Muslim

Adapun terkait keselamatan, kalangan moderat mendasarkan pandangan teologisnya pertama-tama pada pemahaman bahwa hanya Tuhan yang memiliki hak prerogatif dalam menilai dan menentukan siapa yang berhak mendapatkan rahmat-Nya dan memeroleh keselamatan (QS. al-Baqarah [2]:105; Āli ‘Imrān [3]:74; Fāṭir [35]:2). Meski berulangkali menekankan karakter unik dan universal dari ajaran yang dibawakan oleh Nabi Muhammad, Al-Qur’an sama sekali tidak pernah mengeksklusi jalan-jalan keselamatan dari agama lain di luar Islam.

Poin penting yang perlu penulis kemukakan adalah bahwa kritik Al-Qur’an terhadap agama-agama Yahudi dan Kristen bukanlah ditujukan untuk membatalkan kebenaran ajaran agama mereka dan menegaskan superioritas Islam. Bagi Fazlur Rahman, kritik semacam ini sebetulnya ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Kristen yang mengklaim secara eksklusif kepemilikan terhadap petunjuk Tuhan. Artinya, Al-Qur’an sedang berusaha untuk menolak paham keterpilihan dari para penganut kedua agama tersebut (QS. al-Baqarah [2]:124 dan Āli ‘Imrān [3]: 67).

Sembari mengkritik klaim eksklusif semacam itu, Al-Qur’an menekankan bahwa fondasi utama dari keselamatan adalah keimanan yang benar kepada Tuhan, Hari Akhir, dan amal saleh (QS. al-Baqarah [2]:111-113). Maka dari itu, kritik-kritik teologis Al-Qur’an, demikian tulis Mun’im Sirry, tidak bermaksud mengganti agama-agama terdahulu, melainkan mengoreksi sejumlah aspek yang dianggapnya menyimpang dari kemurnian ajaran monoteisme.

Faktanya, Al-Qur’an yang mengevaluasi secara kritis agama-agama selainnya tetap mengakui validitas mereka dalam menawarkan jalan keselamatan. Dengan mendorong umat Islam untuk berdialog bersama ahl al-kitāb dan memotivasi mereka semua untuk merumuskan kalimah sawā’/common platform (QS. Āli ‘Imrān [3]: 64), Al-Qur’an pun merekognisi keragaman keyakinan dan hukum keagamaan di luar Islam. Kalangan moderat lantas berargumen bahwa Tuhan yang disembah oleh umat Muslim dan kalangan ahl al-kitāb merujuk kepada Tuhan yang Esa dan sama (QS. Āli ‘Imrān [3]: 51; al-Ḥajj [22]: 34; al-‘Ankabūt [29]:46).

Penyunting: Ahmed Zaranggi