Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Pemahaman Letterlek Ayat Melegalisasi Kekerasan

Kekerasan
Sumber: Unsplash.com

Tanwir – Perdebatan yang cukup panjang dalam pembahasan RUU PKS berimplikasi pada dikeluarkannya RUU ini dari prolegnas prioritas 2020. RUU PKS yang diusung sebagai payung hukum bagi korban atas kasus-kasus kekerasan seksual yang marak terjadi menjadi penting untuk disosialisasikan agar kesalahfahaman terhadap RUU ini tidak berlanjut. 

Pemahaman agama yang salah terutama pada ayat-ayat yang menjadi dalil legalnya kekerasan terjadi karena menggunakan pemahaman yang “letterlijk” (bahasa Belanda) atau yang kita kenal dengan letterlek. Letterlijk adalah pemahaman terhadap suatu teks terpaku pada apa yang dituliskan teks tersebut. Hal itu menyebabkan terlihat Islam menghalalkan tindakan kekerasan. Padahal kita tau bahwa Islam adalah agama yang cinta akan kedamaian dan melindungi manusia dari berbagai kemungkaran.

Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan Institute (PSIPP )Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta bekerja sama dengan The Asia Foundation mengadakan program “Dari Kita untuk Mereka” sebagai respon atas fenomena diatas.

Pada Rabu (23/09) telah terlaksana puncak dari program ini dengan diadakannya seminar daring bertemakan “RUU PKS: Perspektif dan Tanggapan Para Tokoh Agama”.  Pembicara pada seminar ini antara lain; Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Sekertaris Umum PP Muhammadiyah;

Dalam pidato kunci seminar yang disampaikan oleh Prof Abdul Mu’ti, ia mengatakan bahwa isu ini adalah isu yang sensitif. RUU PKS menurut beliau tidak bisa hanya dibicarakan secara akademik saja, karena, dalam kekhawatirannya, masih terlingkupi dimensi politik yang melingkarinya. Perlu ada lobi-lobi politik untuk menangani hal ini.

“Pendekatan akademik penting, namun menurut saya karena RUU yang dibahas ini pengesahannya sangat ditentukan oleh para anggota DPR maka pendekatan politik, terutama dengan para pemimpin partai politik atau key person partai politik termasuk kepada komisi yang menangani RUU, perlu dilakukan secara intensif” ujar Mu’ti. Dimensi ini dinyatakan Mu’ti sebagai dimensi yang tidak sederhana.

Baca Juga  Lembaga Filantropi Ditantang Masifkan Gerakan Zakat Bagi Korban Kekerasan

Menurut Mu’ti, ini dimaksudkan sebagai cara menyadarkan pada anggota dewan bahwa urgensi pada RUU ini begitu tinggi. Memandang maraknya kekerasan yang terjadi. Maka perlu meyakinkan orang orang tersebut, misalnya dengan mengundang atau berdiskusi dengan mereka. Dan RUU ini pun dapat tersahkan karena tergantung oleh kepada mereka, para anggota dewan.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini juga menjelaskan bahwa ada dimensi agama dalam fenomena ini. Dimensi agama ini berkaitan dengan bagaimana teks dipahami dan relasi antara yang the powerfull dan the powerless ini juga dipandang dari segi agama.

“Sebagian kekerasan itu legalize in the name of religious, dan ini memang sesuatu yang tidak selalu mudah karena banyak teks-teks agama yang secara tekstual seperti memberikan legitimasi untuk figur tertentu dibenarkan melakukan tindak kekerasan” jelasnya. Beliau mengatakan ini tidaklah mudah karena ada manhaj atau metode pemahaman agama dikalangan kita juga semakin berkembang dan dunia maya sekarang memang didominasi oleh kelompok-kelompok yang memahami agama secara tekstual.

“Ini tidak mudah, bahkan di Muhammadiyah pun masih ada kelompok skripturalis yang memahami teks secara letterlek” begitu paparnya.

Mu’ti memberikan contoh, “misalnya lafadz fadzribuhunna didalam al-Quran, sering dimaknai sebagai legalisasi kekerasan oleh suami kepada istri. Dan dhoroba dimaknai dalam makna tunggal yaitu memukul. Padahal kalau kita mencoba menggunakan tafsir maudui, dhoroba itu maknanya tidak selalu berarti memukul tapi bisa berarti ‘bepergian yang jauh’ dan juga bisa berarti pembelajaran yang sangat penting, yang itu membuat manusia harus sadar dengan akal dan fikirannya.”

Dari itu, Mu’ti menambahkan bahwa kajian-kajian teks menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam upaya untuk kita dapatkan kehidupan masyarakat yang terbebas dari kekerasan seksual. Yakni kekerasan yang terjadi karena pemahaman yang letterlek terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut.

Baca Juga  Para Pakar Sebut Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Berhak Jadi Mustahik Zakat

Selain dimensi politik dan agama, Mu’ti menyebutkan beberapa dimensi lain. Dimensi pendidikan dimana ada yang salah dari pendidikan kita. Kemudia dimensi budaya, ada tindakan yang mentolerir kekerasan, kemudian bulliying yang dianggap becanda dan perlakuan yang mengakar, yang bahkan sudah menjadi kultur.

Dimensi yang terakhir adalah dimensi dalam persoalan penegakan hukum. Menurut Mu’ti, penegakkan hukum ini terbagi menjadi dua akar, yang pertama dimana bagian dari RUU PKS ini sudah ada didalam KUHP sehingga beberapa pihak menanggap bahwa RUU ini tidak perlu karena sudah teakomodasi dalam undang-undang KUHP itu. Yang kedua, beberapa definisi dalam RUU PKS agak sulit diterapkan dalam penegakkan hukumnya, terutama pada ranah yang bersifat privat.

“Belum lagi media sosial yang berpengaruh besar pada penggiringan isu publik” tambahnya. Perlu dibuka ruang-ruang dialog bagi mereka yang tidak mendukung pula agar sama-sama memahamkan dan meyakinkan akan urgensi RUU ini.

Acara yang ini dilaksanakan secara lancar ini berlangsung dengan pembicara-pembicaranya, bisa disimak ulang di kanal YouTube PSIPP ITB AD

Reporter: Ananul