Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Pelajaran Bertani dalam Islam

pertanian
Sumber: Unsplash.com

Jika tekun pengamatan kita melihat pertanian nasional, sepertinya mengernyit adalah ekspresi spontan, atau geleng-geleng kepala, yang jelas tidak banyak kabar yang membahagiakan dari sektor pertanian; mulai dari produktivitas pangan, kapitalisasi pertanian sampai menyentuh soal kesejahteraan para petani. Hingga tahun-tahun terakhir, panen raya seperti berganti tunduk kepala, semacam kecewa, tak tertanggung pula akibatnya, banyak petani yang memilih berhenti menanam dan memanen, tak sedikit yang beralih profesi.

10-15 tahun ke depan, negeri ini diperkirakan mengalami krisis pertanian. Sungguh itu warta yang tidak membahagiakan pada Indonesia yang sering dibanggakan sebagai negeri agraris. Aktivitas pertanian kini diisi para tetua, kawula muda seperti abai atas pertanian, mereka memilih profesi lainnya, atas dalih kesejahteraan individu. Argumen itu dapat dipahami adanya, ini sebab bangsa kita sebetulnya belum sepenuh-penuhnya menghargai kesejahteraan para pertani, khusus dalam masalah upah. Data menunjukkan rerata para petani hanya mendapatkan 2 juta saja dalam satu bulan lamanya, ini adalah upah terendah dibanding sektor yang lain, semacam industri pengelolaan sampah, listrik, pula sebagainya.

Jangan abai pula pengamatan kita tentang arus urbanisasi yang marak, statistik membuktikannnya, pada rentan tahun 2007-2017 saja urbanisasi melaju deras. Di tahun 2007 penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan masih berkisar pada jumlah 52,42%, selang satu dekade setelahnya, yaitu tahun 2017, bilangan itu melonjak turun, dan tercatat penduduk di pedesaan berkurang, pada kisaran 43,34 % petani saja.

Petani Butuh Literasi Agama

Indonesia yang dihuni oleh mayoritas umat beragama semestinya memahami keterkaitan antara agama sebagai sumber pengetahuan, dengan hidup sebagai realisasinya. Syarat utamanya ialah menempatkan agama sebagai tidak saja ritus ibadah belaka, melainkan pula kacamata demi meneropong realita sosial. Melalui hubungan antara pertanian dan agama itulah, maka sebenarnya dibutuhkan “ilmuisasi” ajaran kitab suci agama, biar subtansi ajaran didalamnya dapat pula merasuk dalam laku hidup keseharian manusia, khususnya ketika bertani.

Baca Juga  Puasa Ramadhan: Bukti Cinta Hamba Kepada Allah

Maka, jangan “simpan” Tuhan di masjid atau gereja, bawa ia ke kebun. Apa maknanya? Ajaran agama yang demikian kompleks fungsinya itu dapat terealisasi dalam setiap ruang hidup umatnya. Sehingga Tuhan tidak lagi menjadi pelarian belaka, melainkan pula spirit ketika cangkul mengurai tanah di ladang. Dalam soal itulah, petani butuh literasi agama.

Pertanian dalam Agama Islam

Kita mulai dari kalam Tuhan, sebagaimana Allah firmankan dalam surah Abasa ayat 24: Falyanẓuril-insānu ilā ṭa’āmih (Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya). Sebetulnya banyak penafsiran dari para mufassir ihwal makna dari ayat ini. Tetapi yang lazim dipahami, ayat ini ialah perintah kepada manusia agar memahami Tuhan sebagai pencipta segala makanan di bumi.

Seolah hendak menegaskan peran keilahian-Nya, Allah semacam ingin mengatakan perannya dalam dunia tetumbuhan, yang dengan demikian, Allah hendak pula menerangkan hubungan antara tanaman, tetumbuhan, pertanian dengan diri-Nya sebagai Tuhan. Lain waktu, Allah berikan dasar teologis yang kuat pada manusia dan petani, Allah berfirman:

“Dan suatu tanda (kebesaran dan kekuasaan Allah SWT) bagi mereka adalah bumi yang mati (kering dan tandus, lalu) Kami menghidupkannya (dengan air hujan) dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan. Dan Kami (juga) telah menjadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur, dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air. Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka tidakkah mereka bersyukur?”

(QS: Yasin: 33-35)

Allah Swt hendak menekankan kekuasannya sebagai yang memancarkan irigasi alami bagi alam; air hujan yang dengannya biji-bijian menumbuh dan menjadi muasal dari makanan manusia. Maka betapa pongahnya manusia yang merusak lingkungan, semisal bertani tanpa pertimbangan kerusakan sumber air misalnya. Bukankah tugas kekhalifaan manusia salah satunya adalah menjaga dan memanfaatkan dengan benar segala nikmat yang Tuhan berikan. Senada dengan ayat itu juga, lain waktu Allah tekankan dalam firman yang lain, misal surah an-Nahl ayat 10-11, atau surah al-An’am ayat 99.

Baca Juga  Strategi Ketahanan Pangan Saat Krisis Ala Nabi Yusuf

Maka, apa pula makna yang lebih dalam dari segala ayat diatas selain bahwa Allah Swt perintahkan ummat manusia untuk bertani; menanam, merawat, pula mengambil serta memberi manfaat darinya.

Kontemplasi Ayat

Tetapi tabiat manusia memang seringkali lalai, itu termasuk pula dalam sistem pertanian kita. Bentuknya ialah irigasi air yang sering secara rakus serakah diakumulasi petani yang kaya, bermodal. Maka dapat ditebak akibatnya, air sebagai sumber kehidupan tanaman seringkali hanya dinikmati pemodal yang berduit seabrek.

Semacam ingin bertindak sebagai laku Tuhan, manusia dengan segala kerakusannya acapkali ingin mengakumulasi kekuatan hanya kepada dirinya. Sementara buruh tani dirampas haknya, pula dimiskinkan. Sebuah kondisi yang timpang, manusia melanggar peran Allah sebagai Tuhan yang sebenar-benarnya.

Perhatian pada tanaman hanya pada ladangnya sendiri, acap sering sekelompok petani kaya abai pada nasib ladang orang lain. Maka yang menikmati hasil pertanian sering hanya bagi segelintir manusia yang menguasai sarana produksi, teknologi dan modal. Habislah nasib hidup petani yang miskin, tak punya teknologi, pula tak memiliki modal banyak.

Kita memang masih tergobopoh-gopong menghadapi arus kapitalisasi pertanian yang demikian laju. Mereka ialah manusia yang tidak memperhatikan nasib satu sama lain. Kapitalis yang tak membagi nikmat Tuhan pada sekalian manusia disekitarannya. Malah menimbunnya sedemikian rakus. Orang Islam yang demikian tabiatnya, adalah muslim yang patut diragukan peran kekhalifaannya, mereka tak menjaga nikmat Tuhan, kecuali hanya menjaga diri dan keluarganya saja.

Tugas kekhalifaan kita dewasa ini dalam sektor pertanian kian berat. Petani adalah khalifah, maka seharusnya tabiatnya adalah penjaga, sebagai perpanjangan tangan Tuhan untuk terus memastikan bahwa nikmatnya tersebar adil di kehidupan alam.

Anak muda muslim tak boleh abai terhadap pertanian. intelektual muslim yang menempuh pengajaran di bangku jurusan pertanian seidealnya tergugah untuk kembali ke desa, membawa ajaran Islam masuk ke dalam laku tindakan para petani. Hanya dengan demikian, ajaran agama secara fungsional dapat berguna di dalam kehidupan.

Baca Juga  Buletin Jum'at: Spirit Kemanusiaan Ibadah Puasa

Dan bila tiba waktunya mereka, intelektual islam itu kembali ke ladang, jangan mendekatkan diri pada tabiat culas, serakah, merusak dan melulu hanya mementingkan kehidupan pribadi.

Editor: Ananul Nahari Hayunah