Kata ummah sudah berkesan jamak karena makna kata tersebut mencakup bukan hanya satu individu, tetapi sekelompok orang. Bahkan ketika disebut umat manusia, maka itu berarti mencakup semua manusia dari manusia pertama hingga manusia terakhir di muka bumi, bukan hanya sekelompok manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an dalam potongan QS. Al-An’am/6: 38: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Dengan demikian, kata ummah selalu berarti sekelompok, meski tidak selalu sekelompok manusia karena Al-Qur’an juga menyebut kelompok binatang sebagai ummah. Ummah juga bisa berarti keseluruhan manusia dan bisa pula berarti sebagian manusia, tergantung apakah manusia sebagai kelompok yang dibedakan dengan kelompok manusia lain atau manusia sebagai kelompok yang dibedakan dengan jenis mahluk lain. Pernah pula Al-Qur’an menyebut seorang individu sebagai ummah yaitu Nabi Ibrahim AS sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Nahl/16: 120. Namun itu lebih bararti kiasan keistimewaan Nabi Ibrahim AS, bukan beliau sebagai sekelompok orang.
Dari mana kata ummah itu? Fredrick Mathewson Denny mengutip beberapa orang pada entrinya “Community and Society” dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopedia of the Qur’an (2001) mengatakan bahwa kemungkinan kata ummah berasal dari bahasa Akkadi ummatu atau Ibrani umma atau Aram umetha. Dengan adanya huruf alif dan dua mim dalam kata ummah, maka mau tidak mau, kita akan tergoda menghubungkan kata ummah dengan umm (ibu) dan imâm (pemimpin) dalam kosa kata Arab yang lain. Ketiga kata itu memang sangat mungkin berhubungan karena seberapa banyak pun manusia di muka bumi. Maka peran ibu (umm) sangat menentukan untuk melahirkan mereka dan sekelompok manusia yang baik adalah kelompok yang memiliki pemimpin (imâm).
Belakangan, khususnya di Indonesia, seperti ada konvensi tidak resmi bahwa kata umat menjadi istilah khas yang merujuk hanya kepada kelompok pemeluk agama Islam. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun tidak ada pengkhususan serupa. Walaupun berbeda dengan Al-Qur’an, KBBI hanya menyebut manusia sebagai umat, sedangkan burung-burung bukan.
Penyebutan pemeluk agama Islam sebagai umat memang ada rujukannya di dalam Al-Qur’an yaitu dalam QS. Al-Baqarah/2: 143: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia…” Namun, itu bukan berarti hanya umat Islam lah yang ummah karena—sebagaimana disebutkan sebelumnya—kata ummah memang bisa merujuk kepada sekelompok manusia. Tetapi hanya untuk membedakannya dengan kelompok manusia yang lain sehingga kelompok manusia yang lain itu juga adalah ummah. Buktinya, di dalam QS. Yunus/10: 47 disebutkan: “Tiap-tiap umat mempunyai rasul…” Di dalam QS. Al-Hajj/22: 67 disebutkan: “Bagi setiap umat Kami tetapkan syariat tertentu yang (harus) mereka amalkan…”
Yang ingin ditekankan di tulisan ini adalah bahwa ummah bukan istilah segregatif yang mengotakkan dan mengucilkan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Terutama di era politik identitas yang menguat belakangan ini. Al-Qur’an hanya menyebutkan sekelompok orang sebagai ummah sebagai pengelompokan pembedaan antara satu kelompok dengan kelompok lain, bukan segregasi.
Ketika pemeluk agama Islam disebut oleh ummah oleh Al-Qur’an, di saat bersamaan Al-Qur’an juga menyebut ummah pada kelompok lain dan kedua ummah ini akan menjadi satu ummah yang tidak lagi dibedakan jika posisinya hendak dibedakan dengan binatang (yang juga adalah satu ummah). Dengan demikian, bahkan manusia, binatang, dan tumbuhan pun bisa disebut satu ummah jika hendak dibedakan dengan mahluk tidak hidup, misalnya. Dan demikian seterusnya. Mahluk hidup dan mahluk tidak hidup pun adalah satu ummah dalam kerangka konservasi alam.
Pemahaman terhadap ummah yang bersifat segregatif itu bertentangan dengan makna ummah yang hendak disampaikan oleh Al-Qur’an. Kenyataanya, tidak ada satupun ummah yang bisa benar-benar terpisah dari ummah–ummah lainnya. Manusia satu dangan manusia lainnya terkoneksi sedemikian rupa. Semakin maju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memudahkan manusia dalam informasi dan transportasi, maka semakin terkoneksilah manusia dan berdampak pada semakin ketergantungan antara manusia, baik secara sosial, ekonomi, dan politik, bahkan penyakit. Hingga ada istilah global village menurut Marshall McLuhan. Manusia saling berdempet seperti saling berdempetnya penduduk sebuah desa tetapi luasnya desa tersebut seluas dunia.
Konsekuensi dari saling ketergantungan tersebut adalah bencana apapun yang terjadi di wilayah manapun adalah juga bencana global. Letusan sebuah gunung di sudut Eropa bisa mengganggu penerbangan dunia hingga memengaruhi pendapatan sebuah hotel kecil di pinggiran kota Denpasar, Bali, Indonesia. Itu tanda bahwa manusia benar-benar satu umat. Dan jika itu dikaitkan dengan rusaknya alam, maka seluruh yang ada di bumi, baik mahluk hidup maupun mahluk tidak hidup, adalah satu umat yang terkoneksi satu sama lain.
Ketika pandemi ini pertama kali merebak di Indonesia lalu ada anjuran untuk melaksanakan Qunut Nazilah. Ada yang menarik dari doa Qunut Nazilah yang disahkan dan disebarkan oleh salah satu ormas besar di Indonesia. Di dalam salah satu bagian dari doa tersebut disebutkan: Hindarkanlah malapetaka dari negeri kami Indonesia dan seluruh negeri yang lain (‘an baladinâ Indûnîsiyâ wa sâ’iril buldân). Biasanya, doa seperti itu tidak menyebutkan “seluruh negeri yang lain” tetapi menyebutkan “seluruh negeri umat Islam” (wa sâ’iri buldânnil muslimîn).
Doa Qunut Nazilah yang disebarkan oleh ormas tersebut telah memahami bahwa kata ini bukan hanya umat yang memeluk agama Islam. Tetapi adalah seluruh manusia. Saat pandemi meraja, masihkah kita berdoa dan berusaha untuk kita dan golongan kita? Apakah kita tidak tahu bahwa pandemi ini adalah ancaman untuk umat manusia dan bukan ancaman hanya untuk umat tertentu? Kala pandemi berlalu, apakah kita akan kembali kepada wawasan ummah terkotak dan tersegregasi padahal ancaman terhadap umat manusia bukan hanya pandemi baik sekarang maupun di masa datang?
Editor: Ananul
Leave a Reply