Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Nasihat Nabi Shu’aib: Tauhid Sebagi Fondasi Kemakmuran

Sumber: https://suaramuhammadiyah.id/

Mengimani entitas seorang Nabi dan Rasul merupakan salah satu syarat (dari beberapa syarat) dari pengakuan keimanan seorang mukmin. Sebagaimana makna iman itu sendiri adalah mempercayai dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan melakukan bersamaan dengan anggota tubuh dan rukun-rukunnya.1 Mengimani adanya Nabi dan Rasul, tidak berhenti pada beriman pada eksistensinya saja, melainkan juga beriman pada perilakunya, nasihat-nasihatnya, ketetapannya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Nabi dan Rasul tersebut. Dengan demikian, keimanan seseorang kepada Nabi dan Rasul menjadi paripurna, tidak setengah-setengah.

Bentuk keimanan seseorang bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan mendorongnya juga mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai keyakinannya.2 Dengan demikian, setiap orang beriman memiliki kewajiban untuk melakukan keimanan yang dipercayainya. Salah satu bentuk tindakan itu adalah mengamalkan terhadap nasehat-nasehat yang disampaikan oleh para nabi. Salah satu Nabi yang harus diimani adalah Nabi Shu’aib As. Dalam Al-Qur`an, kisah Nabi Shu’aib disebutkan salah satunya disebutkan dalam surat al-A’raf hususnya pada ayat 85-86.

Biografi Nabi Shu’aib

Nabi Shu’aib memiliki silsilah kenabian yang sampai kepada Nabi Ibrahim as. Dari beberapa periwayatan, ada perbedaan pendapat dalam silsilah beliau. Pendapat pertama mengatakan bahwa silsilah beliau adalah Shu’aib bin Nuwayb bin ‘Ubaid bin Madyan bin Ibrahim as.3 Pendapat kedua mengatakan bahwa silsilah beliau adalah Shu’aib bin ‘Ayfan bin madyan bin Ibrahim as. Nabi Shu’aib diberi julukan ‘khaṭīb al-anbiyā`’ (proklamator para Nabi) karena kemampuannya dalam kemahiran berbahasa (balaghah) dan kefasihannya dalam berbicara.4 Sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab Qaṣaṣ al-Anbiyā` karya Imam Ibn Kathir disebutkan bahwa hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq bin Bashar ‘an Juwaybir dan Muqatil dari al-Dhahhak dari Ibn ‘Abbas mengatakan bahwasannya Rasulullah Saw jika disebutkan Nabi Shu’aib, beliau mengatakan: “Itulah dia sang proklamatro para Nabi.”

Baca Juga  Menuju Muktamar 48: Muhammadiyah Masih Kering Sosok Ulama?

Nabi Shu’aib diutus pada sebuah kaum yang bernama kaum Madyan, yang di mana itu juga disandarkan pada penyebutan suatu kota yang letaknya berdekatan dengan daerah Ma’an di al-Ardan (wilayah Palestina Selatan)5. Ada yang mengatakan pula bahwa kota itu berdekatan dengan bekas danau Nabi Luth.

Tafsir surat al-A’raf [7]: 85-87

Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim menjelaskan bahwa kalimat “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selain-Nya” adalah bentuk seruan seluruh Rasul kepada kaumnya, yaitu mengajarkan tauhid. Seruan itu Allah perintahkan dengan alasan dan juga bukti kebenaran atas apa yang disampaikan oleh Rasul-Nya.6

Pada ayat 85 ini, Nabi Shu’aib memberikan nasehat kepada kaumnya perihal muamalah mereka dengan orang lain. Nasehat tersebut berisi tentang agar mereka menyempurnakan takaran dan timbangan mereka dan juga tidak mengurangi harta benda orang lain. Karena mereka sering kali berbuat khianat terhadap orang lain dalam urusan harta. Mereka sering kali mengambil harta benda orang lain dengan cara yang licik, yaitu dengan mengurangi takaran dan timbangan serta melakukan penipuan. Hal ini sudah pasti menyelisihi ajaran Allah Swt, sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah dalam surat al-Muthaffifin [83]: 1-6.

Pada ayat 86, Nabi Shu’aib melarang kaumnya untuk melakukan perampokan di jalan, baik secara materi maupun secara moral. Larangan selanjutnya yang diminta oleh Nabi Shu’aib kepada kaumnya adalah supaya mereka tidak menghalang-halangi orang yang beriman di jalan Allah. Nabi Shu’aib juga melarang mereka yang berusaha atau menginginkan supaya ajaran Allah menjadi bengkok dan menyimpang. di penghujung ayat 86, Nabi Shu’aib mengingatkan kepada kaumnya atas pertolongan Allah yang diberikan kepada mereka.

Pada ayat setelahnya, ayat 87, memberikan kabar gembira kepada orang yang telah beriman kepada Nabi Shu’aib. Allah Swt meminta mereka untuk bersabar jika memang diantara mereka ada perselisihan mengenai entitas Allah Swt. Hukuman itu pasti bersifat adil, karena Allah Swt adalah sebaik-baik Pemberi keputusan.

Baca Juga  Nazm Al-Qur’an: Mukjizat Al-Qur’an yang Tidak Tertandingi

Hikmah Kisah Nabi Shu’aib

Berdasarkan kisah di atas, ada hikmah yang bisa dipetik oleh setiap manusia, terlebih khusus untuk orang-orang yang beriman. Bahwasannya landasan fundamental yang harus ditanamkan pada jiwa orang-orang yang beriman adalah keimanan itu sendiri (tauhid). Dengan adanya tauhid pada jiwa manusia, maka orang tersebut akan senantiasa melakukan segala sesuatu dengan baik dan benar.

Dengan demikian, manusia akan selalu berbuat bajik, tidak akan melakukan kerusakan di bumi. Sebagai manusia beriman harus berupaya melakukan tindakan preventif akan terjadinya suatu kebinasaan. Diantara upaya preventif itu adalah berdoa dan beristighfar dan mencegah perbuatan dosa dan kemungkaran.

  1. Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsariy, al-īmān: ḥaqīqatuhu, khawārimuhu, nawāqidhuhu ‘inda ahli al-sunnah (Mesir: Dar al-Kotob al-Misyriyyah, 2011), 76. ↩︎
  2. Martono La Moane, Syarifuddin Ondeng, dan Saprin, “Implementasi Iman dan Taqwa Dalam Kehidupan Modern” Jurnal Mushaf, Vol. 04, No. 01 (April, 2024), 32. ↩︎
  3. Ibnu Kathir, Qaṣaṣ al-Anbiyā` (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2013), 142 ↩︎
  4. Ahmad Mahmud Shaqawiy, Qaṣaṣ al-Anbiyā` (Mesir: Bibliomania Publishing, 2023), 90. ↩︎
  5. Muhammad Thaib Muhammad, “Syu’aib A.S dalam Perspektif Al-Qur`an”, Jurnal Ilmiah Al Mu’ashirah, Vol. 17, No. 02 (Juli, 2020), 163. ↩︎
  6. Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid IV (Sukoharjo: Insan Kamil, 2021), 549. ↩︎

Editor: Trisna Yudistira