Islam merupakan agama yang sangat menaruh perhatian besar terhadap budaya literasi dan ilmu pengetahuan. Keterkaitan antara tingginya budaya literasi dan kualitas suatu bangsa tidak dapat dipisahkan, hal tersebut ditentukan olehkecerdasan dan intelektual para sarjanawan yang dihasilkan dari seberapa besar pengetahuan yang mereka dapatkan. Sedangkan, pengetahuan itu sendiri diperoleh dari informasi yang berupa lisan maupun tulisan.
Mari sejenak kita berkaca pada masa Arab-Islam klasik. Hal ini terbukti dengan giat dan besarnya budaya literasi sejak periode awal islam. Katakanlah, khalifah Harun al-Rasyid(786 M) melakukanperbaikan yang menakjubkan terhadap Perpustakaan Bait al-Hikmah di Baghdad, Irak. Sehingga pada masa itu terkenal dengan pusat peradaban dunia karena perpustakaan sebagai pusat ilmu pengetahuan dan ajang riset.Perpustakaan tersebut menyediakan berbagai jenis koleksi fan-fan buku, baik buku-buku keagamaan seperti Tafsir, Hadis, Fikih dan lain sebagainya, maupun buku-buku umum seperti filsafat, astronomi, kedokteran dan sebagainya.
Tahun 1840 M, Ahmad Bey mendirikan perpustakaandi Masjid az-Zaitunah, Tunisia. Dimana ia mewakafkan sebuah perpustakaan besar yang bernama perpustakaan Ahmadiyah. Pada saat itu terdapat sekitar 2527 buku dan sempat ditambah menjadi total 7851 buku.
Semua itu seakan menggambarkan akan suatu bukti menunjukkan kepada kita tentang sadarnya budaya literasi yang digawangkan masyarakat muslim dahulu serta kecintaan mereka terhadap informasi dan ilmu pengetahuan.
Budaya Literasi
Literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis. Dapat diartikan juga sebagai melek aksara, melek informasi, berpikir kritis, serta perka terhadap lingkungan. Ane Permatasari (2015: 148) menjelaskan, seseorang dapat dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap isi bacaan tersebut.
Literasi pada seseorang tentu tidak akan muncul begitu saja. Proses ini bahkan dimulai dari kecil dan dari lingkungan keluarga kemudian dikembangkan seiring berjalannya di bangku sekolah, lingkungan pergaulan, perkuliahan hingga pekerjaan.
Dalam artian luas, budaya literasi juga tidak harus di dapatkan dari bangku perkuliahan saja, akan tetapi pada dasarnya kepekaan dan daya kritis seseorang terhadap lingkungan sekitar sebagai jembatan menuju generasi literat, yaitu generasi yang memiliki keterampilan berpikir kritis terhadap segala informasi yang masuk.
Faktor utama yang mempengaruhi rendahnya budaya literasi adalah rendahnya kebiasaan membaca. Menurut Kimbey (1975: 662) kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya unsur paksaan. Padahal, era saat ini perlu ditekakankan dalam menumbuhkan semangat membaca dan menciptakanreading society ditengah-tengah masyarakat agar dapat menyesuaikan diri dengan tantangan perkembangan zaman.
Budaya Literasi Menurut Al-Qur’an
Seperti yang kita pegang sehari-hari, pedoman utama umat islam seluruh dunia yaitu al-Qur’an. Penamaan al-Qur’an sendiri berasal dari akar kata qara’a yang berarti membaca. Ketika Rasulullah menerima wahyu pertama kali, ayat pertama yang diturunkan juga perintah Iqra bermakna bacalah.
Seakan-akan Allah sedang berpesan kepada umat islam dalam tempo yang panjang bahwa sebagai seseorang harus selalu meningkatkan pengetahuan serta wawasan dengan membaca. Hal tersebut menjadikan seseorang menjadi melek literasi dan informasi.Dalam QS. al-‘Alaq ayat 4 juga Allah mengajarkan manusia menulis dengan pena. Tulisan merupakan suatu pengikat ilmu dan instrumen untuk mencatat pengetahuan.
Senada dengan perkataan Rasulullah Qayyidu al-‘ilma bi al-kitabah “ikatlah ilmu dengan tulisan”.Seandainyatidak ada tulisan, pastilah ilmu-ilmu akan punah, kehidupan tidak akan baik, dan aturan tidak akan stabil. Dan jika ada tulisan, maka ilmu pengetahuan dapat terlestarikan, peradaban suatu bangsa akan terus berkembang dan open-minded.
Kemudian coba kita lihat QS. al-Fathir: 19 “dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat.” Redaksi ayat ini mengandung balaghahisti’arah tashriihiyyah yaitu meminjam kata al-a’ma untuk sebutan orang kafir karena dia tidak menerima petunjuk yang benar. Dan juga meminjam kata wa al-bashiir untuk sebutan orang mukmin karena dia menerima petunjuk kepada yang benar.
Akan tetapi, terlepas dari itu dalam arti luasdapatberarti bahwa orang yang melek literasi dengan orang yang tidak melek literasi tentu berbeda tingkatan. Pentingnya melek literasi dan menumbuhkan budaya literasi membuat seseorang tidak mudah termakan hoaksdan hal-hal lain yang merugikan lainnya.
Meningkatkan Literasi
Betapa derasnya arus informasi setiap detik melenyapkan opini kita dantidak ada hentinya informasi tersebut untukmembanjiri ruang publikdi media sosial.Disinilah analytycal thinking dan critical thinking seharusnya berperan. Melihat informasi yang datang harus dengan menyikapinya secara komprehensif, teliti, lengkap dan mampu mengkroscek darimana sumber berita tersebut berasal.
Jadi, orang-orang yang punya wawasan tinggi, merekalah yang memfungsikan otaknya dapat menerima pengetahuan dengan baik dan mampu memberikan jawaban dari persoalan-persoalan yang datang di masa sekarang. Maka dari sinilah, budaya literasi harus kita tekankan dan kembangkan.
Budaya literasi sejatinya harus dimulai sejak dini. Budaya membaca dan menulis sudah harus dibiasakan oleh orang tuapada lingkup keluarga. Kemudian dikembangkan turut mengikuti pada saat bangku sekolah sampai dengan perkuliahan. Faktor lingkungan juga turut mendukung demi terciptanya budaya literasi yang baik. Seseorang juga harus menempatkan akal untuk selalu berpikir kritis terhadap lingkungan yang dihadapi.
Berpikir kritis dalamkonteks term al-Qur’an sebenarnya sudah banyak diterangkan, seperti ayat Afalaa Ta’qilun “apakah kamu tidak menggunakan akalmu”, La’alakum Ta’qilun “Agar kamu mengerti”. Ayat ini memfungsikan akal untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya dogma dan doktrin saja.
Kemudian term ayat yang lain, Afalaa Tatafakkaruun “apakah kalian tidak memikirkan”. Ayat ini memfungsikan pemikiran dengan metode pengkajian, penelitian serta riset-riset agar kita dapat menjawab persoalan zaman. Afalaa Yatadabbarun “apakah kalian tidak merenungi”, Ayat ini sedang menyindir mereka yang tidak mau berpikir, merenungi dan memperhatikan kehidupan. Karena dengan tadabur kita dapat memposisikan akal dan nalaragar menjadi umat yang berpikir kritis, produktif dan terbuka. Maka, islam sesungguhnya menuntut umatnya untuk selalu berpikir dan memikirkan sesuatu hal agar tidak tergerus oleh zaman.Wallahu A’lam
Editor: An-Najmi
Leave a Reply