Respon yang diberikan Hassan Hanafi terhadap kajian Al-Qur’an di barat ialah dengan membuat sebuah gagasan tentang rekonstruksi maqâṣid asysyarî’ah yang menghasilkan sebuah gerakkan yang disebut Kiri Islam (al-yusar al-Islami). Sekaligus menjadi nama jurnal yang ia terbitkan tahun 1981. Tujuan besar pemikiran ini adalah untuk membangunkan kesadaran kaum Muslim atas posisinya yang tertindas dengan sudut pandang rekonstruksi seluruh bangunan pemikiran Islam secara menyeluruh sehingga Islam dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan.
Hal yang melatarbelakangi munculnya gerakan Kiri Islam ialah keberhasilan revolusi Islam di Iran, dan pemikirannya ini juga merupakan lanjutan dari konsep “al Ur’watul Wusqa” yang pernah digagas Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Lalu adapun tugas dari Kiri Islam adalah sebagai berikut:
- Melokalisasikan pada batas-batasnya, menepis mitos bahwa barat pusat peradaban Islam dan menghalau ambisi kebudayaan Barat untuk menjadi paradiqma kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Sebab selama ini kita kalah karena parameter apapun dilihat dan diukur dari kacamata Barat
- Menepatkan barat dengan batas-batas kebaratannya
- Memberikan atau menawarkan menjadikan Barat sebagai objek kajian
Ia berhasil mendapatkan momentum. Terutama untuk melaksanakan rekontruksi pemikiran keagamaan yang berhenti semenjak Ibnu Rusy dalam bidang filsafat, Syatibi dalam bidang ushul fikih, Ibnu Khaldun di bidang sejarah, dan Ibnu Taimiyah di bidang fikih. Dari proyek gagasan yang dibuatnya Hassan Hanafi memfokuskan pada tiga agenda besar, yang di kemasnya dalam proyek Tradisi dan Pembaharuan.
Ada pun agenda yang pertama, adalah “sikap kita terhadap tradisi lama”. Yaitu menghidupkan kembali (merevitalisasi) khazanah intelektual klasik dengan cara merekontruksi ajaran agama untuk perubahan sosial. Agenda kedua, “ sikap kita terhadap tradisi Barat”. Yaitu dengan melakukan kritik tajam terhadap peradaban Barat. Dari kritik tersebut menghasilkan sebuah paradigma pikir baru yang disebutnya dengan oksidentalisme.
Pada tahun 1999, Hasan Hanafi menerbitkan bukunya berjudul al-Muqaddimah fi ‘Ilmi al-Istighrâb (Pengantar Menuju Oksidentalisme). Di dalamnya ia menyebutkan bahwa orientalis sarat akan kelemahan. Kelemahan orientalisme menurutnya adalah saratnya muatan eurosentris (terpusat pada Barat saja yang dapat menafsikan dunia). Setiap kajian didirikan di atas sikap superioritas Barat terhadap dunia Timur.
Oleh karena itu, menurut Hanafi, tugas berat oksidentalisme adalah melakukan usaha untuk mensejajarkan antara Barat dan dunia Islam. Di mana Islam tidak lagi diposisikan sebagai objek dan Barat sebagai subyek, tetapi menjadi sebaliknya. Selain itu, melalui pendekatan oksidentalisme ini Hanafi ingin mendobrak dan mengakhiri mitos Barat sebagai representasi dan pemegang supremasi dunia. Disamping itu oksidentalisme Hassan Hanafi tidak bermaksud melakukan pembalikan secara total “posisi”, tetapi ia hanya ingin merancang orientalisme sebagai wacana keilmuan yang netral.
Agenda ketiga, yaitu ”sikap kita terhadap realitas”. Hanafi mengkritik metode tradisional yang hanya bertumpu pada teks, dan mengusulkan metode baru yang ditawarkannya yang disebut metode verstehen, yaitu suatu metode pemahaman terhadap obyek, suatu pemahaman yang sangat dekat dengan fokus filsafat hermeneutika Gadamer.
Tujuannya agar realitas dunia Islam dapat berbicara pada dirinya. Menurut Hassan Hanafi realitas tersebut terancam oleh ancaman eksternal dan internal. Ancaman eksternal itu adalah imperialisme (ekonomi dan peradaban), zionisme dan kapitalisme. Sedangkan ancaman internal meliputi kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan. Dua ancaman ini tidak cukup disikapi dengan mengutip teks kemudian pesoalan menjadi selesai. Ia menulis, “Teks (nash) tak ubahnya sekedar kidung untuk menidurkan seorang bayi, mengalihkan persoalan tidaklah dapat merubah realitas”.
Menurut Hassan Hanafi teks adalah teks, bukan realitas. Teks hanyalah mengusung keimanan apriori (berdasar atas teori semata, bukan kenyataan). Teks hanya bertumpu pada otoritas kitab suci, bukan otoritas rasio. Juga teks hanya cocok untuk mau’idhah hasanah bukan sebagai solusi.
Ketiga agenda ini juga mewakili tiga dimensi waktu. Agenda pertama mewakili masa lalu yang mengikat kita, agenda kedua mewakili masa depan yang kita harapkan dan agenda ketiga mewakili masa kini di mana kita hidup.
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply