Kajian yang dilakukan oleh kaum orientalis terhadap Islam tidak sebatas pada satu atau dua bidang saja. Nyaris seluruh aspek pembahasan dalam Islam tak luput dari pambahasan mereka. Terdapat spesialis-speasialis dalam setiap bidang. Misalnya ada orientalis yang konsentrasi pada kajian al-Quran, ideologi Islam, hadis, dan lain-lain.
Segala upaya dilakukan oleh para orientalis untuk membuat umat Islam ragu terhadap isi kandungan al-Quran, Namun sayangnya, upaya-upaya tersebut terus menerus mengalami kegagalan dan tidak berdampak sama sekali bagi kaum Muslim. Hingga akhirnya mereka mengarahkan sasarannya kepada sumber hukum pendamping al-Quran, yakni hadis atau sunnah.
Jika berbincang tentang hadis di kalangan orientalis, maka nama yang pertama kali terdengar adalah Ignaz Goldziher. Karena Ignaz Goldziher adalah orientalis pertama yang meragukan keberadaan hadis. Ia merupakan seorang Yahudi Hongaria.
Bagi kalangan Islamolog Barat, Ignaz Goldziher dianggap sebagai orang yang paling tahu tentang hadis. Bahkan tidak heran jika akhirnya Johan Fueck, penulis materi tentang hadis di Ensiklopedi Islam, menyanjung Ignaz dengan sangat berlebihan.
Keberanian Ignaz dalam mengkritik hadis, meragukannya, dan melayangkan tuduhan-tuduhan yang akhirnya telah dibantah oleh para ahli hadis tampaknya telah membuat Ignaz dikagumi oleh para orientalis lainnya. Dalam bukunya yang berjudul Dirasat Islamiyah dan al-‘Aqidah wa al-Syari’ah fi al-Islam, ia berpendapat bahwa hampir seluruh riwayat hadis bukanlah catatan tentang fase awal Islam, melainkan hasil dari umat Islam pada masa keemasan. Hadis merupakan catatan dari kemajuan Islam pada berbagai bidang di abad ke 1 dan 2 Hijriyah.
Pada masa awal, ketegangan telah berada dipuncak antara Umawiyun dan kelompok ulama yang bertaqwa, dan kejahiliyahan yang merajalela. Untuk memberantas hal tersebut, para ulama yang bertaqwa kemudian membuat-buat hadis sebagai bentuk pujian terhadap ahl-Bait. Masih di waktu yang sama, masih menurut Ignaz, pemerintahan Umayyah melakukan hal yang sama dengan tema yang berbeda untuk mendukung pendirian mereka.
Dengan demikian, pemerintah berhasil merangkul beberapa kelompok ulama yang akan memenuhi keinginan mereka. Islamolog Yahudi bahkan menyatakan bahwa praktik pemalsuan hadis tidak terjadi di lingkup politik saja, melainkan juga telah merambat ke kawasan religiusitas. Seperti melakukan perubahan dalam hal ibadah, sehingga adanya perbedaan dengan praktik yang dilakukan penduduk Madinah.
Bahkan lebih parahnya lagi, Ignaz menuduh seorang perawi senior yang terkenal dimanfaatkan untuk memalsukan hadis oleh Umawiyun. Ia adalah Imam Zuhri. Imam Zuhri merupakan seorang tabi’in yang pertama pertama kali menyusun hadis. Tuduhan Ignaz terhadap Imam Zuhri yang diperalat oleh Umawiyun dilandaskan karena kedekatan antara Imam Zuhri dengan para khalifah.
Padahal seharusnya, kedekatan itu tidak serta merta bisa ditarik kesimpulan yang demikian sebagaimana dilakukan Ignaz. Catatan sejarah telah merekam, bahwa banyak sekali ulama yang dekat dengan raja ataupun khalifah, namun pendirian mereka tetap tidak dikorbankan, apalagi perihal agama dan intergritasnya.
Bahkan, kedekatan tersebut memiliki tujuan yang baik, yakni sebagai sarana menyampaikan kebenaran kepada pemimpin tanpa melalui perantara. Hal inilah yang dilakukan Imam Zuhri. Ia tidak pernah takut dalam menyampaikan kebenaran dan mengoreksi yang keliru. Ignaz juga menyimpulkan bahwa hadis bukanlah dokumentasi sejarah awal Islam, melainkan refleksi dari kepetingan-kepentingan yang bermunculan di masyarakat dalam perkembanagan masyarakat.
Hal ini dikarenakan adanya material yang ditemukan dalam koleksi yang terbaru tidak merujuk kepada koleksi yang lama. Tradisi isnad juga mengindikasikan adanya transmisi secara lisan, bukan tulisan. Banyaknya ditemukan hadis yang bertentangan, sahabat-sahabat yang junior lebih banyak meriwayatkan hadis dibandingkan sahabat senior yang diasumsikan lebih banyak berinteraksi secara langsung dengan Rasulullah.
Dengan kritik yang tajam mengenai hadis yang kurang berlandasan tersebut, akhirnya pandangan Ignaz mendapat kritik tajam dari ulama-ulama hadis. Sebagai akhir, saya mengutip analisis Mustafa al-Siba’i tentang metodologi orientalis, karena saya merasa analisis tersebut penting. Karena beliau pernah menjelajahi Eropa serta mengunjungi pusat-pusat orientalisme di Universitas Barat dan langsung berdialog dengan mereka.
Hal ini dapat dibaca pada bagian muqaddimah kitab beliau Musthafa al-Siba’i, al-Sunnah halaman 12-44. Ia menulis:
Ciri-ciri khas analisis orientalis adalah berprasangka buruk dan salah mengerti tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan Islam, baik tujuan dan motifnya, berprasangka buruk terhadap tokoh-tokoh umat Islam, ulama dan pembesar-pembesar mereka. Mereka menggambarkan masyarakat Islam sepanjang sejarah-khususnya periode-pertama itu-sebagai masyarakat yang terpecah-belah dan individualis. Dan juga menggambarkan peradaban Islam yang tidak realistis dengan mengecilkannya dan meremehkan bekas peninggalannya.
muqaddimah kitab Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah, 12-44
Editor: Rubyanto
Leave a Reply