Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Pantaskah Pluralisme Agama Diharamkan?

Keberagaman
Sumber: kompasiana.com

Menjawab pertanyaan di atas, tentang pantaskah mengharamkan pluralisme, maka penulis menjawab: tidak.

Pemahaman dominan yang bersarang dalam alam bawah sadar manusia selama ini ialah mereka menganggap pluralisme berarti menyamakan seluruh agama yang ada, dan hasilnya kebenaran setiap agama adalah relatif. Menurut Abdul Moqsith Ghazali, pluralisme adalah sebuah sikap meniscayakan adanya pluralitas; adanya pengakuan atas keberagaman. Pluralisme bukan menyamakan semua agama. Karena jika seluruh agama sama, maka agama itu satu, dan berarti tidak plural.

Pluralisme Menjaga Persatuan

Penulis menganggap akan sangat berbahaya bila kita tidak memahami pluralisme dengan baik. Karena dapat memicu konflik. Coward bahkan mensinyalir, jika pluralisme tidak dipahami secara benar, maka adanya perbedaan agama akan menimbulkan dampak negatif berupa konflik antar umar beragama dan mengakibatkan disintegrasi bangsa.

Pemahaman yang benar akan pluralisme akan melahirkan sikap toleransi. Oleh karna itu cara pandang kita mesti diperbaiki, karna melalui cara pandanglah, hal-hal seperti kebencian, ketertutupan dan intoleransi lahir. Pluralisme begitu penting, terlebih di Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk. Banyak etnis, agama yang berbeda-beda.

Di tengah kemajemukan tersebut, kita sebagai warga dituntut untuk menjaga keharmonisan kendati pun berbeda. Walaupun Indonesia telah memilki semboyan yang sudah diajarkan sejak dahulu yaitu Bhineka Tunggal Ika (walaupun berbeda tetap satu jua) yang merupakan spirit untuk menjaga kesatuan, pluralisme juga merupakan upaya menjaga kebhinekaan tersebut.

Selain mengakui tentang adanya perbedaan, pluralisme juga akan mengilhami manusia untuk memunculkan prilaku adil. Menurut Nurcholish Madjid, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok lain untuk ada, tetapi juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar perdamaian dan saling menghormati

Asal-Muasal Haramnya Pluralisme

Alkisah, MUI mengadakan sebuah musyawarah nasional pada 19-22 Juamadil Akhir, 2005 M. Dalam musyawarah yang diketuai oleh wakil presiden kita saat ini, MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya pluralisme dan beberapa paham yang lain. Ditetapkan di kota penuh polusi dengan ketawakkalan yang mendalam pada Tuhan.

Baca Juga  Sikap Islam Terhadap Kekerasan Pada Perempuan

MUI mengharamkan puraslisme yang berdefinisi menyamakan semua agama. Padahal jelas itu adalah definisi yang ngawur. Karena pluralisme meniscayakan adanya perbedaan, menghargai perbedaan, dan saling menghormati dan berlaku adil antar orang yang berbeda.

MUI menampilkan sikap yang berbeda dalam memprilakukan pluralisme. Bila Amerika mengelola dengan serius pluralisme dalam The Pluralism Project yang berpusat di Harvard University, Cambridge. Lembaga ini didirikan oleh Prof. Diana L. Eck. Lahir dengan sebuah takrif (definisi) pluralisme yang saya sangat amini dan sangat menarik untuk dipahami.

Setidaknya ada empat elemen penting dalam pengertian tentang pluralisme yang perlu diperhatikan menurut Prof. Eck: Pertama ialah pluralisme bukanlah hanya sekadar statemen tentang adanya keragaman dalam masyarakat. Kalau sekadar menyatakan bahwa masyarakat secara faktual beragam, tidak ada manfaatnya. Yang dibutuhkan bukan hanya pernyataan faktual, namun yang dibutuhkan adalah bagaimana respon kita terhadap keragaman itu: apakah kita akan menerima orang yang berbeda dengan kita atau malah akan kita sesatkan?

Prof. Eck mengatakan pluralisme adalah “the energetic engagement with diversity”. Maksudnya ialah tindakan aktif kita untuk bergumul dengan keragaman yang ada dalam masyarakat. Singkat kata, pluralisme adalah sikap positif terhadap keragaman, bukan menampiknya.

Elemen kedua dari empat elemen yang disebutkan Prof. Eck tadi adalah pluralisme bukan hanya sekadar menolerir perbedaan, akan tetapi tindakan aktif kita untuk mencari pengertian dan pemahaman dari keberagaman. Perlu adanya sikap inklusif agar kita dapat belajar dari sana secara positif

Bukan Menyamkan Semua Agama

Elemen ketiga adalah pluralisme bukanlah sebuah anjuran agar kita menganut relativisme dalam beragama. Yakni mengendurkan ikatan dengan tradisi keagamaan yang kita imani. Bukan! Pluralisme bukan relativisme, melainkan “encounter of commitment”, pertemuan berbagai komitmen, pertemuan berbagai keloyalan masing-masing para penganut agama berbeda. Seseorang tak harus mengendurkan loyalitasnya terhadap agama yang diimaninya. Karena pluralisme tidak berniat untuk itu.

Baca Juga  Abdul Mu’ti: Islam Moderat adalah Islam yang obyektif berbasis Ilmu

Elemen terakhir, dasar pokok daripada pluralisme adalah dialog. Dialog bukan berarti bertujuan untuk mengikis perbedaan antara tradisi beragama, dan memaksa peserta dialog untuk mengamini kesamaan. Melainkan untuk memahami perbedaan-perbedaan itu, seraya bertanya, apa yang dapat kita ambil ibrah dari sana.

Dialog bukan untuk saling mengikis iman yang kita anut dan memaksakan persamaan, atau bahkan memaksa seseorang agar pindah agama. Dialog dalam kerangka pluralisme adalah tindakan untuk memahami perbedaan, dan meraih suatu hal baru yang dapat memperkaya iman kita sendiri

Adapun ketika di Indonesia pluralisme diharamkan melalui ijtihad MUI, definisi yang mereka bangun sangat jauh panggang dari api. Pluralisme agama di Indonesia dalam pandangan umum diasosiasikan sebagai relativisme moral, sinkretisme agama, penyamarataan ajaran dan pendangkalan iman. Definisi pluralisme yang terlalu peyoratif dan bisa dibilang salah kaprah. Karena jauh dari substansinya.

Malah ketika berjumpa dengan warga negara lain yang berbeda agama, pluralisme agama justru ingin agar kita menjaga dan memperkuat basis komitmen keimanan pemeluknya

Sedikit tentang Muhammadiyah dan Pluralisme

Muhammadiyah melalui Din Syamsuddin mengatakan menolak pluralsime yang mengarah pada sinkretisme dan menyamakan semua agama. Hal ini beliau sampaikan pada Muktamar ke 46. Bila kita tilik pada muktamar sebelumnya, yaitu pada muktamar ke 45 di Malang, pada muktamar ini kepengurusan baru sedikit sekali diisi oleh kelompok yang mewacanakan tema Islam progresif seperti M. Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkan, dan Moeslim Abdurrahman justru terpinggirkan. Sehingga kita bisa asumsikan bahwa terjadi gagal fokus pada pluralisme pada muktamar ke 46

Achmad Jainuri dalam penelitiannya menemukan akar-akar toleransi dan pluralisme dalam Muhammadiyah. Ideologi pluralisme dalam Muhammadiyah berakar pada prinsip relativisme pemahaman agama dan ijtihad. Dengan prinsip tersebut Muhammadiyah terbuka terhadap paham dan ide-ide baru dari mana pun datangnya.

Baca Juga  Fenomena Berbusana Anak Muda Kekinian dalam Kacamata Islam

Di dakam buku Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan: Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah yang ditulis oleh Biyanto, ada kutub pro dan kontra dalam menyikapi pluralisme di kalangan kaum muda Muhammadiyah. Bagi yang kontra, pluralisme dianggap sebagai paham yang sesat lagi menyesatkan. Karena pluralisme mengajarkan semua agama sama dan benar dalam perspektif teologisnya masing masing.

Nasib Pluralisme di Indonesia

Sebaliknya kaum muda yang pro menilai pluralisme harus diterima sebagai kenyataan yang tak mungki dihindari, dan tak perlu diseret pada arus teologis. Perbedaan pandangan ini hadir karna latar belakang sosial dan pendidikan yang berbeda antara kaum muda Muhammadiyah.

Sedikit menambahkan sudut pandang mengapa pluralisme bisa dikatakan payah diterima di Indonesia. Menurut Achmad Jainuri, karena ia merupakan istilah asing yang dapat berlaku di satu tempat dan masa, tetapi tidak di tempat dan masa lain. Dan bahayanya istilah asing sering melahirkan value judgments.

Oleh karna itu banyak pemahaman yang keliru terhadap pluralisme, bahkan pengertian pluralisme yang diangkat menjadi jauh dari nilai substansialnya. Atau mungkin pluralisme perlu kita islamisasikan di Indonesia? Entahlah. Sebagaimana penegasan Zuly Qodir, bahwa sebagian umat Islam bersedia menggunakan kata plural, pluralistik (pluralitas), dan multikultur, tetapi selalu menolak istilah pluralisme.

Editor: M. Bukhari Muslim

Khodadad Azizi
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta