Ungkapan tentang perang terkadang dibahasakan dengan jihād, qitāl, pada bagian lain disebut juga dengan harb. Meskipun pada ranah substansi, ketiga tema ini memiliki kesamaan maksud dan tujuan, akan tetapi istilah jihād mendapat porsi pembahasan dalam yurisprudensi Islam; hingga dalam ilmu fiqh sering kita temukan pembahasan tentang perang dan perdamaian dalam bab al-jihād.
Istilah kata jihād dari kata jahada yang bermakna ‘berusaha’. Sedangkan terminologi jihād berarti berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu yang dicintai dan menolak yang dibenci. Adapun jihād fi sabilillah dalam istilah shara’ adalah padanan dari kata perang (al-harb) dalam rangka menegakkan kalimat Allah Swt. (Bayan li al-Nas., t,t, 273). Secara yuridis teologis berarti berusaha dengan sekuat tenaga di jalan Allah Swt., menyebarkan keimanan dan firman Allah Swt. ke seluruh dunia. Ajaran yang bersifat individual ini merupakan suatu upaya pencapaian keselamatan, sebab jihād merupakan tuntutan Allah Swt. yang dapat mengantarkan manusia langsung menuju surga (Majid Khadduri, 2002, 21).
Islam merupakan agama yang memiliki ajaran kecintaan akan perdamaian. Rasulullah Saw. telah mengajarkan dan mempraktekan tata cara menjaga hubungan baik antar manusia dan tata cara berhubungan politik demi kemaslahatan umat. Di antara bukti penegasan Allah dalam Al-Qur’an;
Asas Cinta Damai
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ
Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya : 107)
Ada berbagai pendapat tentang kejelasan maksud arti dari “rahmat bagi semesta alam”. Ada yang berpendapat bahwa rahmat tersebut hanya berlaku untuk orang Islam saja dan ada yang mengatakan bahwa rahmat tersebut berlaku untuk seluruh umat manusia. Namun pada hakikatnya kasih sayang diberikan kepada siapa saja yang berada di muka bumi tanpa membedakan dari segi apapun baik suku, bangsa, agama, ras dan lain sebagainya; sesuai dengan watak perdamaian dalam Islam.
Asas cinta damai merupakan konsep diplomasi yang diperlihatkan dalam Islam sejak era Rasulullah Saw. Praktek diplomasinya dimulai dengan prinsip negosiasi dan mengirim utusan-utusan ke tempat atau wilayah yang bersangkutan; baik itu untuk melakukan perjanjian atau melakukan kerjasama atau menyebar luaskan ajaran Islam dan lain sebagainya. Inilah jihad di jalan Allah; di mana bentuk jihad untuk menyebarkan ajaran Islam dan segala kebaikannya tidak harus selalu dengan perang. Namun tidak dapat dipungkiri juga, di dalam Islam konsep tentang perang dapat menjadi jalan dalam menyelesaikan suatu perkara atau konflik.
Menjunjung Tinggi Keadilan
لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Artinya: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (QS. ANi-Nisa 114)
Dalam ajaran Islam, adanya larangan berbuat zalim, persamaan derajat antar manusia, menjunjung tinggi keadilan, menjunjung hidup rukun dan tolong-menolong; termasuk dalam aspek toleransi dalam kehidupan sosial merupakan dasar-dasar yang akan mampu mewujudkan perdamaian. Dalam penerapan hubungan internasional, perdamaian harus dibalas oleh perdamaian. Jika suatu bangsa menunjukkan suatu keinginan untuk perdamaian, maka bangsa lain juga saling memberi perdamaian. Suatu penawaran perdamaian tidak pernah dapat ditolak.
Johan Galtung mengatakan bahwa penjagaan perdamaian, penciptaan perdamaian dan pembangunan perdamaian termasuk ke dalam pendekatan-pendekatan yang berbeda. Penjagaan perdamaian berkaitan dengan upaya militer, yang bersifat memisahkan. Sedangkan penciptaan perdamaian muncul dari pendekatan resolusi konflik, maka pembangunan perdamaian dipandang sebagai salah satu hal yang berkelanjutandari penciptaan perdamaian. Maka dari itu, sebenarnya konsep yang ingin Islam terapkan dalam hubungan internasional adalah perdamaian; yang nantinya akan berdampak pada kemaslahatan umat dan terciptanya hubungan yang baik antar negara dalam mewujudkan kepentingan.
Diplomasi Perdamaian Rasulullah
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat : 13)
Rasulullah sebagai pemimpin umat Islam di masa lalu telah lama memulai peraktek diplomasi untuk membangun hubungan antar bangsa dan kerajaan-kerajaan di masa lalu. Firman Allah dalam QS Al-Hujurat ayat 13 yang menyatakan persamaan antar manusia, merupakan bagian dari revolusi prinsip diplomasi dan hukum internasional. Nabi Muhammad Saw. memulai praktek diplomasinya dengan memiliki prinsip-prinsip negosiasi; seperti misalnya beliau menerima para delegasi dari berbagai bangsa seperti utusan Thaif, utusan Kristen Najran, Banni Tayyi dan lain sebagainya.
Selain itu, Rasulullah juga mengirim utusan kepada raja-raja dan kepala negara lain. Dengan peraktek diplomasi yang Rasulullah amalkan di masa kepemimpinannya, beliau untuk menyebarkan ajaran Islam kemudian terus berlanjut di era kepemimpinan para sahabat seperti Umar Bin khatab. Sejarah mencatat Umar bin Khattab sebagai pejuang peradaban Islam. Umar sering berpartisipasi aktif dalam peperangan dan penaklukan-penaklukan di wilayah Semenanjung Arab.
Bagi Umar, penaklukan adalah semata-mata upaya untukmeninggikan kalimat Allah dan demi menggenapi janji Allah kepada orang-orang beriman. Selain itu, Umar bin al Khattab memang memiliki tekad yang kuat untuk membebaskan umat manusia dari kekejaman para penguasa Persia dan Romawi; disertakan dengan menyampaikan risalah tentang keesaan Allah kepada bangsa-bangsa yang ada. Dalam penaklukan Persia dan Romawi yang telah Umar bin Khattab lakukan, terselip juga nilai-nilai diplomasi Islam di dalamnya.
Islam Tidak Perintahkan Perang
ٱلشَّهْرُ ٱلْحَرَامُ بِٱلشَّهْرِ ٱلْحَرَامِ وَٱلْحُرُمَٰتُ قِصَاصٌ ۚ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَٱعْتَدُوا۟ عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ
Artinya: Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 194)
Islam memerintahkan orang-orang beriman untuk tidak menyerang orang lain kecuali mereka telah berinisiatif untuk menyerang Islam terlebih dahulu. Ketika orang-orang kafir mengusir Muslim dari rumah mereka; alam hal ini, Allah SWT berfirman : “Dan mengusir mereka dari tempat, dari mana mereka mengusirmu.” (Q.S. 2 ; 191) 3.
Ketika muslim mengalami penganiayaan dan penyiksaan, kemudian mereka mencari bantuan dari muslim yang lain; Al-Qur’an memerintahkan orang-orang beriman untuk memerangi orang-orang kafir jika mereka menganiaya saudara-saudara Muslim mereka. Sebelum memulai perang, umat Islam diperintahkan untuk memberikan undangan ke kafir jika mereka menghentikan penganiayaannya, mereka akan diampuni.
Ketika terdapat pelanggaran perjanjian begitu umat Islam telah membuat perjanjian dengan orang-orang kafir; Islam memerintahkan mereka untuk mengamatinya secara ketat sampai akhir periode yang ditentukan, kecuali jika pihak lain melanggarnya; maka umat Muslim juga dapat menghentikannya, namun mengirimkan pemberitahuan kepada musuh terlebih dahulu.
وَاِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Artinya: Tetapi jika mereka condong kepada perdamaian, maka terimalah dan bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. Al-Anfal: 61)
Mengedepankan Perdamaian
Ayat ini menunjukkan betapa Islam sangat mengedepankan diplomasi dan cinta damai. Ayat ini, ungkap Ibnu ‘Ar, merupakan lanjut penjelasan dari ayat yang sebelumnya yang membahas tentang hubungan perjanjian dengan musuh dalam sebuah peperangan di antaranya adalah: tentang apakah mereka menepati janji atau mengkhianati, perintah untuk selalu siap siaga dan penjelasan damai ketika mereka minta damai. Ketika pihak musuh meminta gencatan senjata atau minta damai, maka Islam pun langsung menyetujuinya. Hal ini dipahami dari kata “al-salm” sendiri yang memiliki arti kedamaian.
Selengkapnya dapat dibaca di sini
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply